Kamu Jalan Buntu

Mungkin harusnya aku jadi detektif saja
Yang kerjanya menerka, menerka, menerka
Saat terhenti di jalan buntu, aku lalu mencarimu

Lalu, aku menunggu
Pertolonganmu, bantuanmu
Tapi kamu tak (akan) pernah datang
Membuatku yang menunggu tampak bak jalang

Buang-buang waktu
Kasihan hati rapuhku
Kasihan kelenjar air mataku

Rupanya, kamu si tersangka sialan
Yang kerjanya mengabaikan, mengabaikan, mengabaikan
Aku meminta cinta dari si pembuat patah hati terbaik di dunia
Terang saja tak ada yang menjemputku dari sesaknya jalan buntu
Kamu berdiri di tengah jalan, mendeklarasikan aku sebagai tawanan

Tak ada yang berani menolong meski aku melolong

Kamu jalan buntu sungguhan
Tanpa jalur tikus atau rambu balik kanan
Berapa lama lagi aku (harus) melakon jadi tahanan?


Harusnya kamu tahu, aku hanya ingin diperjuangkan...

Hari Lahir

Kacau sekali. Rencananya sore ini akan kuhabiskan sendiri di pojokan kafe sambil minum kopi sampai mual. Aku tidak suka kopi. Tapi kata orang, kopi kini lebih sering jadi minuman pelarian. Ada ratusan beban, kerjaan, dan deadline, teraduk di kopi yang hitam. Pekat. Seperti sekumpulan masalah yang tak kunjung usai. Tak kunjung menemukan titik temu hingga jemu. Sore ini aku ingin mengadu pada kopi tentang ulang tahunku yang rubuh seperti longsoran salju. 

Bahagia sekali. Lalu berduka sekali.

Tapi, di tengah sesi tanya jawabku dan kopi, kafe yang biasanya senyap mendadak ramai pengunjung. Mula-mula penuh di dekat pintu, kemudian bagian tengah kafe ikut terjajah, hingga aku yang berda di pojokan harus berbagi meja dengan pengunjung lain. Salahku memang. Aku memilih meja untuk empat orang. Tapi, peduli apa.

Apa pemilik kafe sungguhan mengizinkan privasi pengunjungnya terganggu hanya karena mengejar setoran? Aku sedang ingin menikmati waktu sendiri, Bung. Sedang tidak ingin beramah tamah dengan penghuni meja lain. Memang apa enaknya minum kopi bersama orang asing?

Di hadapanku ada seorang wanita kantoran berpakaian santai. Cantik. Rambutnya dicepol asal, beberapa helai menjatuhi pipinya yang mulus. Kuperhatikan wajahnya hanya dipoles bedak tipis dan pelembab bibir merah muda. Terlihat kacau dengan tumpukan kertas dan sampel majalah di tangan kirinya dengan pena di tangan kanannya. Matanya bolak-balik antara kertas dan ponsel yang layarnya tak kunjung terang.

Kontras dengan pemandangan sibuk si wanita penuh kertas, wanita berwajah kecil di sisi lain malah minim gerakan. Serba kecil. Secara fisik dan karakter, kutebak dia tak punya sesuatu yang benar-benar menonjol. Emosi dan ekspresi sama datar. Persis kakak perempuan tertuaku. Gerakan dan pandangannya terfokus pada gelas teh mint yang masih mengebul dan layar ponsel yang selalu terang. Selalu banyak notifikasi masuk tapi jarang dihiraukan.

Edan. Aku mendapat pemandangan serba bertolak belakang tepat di hadapan.

"Ada apa, sih?" tanyaku gerah saat pengunjung kafe mulai sesak tak wajar. Beberapa orang berdiri dengan mimik panik di depan kasir, meja-meja untuk empat orang mulai dipaksa muat untuk enam orang. 

"Ada kejutan ulang tahun, katanya," wanita penuh kertas buka suara. "Aku digusur dari singgasana di dekat kaca oleh teman-teman si empunya kejutan."

"Kejutan ulang tahun? Sesederhana ini?" kuamati suasana kafe yang tanpa dekorasi. Tanpa balon, tanpa umbul-umul, atau apapun yang berwarna-warni khas pesta ulang tahun. 

Sementara aku dan si wanita kertas hanya saling menatap, si pendiam bergumam. "Tapi sepertinya akan terjadi sesuatu yang besar."

Benar saja. Begitu kami memalingkan muka ke pintu masuk, seorang pria berjas rapi datang membawa sebuket mawar plus wajah tegang. Badannya terlalu kurus untuk memakai jas berpotongan lebar, tapi entah kenapa wajah gelisah-sumringahnya membungkus penampilan kikuk jadi antik. Lalu seperti yang sudah bisa ditebak, seorang wanita masuk seorang diri. Setengah bingung pada pemandangan di sekitarnya, dia bertanya tanpa suara pada si pria berjas. Dengan suara serak, si pria mengucapkan selamat ulang tahun. Seisi kafe termasuk si wanita tergelak, lalu mendadak senyap saat si pria mengeluarkan cincin dari kotak kecil di sakunya.

"Ini persiapan yang terburu-buru. Ide melamarmu hari ini tercetus begitu saja saat aku pulang kerja. Jas kebesaran ini punya atasanku. Tapi untungnya, cincin ini sudah kusiapkan dari jauh hari. Aku hanya menunggu nyali."

Kami semua menahan napas.

"Kamu mau menikah denganku?"