A r u n i k a.

Itulah nama yang kami berikan padamu. Sepatah kata dari Bahasa Sansekerta yang berarti "cahaya matahari pagi". Kata yang tak sengaja terbaca ibumu saat lewat di linimasa media sosial. Saat itu kupikir, indah sekali kalau kelak anak perempuanku punya nama ini. Jadi, kusimpan nama itu baik-baik karena siapa tahu kelak aku sungguhan akan punya anak perempuan. Ibu dan ayahmu saat itu sudah bertemu, tapi masih belum tahu bahwa kami kemudian akan menikah dan akan memiliki kamu.

Iya, kamu. Arunika kami. Cahaya matahari pagi kami.

Kami, kedua orang tuamu, tak mengharap sesuatu yang muluk dari pemberian nama ini. Kami hanya ingin memberi nama yang baik agar anak perempuan kami tumbuh jadi manusia yang baik. Karena nama adalah doa, kami ingin seumur hidupmu kamu membawa doa yang indah. Doa yang akan terus bersamamu, tumbuh, menjadikanmu sebaik maknanya.

Kami, kedua orang tuamu, ingin kamu jadi seperti cahaya matahari pagi. Hangat, lembut. Sinar yang ditunggu-tunggu, penerang setelah gelap. Kami ingin kamu tumbuh jadi anak perempuan yang perkataan dan perbuatannya menenangkan dan menyenangkan, seperti cahaya matahari pagi yang melelehkan embun di dedaunan. Kami ingin kamu tumbuh jadi anak perempuan yang kelak bisa jadi penerang bagi kami, di dunia dan di akhirat. Penerang bagi sekitar, penerang bagi banyak orang.

Terima kasih karena telah hadir di rahim ibumu. Terima kasih karena telah bersedia jadi anak perempuan kami. Kami, kedua orang tuamu, dan semua orang tersayang kami, berbahagia sekali atas kelahiranmu. Semoga kamu pun berkenan dan bahagia karena jadi anak perempuan kami dan hadir di tengah keluarga besar ini.

Selamat datang, A. Mari bertumbuh bersama.



Minggu pagi, hujan baru saja reda. Cahaya matahari mulai jatuh di permukaan sprei yang kusut, disusul suara burung-burung yang terlambat mencari makan. Tanganku berusaha menggapai ponsel di atas kepala, tapi yang kudapat malah lengan yang terkulai. Lelakiku terbangun saat merasakan berat kepalaku di punggung tangannya.

"Mau kubuatkan sarapan?" tanyaku.

"Kemarilah," ucapnya lirih sembari menggeleng.

"Aku sudah di sini. Kemari ke mana?"

"Ke sini. Kupeluk."

Aku menggelinding ke arahnya, masuk ke dalam cekungan tubuhnya. Hangat dan pengap. Ada sedikit aroma keringat, lebih banyak aroma sampo. Tempat yang nyaman sekali untuk menangis, tempat bersandar tanpa kata-kata saat isi kepala sudah terlampau berat. Tempat terbaik.

"Aku ingin begini terus. Selamanya."

Lelakiku mengangguk mengiyakan. Dari sekian banyak ketidakpastian di masa depan, terus bersamamu adalah sepasti-pastinya ketenangan. Kita yang membuang-buang waktu adalah kita yang sedang menciptakan kenangan. Ditakdirkan bersamamu adalah hal terbaik. Juara satu.



setelah menikah,
baru terasa kalau dibawakan
bunga itu menyenangkan,
tapi dibantu mencuci piring
atau memasang sprei itu
lebih bikin senang.

dipuji cantik itu
membahagiakan, tapi
ditemani dan diurus
dengan sabar saat
kita sedang sakit itu
lebih bikin bahagia.

dibelikan sesuatu
yang diinginkan itu
bikin nyengir seharian,
tapi didengarkan keluh kesah
kemudian dipeluk dengan
erat itu menyisakan
perasaan hangat luar biasa.


dulu selalu berpikir
kalau sudah menikah,
paling ideal ya
diperlakukan seperti
seorang putri kerajaan.

ternyata dimanusiakan,
dianggap teman terbaik,
dan dituntun dengan tabah
dalam perjalanan ini,
lebih dari sekadar cukup.


Jadi


Aku ingin jadi hamba yang selalu takut pada Tuhan-ku. Selalu takut hingga segan berbuat dosa yang dilarang oleh-Nya, segan menyakiti hati orang lain. Hamba yang sadar bahwa kelak tiap-tiap perbuatan, sekecil apapun akan ada balasannya, entah di dunia atau di akhirat. Tuhanku Maha Melihat bahkan perkara niat, aku tak ingin jadi hamba yang sudah kotor sejak dalam pikiran dan hati. 
Aku ingin jadi manusia yang pandai memanusiakan manusia lain. Menganggap semuanya sama, terlepas dari mereka siapa dan berasal dari mana. Kalau mereka baik dan tak mengganggu hidupku, aku pun tak ingin mengganggu mereka. Ingin jadi manusia yang berguna bagi manusia lain, manusia yang tak membawa kesulitan dan kesedihan apabila ditakdirkan bertemu di sebuah perjalanan.
Aku ingin jadi teman dan sahabat yang menerima orang-orang terdekatku dengan tulus dan apa adanya. Tak menuntut banyak, tak ingin menyusahkan mereka hanya untuk membahagiakanku. Aku ingin jadi teman dan sahabat yang tak masalah apabila mereka tak selalu ada di sisi, tak apa bila mereka tak selalu dapat mendengarkan, asal kami masih saling berhubungan baik dan bertemu dalam doa-doa baik, aku akan baik-baik saja. Aku ingin jadi teman dan sahabat yang dengan kehadiranku, mereka bahagia.
Aku ingin jadi kekasih yang pandai mendengarkan dan mau belajar saling menyesuaikan. Ingin jadi kekasih yang pandai menyembuhkan diriku sendiri hingga tak kulimpahkan luka-luka masa lalu pada masa depanku. Ingin jadi kekasih yang apabila semua tak berjalan baik dan kami ternyata tak berjodoh, aku tak akan mengumbar kisah kami lalu akhirnya saling menjelek-jelekkan satu sama lain. Ingin jadi kekasih yang nyaman untuk dia merebah lelah dan pulang.
Aku ingin jadi pasangan hidup yang saling mengisi bersama pasangan hidupku. Jadi pelengkap, kepingan yang tepat, peluk yang hangat. Pasangan hidup yang padaku, dia bisa jadi dirinya sendiri tanpa takut dihakimi dan memaksakan jadi apa yang bukan dirinya. Saat masalah datang, aku sadar bahwa bukan hanya aku yang terpukul, dia pun bisa terluka dan lumpuh, maka kami harus saling menguatkan. Ingin jadi pasangan hidup yang sadar bahwa aku pun banyak kekurangan, jadi kami bisa saling mengingatkan.
Aku ingin jadi anak yang disyukuri kelahirannya oleh orang tuaku. Anak yang meski tak sering membuat mereka bangga, tapi setidaknya tak membuat hati mereka sakit dan susah. Anak yang bisa dipercaya, tak membuat mereka khawatir, dan bisa menerapkan semua etika dan moral yang mereka tanamkan sejak dulu. Tak ingin jadi anak yang terlalu keras kepala hingga hati mereka sakit dan lepas tangan terhadapku. Ingin jadi anak yang pandai bersyukur dan pandai berterima kasih karena sudah dilahirkan, dibesarkan, dan dicukupkan.
Aku ingin jadi orang tua yang mendidik anak-anakku untuk jadi orang baik terlebih dulu. Pintar penting, tapi mereka harus belajar jadi manusia yang bermanfaat dan tidak merugikan orang lain. Ingin menjadi orang tua yang tak besar ego dan mau terus belajar mengerti bahwa anak-anakku pun punya keinginan dan perasaan. Orang tua yang akan dicari anak-anakku, mereka tak akan lari dan bersembunyi dariku.
Aku ini, apakah kamu? 

Ibu Rumah Tangga & Ibu Pekerja



Wanita dan pilihan-pilihan besar dalam hidupnya. Tak habis-habis dibahas, tak habis-habis diperdebatkan. Lucunya, masih banyak yang membuang-buang energi untuk ngotot mana yang lebih mulia, ibu rumah tangga atau ibu pekerja. Mirisnya lagi, yang saling merendahkan satu sama lain justru sesama wanita. Ibu rumah tangga merasa mereka paling mulia karena mengurus suami dan anak-anak, ibu pekerja merasa paling mulia karena harus punya kekuatan lebih untuk membagi waktu antara bekerja dan urusan rumah tangga.

Banyak ibu rumah tangga yang punya gelar sarjana, tapi memutuskan untuk menyimpan gelarnya sebagai bekal, lalu berdiam di rumah saja. Dan seringnya, lingkungan mencemoohnya dengan kata-kata: "Untuk apa punya gelar sarjana kalau akhirnya jadi ibu rumah tangga, bolak-balik kasur dan dapur." Dan mereka-mereka ini, seringnya hanya berkomentar tanpa tahu betapa susahnya mengambil keputusan untuk sepenuh waktu berada di rumah sementara orang lain sibuk mencapai ini itu, tanpa tahu bahwa justru berada di rumah adalah hal yang membuat mereka bahagia.

Banyak ibu pekerja yang meski tak punya gelar, memutuskan untuk bekerja di luar karena ingin memenuhi kebutuhan yang tak tertutupi, tak tercukupi. Atau memang bekerja karena ingin, karena bekerja membuat mereka bahagia, karena bekerja membuat mereka tetap hidup. Dan seringnya, lingkungan mencemoohnya dengan kata-kata: "Sibuk kerja tapi anak dan suami tak terurus. Untuk apa mengumpulkan harta kalau rumah tangga jadi taruhan." Dan mereka-mereka ini, seringnya hanya berkomentar tanpa tahu betapa susahnya menyeimbangkan waktu, tanpa tahu bahwa rumah tangga yang mereka cemooh sebenarnya baik-baik saja.

Kenapa harus sibuk memilih mana yang lebih mulia? Kenapa kita, wanita, tidak saling menerima bahwa tiap-tiap pilihan pastilah sudah melewati banyak pertimbangan. Bahwa tiap ibu yang memutuskan untuk berada di rumah atau bekerja di luar rumah adalah sama-sama seorang ibu yang sedang berjuang.

Kenapa kita tidak fokus dengan memerdekakan ibu rumah tangga pun ibu pekerja dari pilihan-pilihan yang mereka buat hingga mereka bisa merasa bebas memilih tanpa takut dihakimi oleh lingkungan yang seringnya bahkan tidak tahu keadaan yang sebenarnya. Jangan saling merendahkan, jangan saling merasa paling suci di antara semuanya.

Tengoklah ke dalam diri sendiri. Dikomentari atas keputusan hidup yang kita pilih, oleh orang lain yang seringnya hanya sok tahu dan tak paham keadaaan sungguhlah tidak menyenangkan. Selain pilihan mereka bukanlah urusanmu, juga karena kamu tidak tahu efek jangka pendek dan panjang yang mereka rasakan dan tanggung.


tak ada yang sia-sia
tentang berjuang,
entah sekecil apapun

tak ada yang salah
dengan memperjuangkan
apa-apa yang kamu yakini

tak ada yang betul-betul
benar perihal pilihan hidup
dan semua
untung rugi di dalamnya

tak ada yang sempurna
meski terlihat tanpa cela

jalani apa yang kamu
percaya dan berpeganglah
dengan teguh padanya
meski pada akhirnya
mungkin hanya pelajaran
dan hikmah saja yang
akan kamu terima

jalani saja sebisamu
jalani saja sekuatmu


tak ada yang sia-sia
tentang berjuang,
jadi tidak apa-apa,
teruslah berjuang.

kamu akan baik-baik saja


Teman Hidup


Tiap-tiap kita, diam-diam pasti mendamba teman hidup yang menyenangkan untuk bercerita. Hanya duduk berdua, bersisian atau berhadapan, lalu menumpahkan segala keluh kesah yang ada di kepala atau sekadar bicara kosong saja. Hanya berbaring berdua, berpelukan atau menatap langit-langit kamar, lalu saling berebut ingin menceritakan semua yang terjadi hari ini. Teman hidup yang antusias mendengarkan, meski entah sudah berapa kali kita mengulang cerita yang sama.

Tiap-tiap kita, diam-diam pasti mendamba teman hidup yang baik. Teman hidup yang memperlakukan kita selayaknya manusia berharga, pantas dijaga dan ditemani perjalanannya dengan tabah. Teman hidup yang rela melapangkan dadanya untuk memaafkan tanpa menghakimi, teman hidup yang bersedia jadi pendukung nomor satu dan tak lari saat semua tak berjalan sesuai rencana. Teman hidup yang padanya kita bisa menjadi sekuat-kuatnya, pun selemah-lemahnya.

Tiap-tiap kita, diam-diam pasti mendamba teman hidup yang menerima kita apa adanya, tak sibuk membanding-bandingkan dengan orang lain. Teman hidup yang daya juangnya besar untuk mempertahankan, teman hidup yang selalu punya alasan untuk bersyukur atas apa-apa yang ditakdirkan. Teman hidup yang saat kita bersandar padanya, semua hal memberatkan mendadak jadi terasa ringan.

Tiap-tiap kita, diam-diam pasti mendamba teman hidup yang merasa kita sudah cukup untuknya. Kita yang tak sempurna, sudah begitu terasa tepat untuknya hingga dia tak punya alasan untuk mencari-cari teman hidup lain. Teman hidup yang saat ada masalah tak berlari, teman hidup yang tak tahu-tahu pergi. Teman hidup yang pegangan tangan dan langkah kakinya kuat untuk diajak melangkah beriringan.

Tiap-tiap kita, diam-diam pasti mendamba teman hidup yang padanya kita tak punya lagi keraguan. Perihal kepastian hubungan, masa depan, atau kesetiaan. Teman hidup yang dapat dipercaya, teman hidup yang menghilangkan semua waswas tak jelas di dada. Teman hidup yang tak pernah ingkar dengan perkataannya.

Atau bisa jadi, kita sekadar hanya ingin bertemu dengan teman hidup yang bersedia terus menetap di sisi, tak kemana-mana, tak beranjak apapun yang terjadi. Teman hidup yang mungkin saja tak sempurna, tetapi menggenapi dengan begitu tepatnya.


m e n i k a h


Katanya, menikah itu terdiri dari beban dan tanggung jawab baru.
Katanya, menikah itu terdiri dari diskusi dan kompromi yang tak habis.
Katanya, menikah itu terdiri dari bahagia sekaligus air mata yang tak terduga.

Ternyata, menikah itu juga terdiri dari obrolan kecil di penghujung hari. Percakapan yang diselingi pelukan dan candaan, kadang juga berbarengan dengan uneg-uneg dan keluh sepanjang hari. Saat bersama menatap langit-langit kamar atau saat sama-sama sibuk dengan ponsel masing-masing, saat yang mana pun sama menyenangkan. Saat saling bertukar pikiran atau saat saling berpegangan tangan dalam diam, saat yang mana pun sama menenangkan.

Ternyata, menikah itu juga terdiri dari menyiapkan keperluan suami sebelum berangkat kerja di pagi hari. Mulai dari bertanya dia ingin digorengkan pisang atau tidak, mengaduk susu coklat hangat, memastikan baju kerjanya sudah rapi disetrika, mencabut dan menggulung kabel charger ponselnya, mengambilkan sepatu dan helm yang akan dia pakai, hingga berdiri di pintu melihat punggungnya menghilang di balik pagar untuk mencari nafkah seharian.

Ternyata, menikah itu juga terdiri dari memutuskan mana yang harus dibeli terlebih dulu; rak televisi atau rak buku. Juga tentang istri yang sibuk menonton video memasak di dunia maya, semangat minta diantar belanja bulanan, meski kemudian berakhir dengan jajan di luar. Juga tentang suami yang selalu memenuhi kulkas dengan buah sementara istri lebih doyan coklat. Juga tentang suami istri yang kalau makan ifumie seafood, istrinya bertugas makan semua sayuran.

Ternyata, menikah itu juga terdiri dari mencuri waktu untuk kencan-kencan sederhana. Menonton film di kamar sampai teriak, menangis, tertawa seperti orang gila. Menyempatkan waktu main ke pantai meskipun hanya berisi jongkok di pasir karena istri tak suka berenang, hujan-hujanan di atas motor sampai masuk angin, atau sekadar membeli cilor di pinggir jalan.

Ternyata, menikah itu juga terdiri dari percakapan ingin punya anak berapa, perkiraan biaya melahirkan, membesarkan, hingga menyekolahkan. Memikirkan diri sendiri akan jadi orang tua yang seperti apa, bagaimana membesarkan anak-anak yang baik akhlaknya. Sembari terselip cemas karena meskipun anak adalah titipan, mereka tetaplah darah daging yang harus dipertanggungjawabkan.

Ternyata, menikah itu juga terdiri dari doa yang semakin panjang dan tulus. Doa-doa yang sering teriring air mata agar rumah tangga yang dibangun selalu dilindungi dan diberkahi, selalu dikuatkan dan dicukupkan, selalu dilingkupi orang-orang baik pun hal-hal baik, selalu dijauhkan dari fitnah dan musibah. Doa-doa agar suami istri yang menjalani selalu ingat untuk saling menjaga.

Ternyata, menikah itu juga terdiri dari perjuangan dan pengharapan. Tentu tak selalu terdiri dari bahagia dan baik-baik saja, tetapi semoga selalu ada celah untuk bersyukur dan tertawa. Tentu tak selalu terdiri dari hari-hari berpelangi, tetapi hujan badai pun tentu akan ada akhirnya. Tentu tak selalu terdiri dari kata-kata manis dan pelukan hangat, tetapi tentu tak pula sering dihiasi oleh tangis dan hujat. Perjalanan yang dipupuk dengan rasa percaya dan sabar yang tak boleh berbatas.

Ternyata, menikah itu juga terdiri dari seutas pinta yang amat sangat. Bahwa semoga, kami, tak hanya menjadi suami istri di dunia, tapi juga kelak bertemu dan berjodoh lagi di akhirat.