Surat Untuk Diri Sendiri


Pernahkah kamu menulis surat untuk dirimu sendiri? 
Kemarin, saya habis menulis surat untuk diri sendiri. Surat untuk dibaca empat bulan lagi, dan bertahun-tahun yang akan datang. Ini kebiasaan saya sejak sekitar belasan tahun lalu, menulis surat untuk diri saya sendiri yang kemudian disimpan untuk dibaca di kemudian hari. Saya punya banyak sekali surat untuk diri saya sendiri.
Saya pernah menulis surat untuk diri sendiri sekitar 10 tahun lalu yang saat dibaca ulang saat ini ternyata membuat saya menangis sengsegukan. Saya jadi teringat lagi, pergolakan batin macam apa yang saya hadapi 10 tahun lalu. Saya jadi teringat lagi, masalah apa yang akhirnya berhasil saya lewati, apa yang kini sudah saya capai sejak saya menulis surat itu. Rasanya haru dan bahagia.
Lewat surat-surat yang saya tulis, saya jadi semakin sadar kalau Tuhan tidak tidur. Ia mendengar, melihat ikhtiar, mengaminkan doa-doa. Saya jadi tahu kalau resah yang dulu begitu mengganggu tak lebih dari kerikil bagi saya di saat ini. Saya jadi tahu kalau kesulitan-kesulitan memang akan berakhir. Saya jadi sadar kalau ternyata perjalanan yang saya lalui sudah jauh sekali.
Coba tulis surat untuk dirimu sendiri, entah untuk dibaca sebulan, setahun, atau entah berapa tahun lagi. Bagus untuk membuatmu mengingat apa yang sedang kamu perjuangkan saat itu, bagus untuk jadi pengingat perasaan dan pikiranmu saat itu. 
Surat-surat yang bisa mengingatkanmu tentang siapa yang saat itu berada di sisimu, apa yang kamu rasakan, hal apa yang kini telah berubah. Surat-surat yang bisa menyadarkanmu tentang umur dan kesempatan yang masih diberi Tuhan hingga kamu bisa membaca suratmu kembali. 
Yuk, tulis surat untuk dirimu di masa depan!

Paket Masa Lalu


Saat kamu menerima seseorang masuk ke dalam hidupmu, artinya kamu menerima dia sepaket dengan masa lalunya. Pengalaman hidup yang pernah dia lalui, entah baik atau buruk. Pelajaran-pelajaran yang membentuknya hingga jadi dia kini, meski beberapa meninggalkan hikmah, mungkin beberapa malah meninggalkan trauma. 
Saat kamu menerima seseorang masuk ke dalam hidupmu, artinya kamu menerima dia sepaket dengan masa lalunya. Termasuk kenangan yang dia punya, termasuk orang-orang yang pernah dia cinta. Termasuk wanita atau pria yang dia beri perhatian sebelum kamu, wanita atau pria yang mungkin saja pernah dia janjikan selamanya. Termasuk wanita atau pria yang mereka pernah membayangkan masa depan bersama, wanita atau pria yang pernah begitu menguasai hati dan pikiran dia yang kamu cinta. 
Saat kamu menerima seseorang masuk ke dalam hidupmu, artinya kamu menerima dia sepaket dengan masa lalunya. Dan hal itu jelas tidak apa-apa, tidak akan mengubah apa-apa. Karena seperti dia, kamu pun punya masa lalu dan orang-orang yang pernah kamu cinta. Kamu hanya harus menerima, kamu hanya harus yakin bahwa kini kamulah yang utama. Kamu hanya harus percaya bahwa kini kalian sedang bersama dan akan terus begitu hingga selamanya.

Merantau


Merantau. Melangkah keluar rumah demi menapaki dunia yang selama ini tak dikenal baik. Melangkah keluar rumah demi menjalani pendidikan, demi menjajal pekerjaan, demi mencari jati diri. Melangkah keluar dari rengkuh nyaman ayah ibu untuk kemudian berkenalan dengan orang-orang tua baru, keluar dari tawa teman-teman untuk kemudian melebur dengan orang-orang yang bahkan bahasa dan gerak-geriknya terasa tak familiar, keluar dari petak rumah yang selama ini menerimamu apa adanya untuk kemudian menyesuaikan diri dengan petak ruang baru yang dingin dan asing.
Merantau. Tak ada nasi hangat, bubur kacang hijau, dan sapaan khas ibu saat kamu pulang. Tak ada bantuan ayah saat kamu sakit atau kesulitan. Tak ada kehadiran orang-orang yang biasa kamu jadikan pelampiasan, tak ada pemakluman dari orang-orang yang begitu mengenalmu hingga kamu tak harus berpura-pura jadi orang lain. Hiruk pikuk saat matahari sedang tinggi, mendadak berganti senyap saat malam datang. Di penghujung hari, yang tersisa tinggal kamu dan sepetak ruang tempatmu terlelap. Di penghujung hari, kamu sadar kalau kamu kini juga terdiri dari kesepian-kesepian. 
Merantau. Tentang menemukan orang-orang baru yang kemudian jadi teman baik atau bahkan jadi keluarga kedua. Tentang menyadari bahwa perhatian kecil yang selama ini tak kamu pedulikan, ternyata begitu penting dan berharga. Tentang menyesuaikan diri sebaik dan sesulit-sulitnya, untuk diterima, untuk dianggap ada, untuk dihargai kehadirannya. Tentang terjatuh sendiri, lalu berusaha bangkit seorang diri karena sadar kamu tak bisa selamanya bergantung pada orang lain, karena sadar kamu kini menapak di atas kedua kakimu sendiri. Tentang menyembunyikan kabar-kabar buruk dari keluarga di rumah, berusaha tidak mengeluh, berusaha tertawa dan baik-baik saja. Tentang menahan rindu yang kadang tak terbendung air mata hingga nanti tiba saatnya pulang. 
Merantau. Bukan karena tak sayang keluarga, bukan karena tak menghargai waktu bersama mereka. Bukan pula karena orang tua yang tega, bukan karena orang tua yang tak mau menjaga. Ini tentang orang tua yang ikhlas melepas, mengiringi langkah anak-anaknya dengan doa, ini tentang anak-anak yang ingin meraih apa-apa yang dicita-citakan. Entah itu gelar, jabatan, materi untuk menopang keluarga, atau sekadar menjaga jarak demi kebaikan.
Merantau. Sebagian tentang berjuang, sebagian lagi tentang melawan kesepian.