Entahlah

Ada musik yang mengalun perlahan, entah darimana. 

Iramanya konstan, nyaris datar seperti hati yang tak pernah didatangi. 

Sepi. 


Aku diam-diam mengamati gerakan hati. 

Masih kosong, lompong. Ruang-ruangnya masih sama. 

Di dindingnya ada bekas luka. Besar tapi di permukaan, kecil tapi merusak jaringan. 

Aku terlampau hapal dengan labirin yang kuciptakan sendiri. 

Rumit dan sederhananya, plus jalan pintas masuknya. 


Kupikir hanya aku yang tahu. Tapi rupanya aku hanya sok tahu.


Di ruang hati yang sama sekali baru, kamu, telah membangun istanamu sendiri. 

Tidak sebagai penyusup, kamu hadir lebih seperti teman lama yang hadir kembali. 

Terasa begitu familiar, seperti kita pernah membuat janji bertemu di Surga dulu. 


Entahlah, bisikku. Pada diriku.

Jejak-Jejak Kita

"What am I gonna do when the best part of me was always you?
And what am I supposed to say when I'm all choked up and you're OK?
I'm falling to pieces..."


  
Ternyata, cerita ini tak memiliki akhir yang semestinya.
Kita pernah bersama, itu benar.
Kita pernah saling membagi cerita.
Kita pernah duduk bersama, saling bertatap muka.
Kita pernah membagi hati sembari saling menjaga.

Tapi kemudian, kamu memutuskan untuk pergi begitu saja.

Jejak-jejak kita, katamu hapuskan saja.

Tapi, bagaimana dengan jejak yang telah terpatri di kepala?

Bagaimana kabar hatiku tanpa kamu yang menempati?

Seperti apa malamku tanpa suaramu dalam sepi?

Apa yang harus kulakukan pada air mata ini?


Sementara kamu, kini baik-baik saja.

Kamu dengan cepat pulih, seperti aku bukan siapa-siapa.

Seperti semua cerita yang ada selama ini hanya dongeng belaka.

Seperti jejak-jejak kita tak pernah tertanam di kepala lalu hilang begitu saja.


Ini mungkin memang akhir yang semestinya. Aku yang hanya tak bisa menerima.

Hujan dan Pelangi

Kemeja kusut biru tua dan sepasang Converse yang telah termakan usia. Vespa berwarna toska yang mencolok mata. Hari ini, di bawah gerimis, dia membawa sebungkus gorengan di tangannya. Terlihat kepayahan dengan jaket kulit yang belum sepenuhnya terpakai dan motor yang tak kunjung hidup. Rambut setengah ikalnya terjatuh menutupi sebagian pipi yang tirus, hidung mancungnya jadi satu-satunya yang dapat kulihat dari wajah yang kini terasa begitu familiar. Begitu akrab. Seidentik pagi dengan telur mata sapi dan kopi, atau sore dengan secangkir teh hangat dan gurauan singkat. 

Hujan tak juga reda. Gerutuan di halte mulai terdengar, mendadak hujan jadi seperti pembunuh keji yang pantas dihujat sesukanya. Suara protes dan rencana yang tertunda, seseorang yang menunggu di suatu tempat, atau kejutan yang berantakan. Dasar, hujan.

Katanya, saat hujan adalah waktu baik untuk berdoa. Doa macam apa yang ingin kuminta. Aku minim pinta.

Si pria kurus ber-Vespa melewati halte tempat segala kejemuan berada. Seorang diri di jalanan yang sepi, dia menerobos hujan. Kurasa dia satu-satunya yang tak marah pada keadaan. Atau marah, tapi lebih ingin menerima. 

Aku memandangi punggungnya dari kejauhan. Tuhan, aku mau melebur jadi hujan. Lalu menjatuhi pundaknya yang ringkih, memeluknya. Apa perasaan ingin memeluk seseorang selalu muncul saat hujan datang? Atau cintaku terlalu cepat jatuh pada si pria kurus penakhluk hujan?

Ah, cepat sekali kepala dan hatiku sepakat kalau ini cinta.

Kemudian, hujan berhenti. Rintikan mulai reda, tetesan kecil mulai meninggalkan tempat-tempat yang mereka jatuhi. Mereka yang berteduh kembali memenuhi jalan, berbaur dengan udara lembab setelah hujan. Sementara aku masih berdiri di halte, sendiri, menyaksikan lahirnya pelangi. Semburat warna-warni yang melengkung di sisa-sisa gelap langit yang mulai membiru laut lagi.

Dari ujung jalan, kulihat si pria kurus yang entah kenapa kembali ke tempatnya semula pergi. Kupandangi punggungnya, terutama pundak tirusnya. Juga Converse tua dan Vespa toska. Dia berwarna. Ah benar, dia pelangi.

Tapi, persis seperti pelangi, dia tak lagi indah tanpa hujan.

Rasaku kemudian pergi. Secepat itu. Secepat hujan meluruhkan kenangan.