Kita dan Kilometer

"Nomor yang Anda tuju sedang tidak..."

Kututup flip ponsel dengan cepat. Marah sekaligus khawatir. Aku tak tahu mana yang lebih menguasai pikiran saat ini. Aku benci saat-saat seperti ini. Saat otak bahkan tak bisa diajak berpikir karena terlalu banyak yang minta dipikirkan. Sementara hati ingin marah dan menangis, otak kini sedang menghadapi serangan dari berbagai pikiran positif dan negatif.

Sulit menjadi profesional di bidang hubungan jarak jauh.

Akhirnya, terpaksa kutabung lagi rinduku. Kekasih yang tak mengangkat panggilan, apapun alasannya, tetap jadi saat paling tak mengenakkan yang harus kutanggung. Kami tak selalu punya waktu luang yang sama, kami tak selalu punya banyak waktu untuk sekadar bicara. Sore ini aku punya waktu dua jam saat rehat dari kuliah yang membosankan. Dan kesayanganku yang puluhan kilometer jauhnya itu, malah tak mengangkat panggilan penting ini. Tujuh panggilan tanpa balasan.

Setelah menelan rindu bulat-bulat, aku kembali menatap langit. Senja sedang cantik-cantiknya. Semburat merah dan semua komposisi yang hanya dimiliki oleh jam-jam krusial ini sungguh tak ada duanya. Pantas saja senja masih jadi favorit banyak pujangga.

Sayangnya, kita ada di langit yang berbeda.

Aku menikmati senja di sini, sendiri. Berusaha menata hati dan yakin pada kita yang kini terpisah begitu jauh, yang tak bisa saling rengkuh. Berat rasanya membayangkanmu menghabiskan senja bersama siapapun itu yang aku tak tahu. Mungkin kalian tak melakukan apa-apa, tapi, apalah arti statusku kalau di sisimu saja aku tak ada. Jadi tempatmu bersandar saja, aku tak bisa.

"Maaf, tadi aku rapat. Kenapa?"

"Kenapa?" kuulang lagi pertanyaannya dengan sedikit tawa. "Jadi, sekarang aku harus punya alasan khusus kalau ingin menghubungimu? Sejak kapan?"

"Lho, kok kamu marah?"

"Nggak, aku nggak marah. Aku hanya..."

"Kamu lelah? Kamu ingin putus?"

Aku terdiam. Jantungku sakit.

Lelahkah kamu, sayang? Ingin putuskah, kamu? Karena aku, tak pernah ingin.

"Kamu lelah? Kamu ingin putus?"

Kini, giliran dia yang terdiam saat kulontarkan kembali pertanyaan itu padanya. 

Yang membuatku takut, dia terdiam jauh lebih lama.

Nah, Sudah Kukatakan...


Hai, Kamu.

Aku ingin menanyakan kabarmu, tapi aku tahu kamu sedang bahagia. Tentu saja. Kita bertemu nyaris setiap hari. Mungkin kepalamu sedang mencerna baik-baik, kenapa aku mengirimi surat. Kenapa jadi sok melankolis, kenapa jadi seperti orang zaman dulu. Kalau ada apa-apa lebih baik sampaikan langsung saja, pasti itu pertanyaanmu sekarang. Turunkan dulu alismu yang bertaut, supaya aku bisa lebih tenang memaparkan satu persatu maksudku padamu. Nah, iya begitu.



Aku jatuh cinta padamu.

Itulah yang ingin kukatakan. Itulah yang selama ini ingin kusampaikan. Di tiap ada kesempatan, rasanya ingin sekali kuutarakan. Tapi mulutku, tak pernah punya nyali untuk jadi perantara hati. Tak pernah punya nyali, sekadar bertanya apa kamu telah dimiliki. 

Saat kita sekadar berpapasan tanpa kata, saat kita berbagi cerita, saat aku membuat lelucon lalu kamu tertawa, saat kamu sedih dan aku hanya bisa berdiri disana. Aku ingin bilang, aku jatuh cinta. Aku ingin bilang, aku hampir gila semakin lama rasa ini tersimpan.

.... Wow. Sudah kukatakan. Akhirnya kukatakan.

Seperti apa wujudku di hatimu, aku penasaran. Tapi sungguh, perkara balasan, aku tak mengharap apa-apa. Ini bukan munafik, hanya tak ingin kamu tertekan. Karena jatuh cinta adalah pilihanku, jatuh cinta kembali padaku adalah pilihanmu. Tapi, apa aku ingin bersamamu sembari memilikimu? Tentu saja aku ingin. Tapi maksud surat ini, bukan untuk memintamu. Surat ini perantara mulutku yang selalu kesulitan mengucap bahkan tiap kali hatiku telah bulat.

Kamu, kelak akan kuungkapkan langsung padamu. Semua isi surat ini, akan kuucapkan ulang kata perkata tanpa harus melongo isi kertas. Aku hapal. Ini yang setiap saat terngiang di kepala. Ingin sekali seperti pujangga yang bisa bicara langsung pada yang dipuja. Tapi aku yang jatuh cinta diam-diam ini memangnya bisa apa.

Semua sudah kukatakan, baiknya surat ini aku sekiankan.


Sekali lagi kukatakan, aku jatuh cinta padamu.


------




P.S. Surat ini terinspirasi dari novel terbaru @benzbara 'Surat untuk Ruth'. Dan dari beberapa cerita teman yang sedang jatuh cinta diam-diam. Jenis kelamin pengirim dan yang dikirimi surat dalam postingan ini, terserah pada yang membaca. Atau, terserah pada kalian yang sedang jatuh cinta diam-diam hingga tak mampu mengungkapkan. *keliling naik Vespa merah*