Kamu dan Jagoan

Beri aku waktu.
Agar aku bisa memakan waktuku sendiri dan menjadi wanita bercelemek yang kerjanya memikirkan jadwal makanmu. Yang berdiri setia di dapur dengan cipratan minyak dan panas api. Yang sibuk menelpon Ibu di seberang demi menjemput resep andalan, yang ulet berdiri meramu semua racikan. Perjuangan beberapa jam, kamu habiskan beberapa menit saja.

Beri aku waktu.
Agar aku bisa memakan waktuku sendiri dan menjadi wanita berkaos oblong penuh cat air, menemani anak-anak bandelmu mengerjakan tugas menggambar. Mana lagi aku peduli dengan rambut berantakan, kulit lengket warna merah kuning hijau. Belum lagi rengekan manja dan gulat kecil para jagoan, duh, aku pasti kerepotan. 

Beri aku waktu.
Agar aku bisa memakan waktuku sendiri dan menjadi wanita paling sibuk di dunia kecil antara rumah-sekolah-kantor. Selesai di rumah, kugiring para jagoan ke sekolah, lalu jadi diriku yang lain di sebuah gedung tempat manusia mengadu otak. Dan dalam lelah yang hanya bisa dijelaskan dengan muka kusam berlipat sepuluh, aku ke peraduan rumah. Jadi aku lagi, untukmu dan anak-anak luar biasa itu.

Beri aku waktu.
Agar aku bisa memakan waktuku sendiri dan menjadi wanita yang tak henti berdoa pada Tuhannya. Atas semua semoga yang minta diwujudkan, atas apa-apa yang hanya bisa diurus oleh-Nya. Termasuk kamu dan para jagoan kecil itu.

Beri aku waktu.
Agar aku bisa memakan waktuku sendiri.
Menunggu siapa kamu nanti dan selucu apa jagoan kita nanti.

Satu Lawan Satu

Oh, hai. Berapa lama hari ini aku memberimu perhatian? Tiga puluh detik? Kemajuan, ya. Berarti lebih lima detik dari pertemuan terakhir kita. Nggak masalah, kan, kamu toh selalu bisa memaklumi perkara kecil ini. Perkara abai mengabaikan. Aku semakin jago mengabaikan, kamu semakin jago bertahan. 

Bukannya aku kejam. Kamu, kita sama-sama tahu kalau dulu aku yang jadi terabaikan. Betapa kamu seperti mempermainkan dan aku tergilas tanpa ampun. Aku tahu rasanya terseok dengan posisi muka di bawah, melawan, dan sibuk menentang. Suatu kali, kudengar sayup kamu berbisik padaku yang meringkuk. "Ayo, kita berdamai saja."

Cih, damai. Memangnya apa yang kudapat kalau kelak kita berdamai. Kuludahi mukamu, tepat di tengah hingga kamu menyerngit heran. Kini jelas-jelas aku menantangmu. Satu lawan satu. 

Kalau diingat-ingat, sempat kupikir ini seperti tak berkesudahan. Aku yang terlalu lelah sekaligus terlalu keras kepala, kamu yang melelahkan sekaligus tak terkalahkan. Merobohkanmu itu seperti mendorong air laut agar menepi ke sungai, merubah alirannya hingga muara segala air bukan lagi samudra. Upayaku seperti ditempeleng dengan Jurus Tapak Buddha, sekeras-kerasnya tenaga dalam kutembakkan, sekeras itu juga ia terlempar. Menabrakku kembali, sama kerasnya, hingga aku lagi-lagi tersungkur dan kamu lagi-lagi hanya tersenyum.

Dan, damai. Pada akhir pertemuannya, kurasakan kata itu lebih melunak. Pikiranku serta merta seperti ditanak, lembek. Gagasan itu nyatanya tak buruk, alih-alih membuatku malu. Karena saat itu, aku menerima damaimu sambil tersenyum senang. Aku menang.

Kini, kubiarkan kita bersama jalan bersisian. Meski tak selalu kutoleh, kamu toh akan terus melekat, lebih erat dari bayangan. Tak apa.

Kita berteman ya, Takdir.

Satu Dua Tiga

Satu
Dua
Kemudian kita

Tiga
Empat
Kemudian rapat

Lima
Enam
Kemudian tenggelam

Tujuh
Delapan
Kemudian bergandengan

Sembilan
Sepuluh
Kemudian meluruh

Kita rapat, tenggelam, bergandengan, meluruh. Dalam cinta.

Diam-diam

Apa rasanya menahan buncahan rasa yang kau sendiri tak mengerti dan sungguhan paham. Seperti mencegah ribuan kupu-kupu keluar dari jejaring halus, yang bila tak didekap baik-baik, ada saja kupu-kupu yang berhasil keluar. Diam-diam.

Bukankah, selayaknya ribuan kupu-kupu yang ingin menghirup bebas dan mengepak sayap, akumulasi buncahan rasa itu juga ingin mendapat kebebasannya. Merdekanya. Tak perlu seluruh dunia tahu, buncahan itu hanya ingin seleganya terbang. Semerdekanya perasaan.

Tak perlu naif, bebas pun akan ingin berhenti suatu saat. Di pemberhentian yang tepat. Segirangnya kupu-kupu terbang, masa hidupnya singkat, tetap ingin punya tempat mendarat. Terlebih buncahan rasa itu, yang dibiarkan bebas terlalu bebas, tiba saatnya letih dan ingin istirahat. Di tangan yang tepat, didekap yang erat. 

Buncahan rasa itu tak akan terkekang. Dipegang erat tidak berarti diikat. Hanya memberi tempat bersandar, tanpa perlu melanglang terlalu lebar. Toh, di ruang dekap itu ada dunia kecil yang bisa dijelajah. Tempat dimana buncahan tak perlu lagi berteriak dalam pikirannya sendiri, tak perlu lagi sibuk menunjukkan eksistensi.

Dalam dekap yang diharap selamanya itu, sang buncahan rasa terlelap.

Menikmati bahagianya sendiri. Diam-diam.

Rindu

Ah, kata itu
lima huruf berpadu jadi tombak mata satu
sekelebat mata kau tangkap dan langsung membuat ngilu
bukan cuma cicak yang diam-diam merayap malu-malu
bukan cuma bunglon yang dalam senyap menyergap kupu-kupu
gerombolan rindu itu sanggup mendesak nyaliku
hingga yang tersisa hanya aku

Ah, rindu. Kata apa itu. Bukankah rindu adalah gejolak yang membuncah saat kau menginginkan kembali iring-iringan yang sudah lalu? Persis seperti penjara, tapi membuat si tersangka candu. Terus ingin terjerumus, terus dan terus, hingga tak peduli pada hati yang kian sendu, sampai hanya bisa tersenyum kelu.

Ah, rindu. Benarkah penawarmu hanya dengan bertemu? 
Tidakkah ada cara lain untuk meredammu, misalnya,
dengan menukar aku ke dalam senyap? 
Aku hanya ingin lenyap.

Cerpen #8


Daftar penulis cerpen yang terpilih untuk proyek #BlackCover:

1. Aku Retha, Jangan Panggil Aku Pelacur oleh Frederica Natalia Sitepu
2. Si Manis Luna, Cinta dan Waria oleh Putri Widi Saraswati
3. Ibu tidak Pernah Memilih Menjadi Janda oleh Ika Sarastri
4. Dua Perempuan oleh Anggi Hafiz Al Hakam
5. Surat Untuk Ibu oleh Hani Taqqiya
6. Niat Tersembunyi oleh Juliana Wina Rome
7. Berbagi Bapak oleh Budi Mulyanto
8. Seandainya Cinta oleh Purba Sari
9. Matahari Senja di Minggu Pagi oleh Indah Arifallah
10. Untaian Kata Beribu Rahasia oleh Assrianti dan Suryani
11. Identitas Malam oleh Tika Sylvia Utami
12. Anggrek Benalu oleh Catherina Theresia
13. Sekelumit Kisah Pilu dari Desa Ananke oleh April Sastradjaja
14. Rejuvenatio oleh Tika Sylvia Utami