Jika Aku Sebuah Buku


 Jika aku sebuah buku. 

Jika aku dan semua detail dalam hidup selama 20 tahun ini, tiba-tiba menyublim membatu dan jadi sebuah buku. Tanpa perlu aku ceritakan satu persatu, buku itu merangkum dengan sempurna tiap momen yang menurutnya patut diraba kembali agar tak mengerak di dasar otak. Ah, akan jadi seperti apa buku itu. Buku yang benar-benar aku, membeberkan tiap cerita tanpa malu-malu. Buku itu pasti akan jadi saksi hidup yang hebat, sayang dia bisu.

Jika aku memegang satu buku, satu hal yang aku inginkan pasti menghabiskannya dengan buru-buru. Rasanya ingin melahap secepatnya, ingin tahu kisah menyentak apa yang ada di dalamnya, pelajaran macam apa yang kuterima. Dan seperti apa ekspresiku setelah membacanya. Ada saat-saat aku tertawa sambil menangis bahagia, sering kali tangisan cengeng karena sesaat seperti menjadi pemeran utama. Tapi, ada waktu-waktu dimana aku hanya terdiam, memegang bukuku dengan sendu dan kelu. Hebat sekali, bagaimana penuturan seseorang di buku yang notabene adalah buah pikirannya, bisa sedemikian rupa membuatku seperti terjebak waktu. Buku terakhir yang kubaca bahkan membuatku merenungi diri sendiri sembari meringis dalam hati. Tidak ada satupun bagian buku itu yang mirip dengan kisahku, tapi untuk pertama kalinya, aku merasa seperti harus hidup dan terlibat dalam cerita itu. Aku ingin masuk dan menyelamatkan si tokoh utama itu untuk kemudian meraih dan merangkulnya, agar dia tidak mati. Agar dia tidak menghilang dari Bumi. Melankolis sekali. Aku bisa hancur begitu rupa lewat interaksi dua tokoh utama yang begitu nyata. 

Kalau aku adalah sebuah buku, jenis buku macam apa yang akan mengisi lembar demi lembarnya. Akan setebal apa buku kehidupan itu jadinya. Apa warna sampul dan kertasnya, gambar apa yang muncul menjadi simbol hidupku di bagian mukanya. Dan yang paling penting, apa judul yang tepat untuknya. Untuk buku hidupku. Kalau boleh menerka, buku itu akan bersampul warna merah bata. Merah yang nyalanya cenderung gelap, persis seperti darah tua yang siap diregenerasi darah baru dari sumsum di belakang. Warna yang kukagumi karena seperti bernyawa. Mungkin karena dari awal kuanggap itu darah, warna merah jadi seperti mengalir. Dan aku akan dengan bangga menjadikannya sampul depan dan belakang dari buku hidupku, andai aku punya andil untuk mengubahnya. Soal judul, jujur, aku sendiri takut membayangkannya. Judul itu citra utama, satu dua patah kata di bagian muka yang memjelaskan isi keseluruhan buku akan seperti apa. Apapun itu, kuharap judul buku hidupku adalah barisan kata sederhana. Yang saat orang membacanya, senyum akan mengembang di bibirnya. Kemudian aku akan dipeluk dan dibawa untuk dibaca saat butuh bahagia. Dan bukan dengan menyerngit dahi lalu lari. 

Sampai saat ini, aku tidak tahu akan seperti apa bentuk buku hidupku. Aku bahkan pernah berguyon dengan salah satu teman. Kami bertanya-tanya seperti apa isi buku seandainya hidup kami dibukukan. Aduh, jangan-jangan nanti itu buku tebel tapi kosong gitu aja, katanya padaku. Saat itu kami tertawa. Membayangkan 20 tahun hidup di dunia ternyata tanpa apa-apa. Begitu proses penyubliman hidup selesai, aku dan temanku memegang buku kami, menyelesaikannya dengan cepat karena semua lembaran kosong tanpa sempat membaca dan mempelajari apapun. Untuk beberapa saat itu lucu. Saat kami berpisah, aku bergidik ngeri membayangkannya. Hidup macam apa. Rasanya tidak ada yang lebih seram ketimbang hidup yang-ternyata-tidak berisi apa-apa. 

Ah, buku hidup. Kalau kau memang ada, aku tidak berharap bukuku akan laris manis seperti kacang. Cukup aku dimiliki oleh yang benar-benar paham dan mengerti, oleh yang benar-benar membutuhkan untuk menemaninya dalam sepi. Cukup untuk sekelompok orang-orang yang sungguhan tahu. Yah, seperti semacam pembaca setia. Alangkah bagusnya, kalau buku itu bisa jadi penopang semangat. Seperti aku yang selalu bahagia melihat tumpukan buku di meja belajarku.

Oh ya, omong-omong, buku yang membuatku babak belur itu--lagi-lagi--bergenre chicklit. Judulnya 'God-shaped Hole' oleh Tiffanie DeBartolo. Temukan Jacob disana, temukan hati yang meluap campur aduk di ujung cerita. 

Jika kau sebuah buku, pernahkah kau membayangkan seperti apa rupamu?

Nah, bayangkanlah.

Selamat Hari Lahir, Ayah!

Ah, Ayah. Sudah 50 tahun ya. Berarti hari ini tepat setengah abad, Ayah bergulat dengan dunia. Sudah setengah abad Ayah memijak, menapak, dan menjajal bahagia dan getirnya tanah Bumi. Aku nggak akan bertanya bagaimana rasanya, kok. Aku tahu-sedikit-kalau dunia ini keras, kalau nggak kuat kita akan tergerus. Ih, aku sok tahu ya, Yah. Padahal masih 20 tahun gayanya seperti sudah kenyang makan asam garam. Memangnya apa arti semua yang terjadi dalam hidupku ketimbang hidup Ayah yang perjalanannya super itu. Oh ya, kebetulan 8 April tahun ini jatuh di hari Minggu, sama seperti hari kelahiran Ayah, kan. Pas sekali. Ini memang hari untuk Ayah. Hari Minggu itu lambangnya: awan. Kata orang, yang lahir hari Minggu tabiatnya keras, nggak mau kalah dan selalu ingin jadi pemenang. Karena pada dasarnya awan selalu ada di atas. Sebagai sesama yang lahir di hari Minggu, aku tahu itu rasanya benar, Yah. Hahaha.

Ayah, apa rasanya sudah hidup selama 50 tahun? Kupikir itu waktu yang cukup lama untuk tahu bahwa hidup bukan sekedar hidup. Hidup pasti banyak kerikil, jurang, sekaligus surga. Dan rasanya Ayah sudah mengalami semua. Untungnya aku-sudah dan selalu-bersyukur punya Ayah yang kuat. Yang selalu sekokoh tembok langit, yang hanya akan rubuh karena Tuhan. Semoga Ayah juga menurunkan sebagian kekuatan itu untukku, karena oh, hidup masih terlalu keras dan terjal untuk dilalui. Alangkah bagusnya kalau aku bahkan bisa melewati semua tanpa perlu terseok begitu rupa hingga babak belur.

Aku ingin bicara banyak, tapi aku malu pada aku yang nyata. Yah, ini memang aku. Hanya saja aku yang Ayah kenal bukan kakak yang senang berkata-kata dan hobi berbasa-basi, kan. Aku kakak yang introvert, sama sekali nggak kritis dengan keadaan, dan-kelihatan-kurang peka. Nah, Ayah bahkan nggak tahu kalau anak pertamamu ini punya blog dan tumblr, dimana dia hobi cuap-cuap. Anggap saja aku nggak penuh cinta di luar, tapi meluber cinta di dalam ya, Yah.

Rasanya ini akhir ucapan selamat ulang tahun dariku. Semoga di usia 50 tahun dan seterusnya, perjalanan Ayah lebih sederhana. Yang ada hanya tinggal bahagia, dunia dan akhirat. Semoga Ayah selalu seperti tembok semesta yang rebahnya mengangkasa, agar bisa terus jadi tudung untuk Ibu, aku, Husen-Hasan, dan Abi. Aku, setiap hari, menitipkan doa pada Tuhan agar Ayah selalu dilindungi. Setiap saat. Amin.

Seperti udara yang selalu mengurai hingga akhir dunia, seperti itulah aku yang selalu berharap Ayah bahagia.

Ayah, selamat ulang tahun.
Athens

Wahai Zeus

Kepada Dewa Zeus,

Hem. Mungkin surat ini pantas diberi judul 'Surat Gila'. Manusia mana yang tiba-tiba berpikir untuk mengirimimu secarik surat-digital dan bukan tulis tangan pula. Kau tahu, nggak semua orang kukirimi surat. Menulis itu lebih sulit dari berkata-kata. Harus menyampaikan perasaan dan segala yang berkecamuk lewat tulisan, berharap seseorang yang kau kirimi mengerti di luar pikiran, tanpa tahu seperti apa ekspresi dan perasaan yang jumpalitan. Aku nggak peduli kau membaca atau tidak surat ini. Aku bahkan nggak peduli kau nyata atau fana, kau sungguhan dewa atau mitos belaka. Kerjanya masyarakat Yunani kuno yang kreatif luar biasa, kalau saja kau benar-benar hanya karangan mereka.

Demi kebahagiaan sementaraku selama menulis ini, anggap saja kau benar-benar ada. 

Kau hebat, ya. Aku belum selesai memahami silsilah dan seluruh cerita Yunani kuno, tapi, siapa sih yang nggak tahu kalau kau itu Dewa-nya para dewa. Semua tahu. Kalau kau adalah dewa yang paling sering disebut, paling familiar dan terkenal di antara semua deretan dewa. Aku mulai tahu gambaranmu yang hebat dari film. Kau selalu digambarkan sebagai dewa yang besar, berambut keemasan dan bergelombang panjang, janggut yang menjuntai, dan baju kebesaran khas dedewaan. Kuharap aku dan semua pencerita itu nggak salah tentangmu ya, ayahnya Hercules.

Aku ingin tanya, kenapa kau punya banyak sekali pasangan. Mulai dari silsilah Keluarga Para Dewa Utama hingga Keluarga Kerajaan Thebes dan Atreus. Kau ada dimana-mana. Punya pasangan, anak, cucu, dan cicit yang juga dimana-mana. Dalam salah satu silsilah Leluhur Perseus dan Hercules, kau bahkan membuat cicitmu sendiri, si Alcmene mengandung anakmu, ya. Dan lahirlah Hercules. Aku yang baru mulai mendalami silsilah keluarga Yunani benar-benar takjub padamu. Dan pada nyalimu untuk menyamar sebagai suami Alcmene dan membuat satu anak setengah dewa terlahir lagi ke dunia setelah Perseus.

Cukup dengan silslah yang ruwet itu, aku ingin sekali bilang kalau aku penasaran dengan duniamu. Sekali lagi, andai kau bukan sekedar cerita, ya. Dunia kalian pasti penuh gejolak. Masing-masing dewa memiliki peranan dan menurut yang kubaca, kalian para dewa memiliki hak penuh atas peran itu. Misalnya, Dewa Ares, anakmu si Dewa Perang, digambarkan memiliki kereta perang yang ketika ditunggangi akan terdengar rintihan dan darah mengaliri Bumi. Aku juga baru tahu kalau cupid-yang selama ini digambarkan sebagai Dewa Cinta yang gendut, berambut ikal, dan bersayap-ternyata dewa yang kabarnya seorang dewa muda yang tampan, bernama Eros. Selain tampan, Dewa Eros juga termasuk salah satu dewa yang penuh cinta. Ah, rasanya sudah banyak yang kubaca, tapi ternyata lebih banyak yang aku nggak tahu. Yang kupaparkan ini baru sekelumit dari cerita tentang Yunani kuno yang termahsyur itu.

Dewa Zeus, aku suka sekali dengan mitologi Yunani. Aku membayangkan kalian para dewa benar-benar ada, kalian hidup dan memenuhi dunia, jauh sebelum kami yang modern ada. Tapi, kau tahu, aku dilarang memercayai sesuatu yang diluar ciptaan Tuhanku. Kau dan semua para dewa itu, termasuk Hephaestus dan Pandora yang kukagumi, masih sekedar cerita jaman dulu yang dirangkai hebat.

Oh ya, terima kasih karena sudah memiliki anak seperti Hephaestus yang pintar membuat alat-alat, termasuk Pandora di dalamnya. Walaupun Hephaestus dikisahkan adalah anak Dewi Hera dan bukan anak darimu, tapi aku senang membaca bagian kalau dia adalah anakmu. Kau sudah menyuruh Hephaestus membuat Pandora. Dan akhirnya Pandora mendunia dengan kotak miliknya. Ya ampun, lagi-lagi aku berterima kasih pada sesuatu yang nggak jelas.

Titip salamku untuk semua para dewa-dewi yang entah berada dimana itu. Kalian cerita dan bagian dari masa lampau yang hebat. Kalian itu sesuatu yang penting. Yang ingin sekali dipercayai sekaligus tidak sama sekali keberadaannya. Apapun itu yang jelas aku masih dan akan terus mempelajari tentangmu, tentang kalian. Masih akan membaca buku Mitologi Yunani dan menonton semua film yang berhubungan dengan dunia itu. 

Dah, Dewa Zeus.

"Mitologi Yunani menunjukkan kepada kita bagaimana manusia berpikir dan merasa di masa lampau." -Edith Hamilton, penulis 'Mitologi Yunani'.

Buku dan Kopi

Lagi-lagi, dua hal itu. Lagi-lagi, kolaborasi mereka yang terpapar di sini. Ah, mau bagaimana lagi. Memangnya aku bisa apa melawan mereka. Sendiri saja, masing-masing dari mereka mengikatku begitu hebat. Apalagi saat berduet bersama. Di sore hari yang sejuk, nggak ada yang lebih hebat dari mereka.

Yah, mungkin introvert itu tercipta dari perpaduan mereka. Saat mata bahkan susah teralih dari barisan huruf yang sedang dilahap dengan rakus, satu tangan masih sempat mengangkat gelas untuk kemudian mulut menyeruputnya, juga dengan rakus. Kadang, aku merasa mereka berdua sedang berebut diperhatikan. Ada kalanya aku hanya sibuk membaca hingga kopi terbengkalai dan dingin, seringnya aku hanya menyeruput kopi sambil memikirkan apa-apa yang sebenarnya nggak perlu dipikirkan. Mungkin, kalau mereka bisa protes saat aku 'menikmati' tiap bagian, ini kalimat yang paling mungkin mereka teriakkan.

Buku: "Hei, kau 'kan sudah mengambilku dari rak, ayo sekarang baca aku! Kalau kau nggak berniat membacaku, kembalikan aku ke barisan bersama buku-buku lain. Kau sudah membukaku selama lima belas menit, tapi kau bahkan belum juga maju untuk membaca halaman lain."

Kopi: "Oh plis, tutup mulutmu, Buku. Dia sedang menikmati aku, memangnya kau pikir apa nikmatnya menyeruputku tapi mata fokus padamu? Aku itu pas sekali dinikmati dengan pemandangan indah atau rintikan hujan cantik yang menggoda."

Buku: "Beraninya bicara begitu, padahal kau malah membuatnya memikirkan yang nggak penting. Semakin dia terkena racunmu, semakin dia nggak bisa tidur. Dan dia jadi semakin punya banyak waktu untuk terbunuh oleh pikirannya sendiri."

Kopi: "Kenapa kau bisa begitu khawatir? Toh, kalau dia nggak tidur, dia akan membacamu sepanjang malam bahkan sampai pagi. Kau harusnya beruntung, kau bisa dinikmati setiap saat. Sedangkan aku, dia harus mencari waktu yang tepat untuk meminumku terutama kalau sudah larut malam."

Buku: "Kau nggak tahu, kau yang pertama kali dia pikirkan saat dia suntuk."

Kopi: "Benarkah?"

Buku: "Ya. Setelah sempat mengabaikanku selama beberapa waktu, sekarang dia telah kembali. Pecinta kita sudah kembali dan kita sudah bisa dinikmati olehnya lagi. Bersama-sama."

Kopi: "Itu kedengaran hebat. Jadi, kapan kita mulai mengacaukan dunianya?"

Buku: "Oh Kopi, sudah sejak dulu kita benar-benar mengacaukan dunianya."


Dear you two, me-really-love you.