Cerita-Cerita Pilihan

Halo, para pembaca! ^^

Blog ini punya beberapa seri cerita dengan tokoh yang sama. Saya mendapat beberapa pembaca setia dari seri-seri cerita ini. Kebanyakan dari mereka jatuh cinta dengan tokoh dan jalan ceritanya yang kemudian membuat saya jadi semangat untuk melanjutkan cerita atau membuat cerita baru dengan tokoh yang sama. Ini link beberapa seri cerita favorit yang bisa kalian intip:

Seri 'Adrian-Riifa' 
Tokoh: Riifa, 23 tahun, editor majalah.
            Adrian, 27 tahun, manajer umum CNA.
#1st Day - Pertemuan

Seri 'Celemek Merah Muda'
Tokoh: Zachary, lulusan universitas luar negeri.
            Asca, guru TK bercelemek merah muda.
Celemek Merah Muda 1


Seri 'Pria Abu-Abu'
Tokoh: Biru, pria berbola mata abu-abu.
            Alegra, gadis pengagum punggung Biru.
Pria Abu-Abu


Terima kasih atas apresiasi hebat kalian selama ini. Selamat membaca! Ditunggu komentarnya! ^^
            

Kamu, Sampai Jumpa Lagi, Ya!

Ah, perasaan tak nyaman ini datang lagi.

Suara penggorengan berisi nasi goreng, kendaraan yang lalu lalang, dan obrolan orang-orang. Suasana yang sama sekali tak mendukung untuk berduaan, tapi aku masih dapat memandangi lelakiku dengan khusyuk dan hanya mendengar suaranya saja. Dia suka sekali nasi goreng kambing, jadilah cerita kami terhenti tiap kali dia mengunyah. Sesekali dia mengangkat kepalanya dari piring lalu tersenyum padaku, meminta kekasihnya maklum. Aku yang biasanya balik tersenyum, kali ini malah lebih ingin memalingkan wajah. Ada raut yang ingin kusembunyikan, melihat wajahnya sekarang hanya membuat perasaanku makin runyam saja.

"Pulang, yuk," katanya setelah membayar makanan. Aku mengikutinya menuju parkiran motor yang agak jauh. Tangan kami saling menggenggam, tapi yang kulakukan hanya terus menunduk menatap jalan. Gelap. Hitam. Betapa aku ingin sekali mendadak melebur jadi aspal.

Aku menolak dipasangkan helm olehnya. Tapi, dia tak peduli.

"Kamu kenapa, sih? Biasanya juga aku yang pasang," katanya sambil menjawil hidungku.

Di atas motor, perasaanku makin berantakan.

"Besok mau ikut mengantarku ke stasiun?" tanyanya.

Aku hanya mengangguk. Stasiun. Besok, lelaki yang sedang kupeluk ini akan pergi. Sekali lagi, meninggalkanku dan kota ini. Aku, lagi-lagi, akan menangis dan sengsegukan seorang diri. Tak juga terbiasa akan perpisahan yang pasti terjadi. Lelakiku asyik bercerita sementara aku menatap lampu-lampu jalan dengan hampa.

Butuh berapa lama lagi hingga aku bisa mendekap punggungnya seperti ini? Harus menelan rindu sebanyak apa lagi hingga akhirnya aku bisa menghirup parfumnya yang samar terbawa angin? Berapa ratus hari lagi yang harus kulewati dengan menghitung kepulangannya, hanya untuk kemudian melepasnya, di tempat yang sama sambil berair mata?

Pundakku mulai bergetar. 

Wahai Tuhan sang pemilik waktu, aku tak ingin cepat-cepat besok. Wahai Tuhan sang pemilik jarak, aku tak ingin lagi terpisah tempat. Rasanya lelah terus menerus menarik napas dalam-dalam saat tak bisa memeluk lelaki ini dengan leluasa. Rengekanku tak sekadar ingin nonton berdua atau makan bersama seperti pasangan selayaknya, aku hanya ingin lelaki ini selalu berada di sisi. 

"Bersabarlah sebentar lagi, ya. Bersabarlah sekali lagi."

Dia meraih tanganku, diletakannya di perut bersama dengan tangannya yang hangat. Aku mengamini kata-katanya, berusaha menjejalkannya di kepala. Tak sesiapa, tak juga kita, paham bahwa perpisahan akan selalu perkara rela. 

Malam ini, kami bersama. Malam esok, sudah berbeda kota. Ritual mengabari tiap malam akan dimulai lagi, percakapan kecil dengan muka mengantuk di awal hari. Harus puas dengan suara, harus kembali bergulat dengan khawatir, harus menerbangkan banyak doa lagi.

Kemudian sekali lagi, kami menyanyikan lagu wajib tiap kali selesai bertukar kabar.

"Aku di sini dan kau di sana, hanya berjumpa via suara, namun ku s'lalu menunggu saat kita akan berjumpa. Meski kau kini jauh di sana, kita memandang langit yang sama. Jauh di mata namun dekat di hati..."

Kepada angin yang menerbangkan air mata, aku ingin sekali lagi menitip doa. Jagalah lelaki ini, buat dia tersenyum saat harinya sedang sulit. Jangan biarkan dia kesepian saat tak ada seorang pun yang dapat dia andalkan. Aku ingin dia baik-baik saja hingga kami bertemu lagi.

"Aku benci stasiun," gumamku. 

"Aku pun," gumamnya. Kemudian kami tertawa.

Berkali-kali dipisahkan keadaan, kami masih saja bersama. 

Anggap aku sok tahu, tapi sungguh, inilah yang orang sebut cinta.


Tuan, Aku Ingin Bertanya


photo from artwallpaperhi.com



Tuan, sekali saja, izinkan aku bertanya
Apa kini kau sedang membunuhku perlahan?

Karena akhir-akhir ini, hatiku makin terasa hampa
Seakan sedikit demi sedikit kau keluar dari sana
Tak serta merta, namun perihnya terasa
Apa kini kau sedang meninggalkanku?

Tuan, sekali saja, jawablah semua tanda tanya
Apa kau sudah tak menginginkanku lagi di masa depan?

Karena akhir-akhir ini, jiwaku makin terasa kesepian
Kau seakan tak pernah benar-benar berada di sana
Pundakku kini sering menggigil
Tak kuat menahan desakan air mata
Karena kau makin terasa tak tergapai

Tuan, sekali saja, mintalah sesuatu pada semesta
Apa benar kalau selama ini hanya aku saja yang berjuang?

Karena sungguh, kakiku-kakiku makin lelah
Kupikir karena kita telah jauh melangkah
Tapi ternyata, selama ini aku berjalan seorang diri
Kau, entah sejak kapan, terasa memisahkan diri

Tuan, tak pernahkah kau berdoa untuk kita?
Untuk semua suka duka dan fajar senja
Untuk semua cerita yang disaksikan oleh kita saja

Tuan, hatiku kini berantakan
Langkahku terasa berat tapi aku bahkan sulit melihat
Jalan ke depan gelap karena kau menolak menerangi
Jejak-jejakku merindukan jejak-jejakmu
Ruas-ruas jemariku merindukan ruas-ruas jemarimu



Tuan, apa seperti ini rasanya perpisahan?


Aku (Membuang) Masa Lalumu

(Seri Rama & Lana)


“Oke. Laporan keuangan ini kacau.”

Lana mengamati langit-langit kamarnya yang kecoklatan. Ada dua ekor cicak di sana. Entah sedang mencoba berteman atau memikirkan menu makan siang. Atau mungkin tak setenang yang terlihat, mereka sedang mengambil ancang-ancang untuk saling menyerang. Seperti air. Seperti manusia. Kau tak bisa menilai interaksi yang terjadi hanya lewat mata. Rasanya akhir-akhir ini manusia kehilangan naluri untuk saling membaca lewat mata, pikirnya.

Sembari menunggu kiriman laporan keuangan perusahaan yang baru, dia mengecek beberapa surel yang masuk. Tujuh dari kantor dan satu dari kekasihnya. Pesan dari kantor rata-rata berisi keputusasaan dari beberapa rekan kantornya yang butuh bantuan dan memintanya segera kembali ke kantor plus ucapan cepat sembuh yang terasa mendesak bahkan hanya lewat ketikan. Lana tertawa, setengah meringis saat luka bekas operasi di perutnya terasa perih.

“Tumornya sudah diangkat. Semoga kau cepat pulih.”

Tidak, dokter, aku tak ingin pulih dengan cepat, katanya saat itu. Dokter yang menanganinya hanya tertawa, menanggapi lelucon yang padahal sungguhan. Lana, si gadis super sibuk yang terkenal gila kerja, menginginkan istirahat panjang untuk dirinya. Untuk pikiran yang kerjanya bahkan lebih payah dari badan. Istirahat dari apa tepatnya, dia sendiri tak yakin. Seluruh partikel yang ada di tubuhnya, sel terkecil sekalipun, menuntut jeda yang tak sebentar.

Rama, kekasihnya, masuk ke kamar di saat yang begitu tepat.

“Apa yang kuinginkan?” tanyanya lemah.

“Aku baru saja mengecup keningmu. Jadi, apa yang kauinginkan? Aku mengecup pipimu? Oh, apa boleh aku mengecup yang di bawah hidung?” canda Rama.

“Aku… tak merasa hidup.”

Rama tercenung. Pertanyaan dan pernyataan itu serius rupanya.

“Boleh aku menebak apa yang mungkin kauinginkan?”

Lana mengangguk. Rama mulai menyebutkan semua kemungkinan yang diinginkan kekasihnya. Mulai dari hal konyol seperti sepatu atau tas sampai uang pensiun yang cukup untuk membeli sebuah apartemen di Manhattan. Bertemu Bradley Cooper, keliling New Zealand seorang diri, hingga selfie bersama Pangeran Harry. Semua. Dan tak satupun yang membuat puas Lana. Gadis itu hanya merengut dengan alisnya yang bertaut.

Rama mencoba usaha terakhirnya. “Aku?”

Ekspresi Lana masih sama. Menatap hampa mata Rama, yang kini semakin bingung dibuatnya. Rama baru saja akan menyuruhnya istirahat saat tiba-tiba Lana meledak dalam tangis yang keras. Kekasihnya menangis begitu saja, dengan suara yang sama sekali tak ditahan. 

Seperti raungan anak kecil yang tak dibelikan gulali oleh ayahnya.

Rama terdiam. Ini pertama kalinya Lana menangis seperti bayi yang sedang tumbuh gigi sejak setahun mereka bersama. Rama meraih bahu Lana lalu menimang-nimang kepala kekasihnya di dada. Bahkan dari balik kemeja Rama yang mulai basah, suara raungan Lana masih terdengar dengan jelas. 

“Ada apa?” ibu Lana masuk, menatap mereka berdua.

Rama mengangkat bahu. “Andai aku tahu.”