Dia, Kau, dan Cinta Perihal Tawa

"Kamu sedang apa?"

Dia sedang kepayahan meniup balon saat kau datang. Muncul tiba-tiba entah dari mana lalu berdiri persis di depan balon yang tak kunjung membesar. Di jalan yang biasanya sepi, wajar kalau dia sempat mencurigai kau yang mendatanginya. Kejahatan ada dimana-mana. Dan bukannya ingin menyombong, tapi dia sadar dia gadis cantik yang sangat mungkin menarik perhatian.

"Memangnya aku terlihat seperti sedang apa?"

"Itu kamu sebut meniup balon? Bukannya sesak nafas?"

Dia pikir komentarmu menyebalkan, tapi tak bisa menyalahkan. Kau benar, dia tak bisa meniup balon. Takut, lebih tepatnya. Tapi satu jam lagi dia harus menghias ruang kafe dengan semua balon ini. Kejutan ulang tahun untuk adik kesayangannya.

"Sini, biar kubantu."

Lalu, dia membiarkanmu meniup semua balon yang tersisa. Semua balon, lebih tepatnya. Karena sejak lima belas menit lalu, tak satupun balon berhasil dia tiup. Di sela adegan meniup balon, kau melirik ke arah dia yang memerhatikanmu dengan seksama. Seperti sedang mencari kuman di antara pori-pori. Kau tersenyum ke arah dia, memicingkan mata, lalu mencium bibirnya lewat balon yang kau tiup. Dia terkejut, matanya membesar, tapi tak marah. Wajahnya bahkan bersemu merah.

Lalu kau mulai membuat lelucon. Karena balon tinggal tersisa tiga buah, kau seakan mengulur waktu agar lebih lama bersama dia yang juga tampak menikmati lelucon yang kau tawarkan. Dia tertawa hingga matanya tinggal garis. Kau senang membuatnya tertawa, dia senang kau buat tertawa. Kemudian, kau dan dia sadar kalau kalian sangat suka tertawa.

Dia jatuh cinta pada kau yang bisa membuatnya tertawa.

"Aku akan selalu membuatmu tertawa kalau kamu mau."

Dia tertawa lagi. Jatuh cinta tak pernah begini mudah, dia berbisik dalam hati. Lucu bagaimana tawa bisa membuat dia jatuh cinta. Lucu bagaimana kau bisa dengan mudah menarik hatinya hanya lewat tawa. Dia berbisik pada dirinya sendiri, nyatanya cinta bisa datang dari mana saja.

Dia menawari kau untuk ikut ke pesta ulang tahun adiknya. Kau menolak. Sudah ada janji, katamu padanya. Dia terlihat kecewa lalu bertanya memangnya janjimu sepenting apa.

"Pacarku hari ini juga ulang tahun."



Dan kemudian dia tak lagi paham pada keadaan hatinya. 

Kau membuatnya bahagia, jatuh cinta. Lalu pergi begitu saja.

Kau membuatnya tertawa geli, tapi kau tak bisa dia miliki. Tawanya tak abadi.



"Jangan lagi buat aku tertawa."

"Kenapa?"

"Jangan lagi. Selama tawamu bukan untukku saja."

Bangku Kayu Tua




Akan ada saat kamu hanya ingin sendiri. Bukan lelah pada dunia pun isinya. Hanya ingin duduk, menepi sejenak dari hiruk pikuk. Mungkin renungmu tak melulu berpikir, kadang hanya diisi hening yang panjang. Seperti bicara pada diri sendiri, padahal tidak. Kamu hanya sedang tak ingin berinteraksi, bahkan dengan isi kepalamu sendiri. Ini masa egois. Tapi naluri.

Akan ada saat kamu merindukan bangku yang nyaman. Dan teman bercerita yang tak balik banyak bicara. Bangku kayu tua yang lapuk dan lembab, tapi tak pernah menyalahkan hujan karena telah membasahinya. Membuatnya tak lagi nyaman, membuatnya kian rapuh, tapi tak balik meneriaki betapa hujan begitu tak punya hati. Bangku kayu tua yang berteman dengan dedaunan yang tak lagi diinginkan pepohonan. Tanah lebih beruntung. Hujan justru membuat wanginya memenuhi udara. Petrichor, begitu orang menyebutnya. Tapi bangku kayu tua, tak sempat iri pada temannya.

Bangku kayu tua, seperti sisi dirimu yang tak banyak tanya. Sisi yang lelah tapi tak punya daya untuk protes pada dunia. Pada semua cerita yang tak semestinya, pada akhir kisah yang meremuk jiwa, pada perihal-perihal yang tak pada tempatnya. Tapi kamu dan jiwamu, tak ingin dan tak tahu harus bagaimana. Ada disana, tapi tak berbuat apa-apa. 

Tapi bangku kayu tua, haruslah tetap disana.

Agar kelak saat dunia tertawa, kamu punya pelarian kosong yang tak banyak tanya. Agar kelak saat hati dan kepalamu sama-sama minta dimenangkan, kamu tahu kemana harus mencari ketenangan. Karena yang kamu sebut sendirian, tak melulu berisi kekosongan.

Bahkan saat kamu sedang sendirian, kamu masih juga berduaan. Dengan Tuhan.

Aku mendadak rindu bangku taman.

Kita Jatuh Cinta Sajalah

"Jatuh cinta sajalah." 

Bagaimana perihal cinta yang salah? Ah, bagaimana kamu tahu kalau dia salah? Karena semua tak berjalan sesuai angan? Karena apa yang kamu bayangkan ternyata tak sama dengan kenyataan? Karena ternyata dia tak lagi sejalan saat kalian sudah separuh jalan? Karena... kamu hilang harapan?

Katanya, kelak akan ada seseorang yang begitu tepat. 

Yang saking pasnya, akan membuatmu paham kenapa selama ini semua yang berjalan tak pernah terasa benar. Yang membuatmu lega telah melepaskan diri dari yang menurutmu salah. Yang kehadirannya saja, bisa begitu membuatmu yakin kalau saat ini adalah yang paling tepat.


Saat dia di hadapanmu, kamu hanya akan tahu.

Mungkin tak sempurna. Mungkin tak membuatmu berbunga.

Tapi, hanya dengan tawa polosnya saja, kemudian kamu terpana.

Yang mengajakmu untuk terus jatuh cinta, selamanya. Terus begitu saja.


"Kita jatuh cinta sajalah."

"Jangan berkata seolah ini mudah."

"Seolah? Kau salah. Ini memang mudah."

"Bagaimana kamu tahu kalau ini mudah?"

"Sudah kubilang, kan. Kita jatuh cinta sajalah."