Orang-Orang


Orang-orang yang selalu bilang, "Makanya jangan begini!" "Makanya jangan begitu!" saat kita sedang diuji dan terpuruk adalah seburuk-buruknya orang-orang. Seakan-akan menderita dan merasa sedih adalah pilihan kita sendiri, seakan-akan kita ingin dan nyaman berada dalam keadaan duka, seakan-akan kita tak ingin berhasil dan bahagia.
Orang-orang yang selalu bilang, "Si ini saja bisa, masa kamu nggak." "Tapi aku bisa gini gitu, kamunya kurang usaha kali." saat kita belum mendapatkan apa yang kita inginkan adalah sejahat-jahatnya orang-orang. Seakan-akan doa-doa yang kita panjatkan tak ada artinya, seakan-akan upaya dan ikhtiar yang kita jalani hanya omong kosong, seakan-akan hidup dan takdir orang per orang adalah sama, seakan-akan dibanding-bandingkan itu tidak menyakitkan. 
Orang-orang yang selalu merasa paling paham dan khatam dalam hidup, orang-orang yang merasa tahu betul akan gelisah di pikiran dan lubuk hati orang lain, orang-orang yang mengecilkan dan menganggap remeh masalah dan beban lahir batin orang lain, orang-orang yang merasa hidupnya paling benar hingga yang orang lain jalani adalah salah, orang-orang yang jarang sekali mempertimbangkan baik buruk kata-kata dan tindakannya, orang-orang yang menyembah hasil dan tak pernah menghargai proses dan perjuangan. 
Jangan jadi orang-orang yang begitu, ya. Kita tidak berhak mengomentari terlebih menghakimi hidup orang lain. Kita tidak pernah tahu, barang seujung kuku pun, betapa kerasnya mereka berjuang. Kita tidak pernah tahu, gelisah macam apa yang berkecamuk dan harus mereka tanggung beratnya. Hidup ini keras, jangan jadi orang-orang yang malah memberi beban lebih pada hidup orang lain, alih-alih meringankannya.

Orang yang Tepat


"Orang baik itu banyak sekali tapi hanya ada satu yang tepat, 
selebihnya hanyalah ujian." -Kurniawan Gunadi

Kemudian kamu dihadapkan dengan pilihan-pilihan. Mana yang sesungguhnya tepat, mana yang hadir hanya sebagai ujian. Mana yang kelak akan mendampingimu selamanya, mana yang merangsek masuk ke dalam hidup untuk sementara saja. Mana yang mempertimbangkanmu dengan matang, mana yang sekadar ingin datang. Mana yang mengaminkan doa-doa baikmu, mana yang malah ingin mematahkan. Mana yang menganggap perasaanmu berharga dan patut dijaga, mana yang bahkan tak ambil pusing dan mengabaikannya. Kurasa yang paling utama adalah perkara hatimu dan niatmu. Kurasa juga, orang yang tepat pastilah dia yang memiliki hati dan niat yang sejalan denganmu hingga kalian bisa sepakat kalau kalian sudah menemukan yang dirasa tepat.
Seperti saat menemukannya, kamu tahu kamu sudah pulang. 


Sabar


Dalam hidup, tak semua yang kamu rencanakan jadi kenyataan. Kebanyakan berakhir jadi sekadar wacana atau bahkan gagal di tengah jalan. Dalam hidup, tak semua yang kamu inginkan, pasti akan kamu dapatkan. Kebanyakan diganti dengan sesuatu yang lain atau bahkan tak dapat sama sekali. Dalam hidup, tak semua doa-doa baikmu dikabulkan. Kebanyakan ditunda atau bahkan pupus begitu saja dalam perjalanannya menuju langit.

Dalam hidup, tak semua yang kamu bahagiakan dengan sungguh-sungguh juga membahagiakanmu dengan sungguh-sungguh. Kebanyakan tak paham bahwa ia sedang dibahagiakan atau bahkan ia sedang terlalu sibuk membahagiakan orang lain. Dalam hidup, tak semua yang kamu pikir akan melengkapi juga bersedia hadir dan tak pergi. Kebanyakan ia sibuk dengan pikirannya sendiri atau bahkan memutuskan untuk angkat kaki.

Sabar. Kamu hanya harus sabar.

Nanti akan ada masanya kamu dicukupkan. Seseorang untuk menemani suka duka, teman-teman yang bersedia hadir tak hanya saat kamu tertawa, harta baik yang meski tak banyak akan selalu ada, rencana-rencana besar yang satu persatu mulai terwujud nyata.

Sabar. Kamu hanya harus sabar.

Kamu adalah apa yang kamu tanam. Ikhtiar, sabar. Semua akan baik-baik saja.


Sebuah Perjalanan


Setelah selama ini terlalu sibuk dengan perjalanan duniawi, tak terasa, tahu-tahu sudah bertemu Ramadan lagi. Entah Ramadan yang mendatangi atau kita yang bergerak maju menghampiri. Satu yang terpenting, kita masihlah diberi usia dan kesempatan merasakan berkahnya lagi. Sahur lagi, menahan lapar haus lagi, berbuka lagi.
Sudah lebih baikkah kita tahun ini? Sudah sampai mana perbaikan ibadah yang kita lakukan? Sudah berapa kali kening bertemu dengan sajadah dengan khusyuk? Sudah berapa malam kita pasrah dengan doa-doa dalam tengadah? Sudah berapa kali kita membuka Al-Quran lalu melantunkannya? Sudah seberapa sering kita melihat baik-baik ke dalam diri, memahami, mengoreksi, lalu malu akan dosa sendiri?
Perjalanan umroh lalu, membuat saya sadar bahwa ibadah bukan cuma kewajiban, namun juga hak yang besar dan mewah sekali. Bahwa perjalanan ibadah ini, bukan tentang seberapa sering kamu menginjakkan kaki di sana, namun tentang apa-apa yang kemudian kamu resapi dan sadari di dalam jiwa. 
Bahwa kamu adalah seorang hamba, bahwa tiap-tiap kita juga terdiri dari tumpukan dosa. Ini bukan tentang siapa yang lebih suci, bukan tentang siapa yang lebih taat. 
Kita sungguhlah hanya makhluk yang kecil sekali. Makhluk yang banyak ditutupi aibnya hingga masih bisa berkoar-koar paling suci ke sesama umat lain. Makhluk yang konon paling sempurna, pun bisa sekali jadi yang paling jahat ke sesamanya. Sungguh, kita ini sebenarnya kecil dan rapuh sekali, tak pantas merasa diri sebagai yang paling berhak atas Surga. Tak berhak bilang manusia lain pasti masuk Neraka. 
Perjalanan dan pengalaman berharga ini, lebih dari sekadar berada di tempat kelahiran dan perjuangan Rasulullah. Ada rindu dan air mata yang saat mengalir hanya kamu dan nuranimu yang tahu, apa sesungguhnya itu. 
Kawan, jangan sampai Ramadan ini hanya terlewat dengan sia-sia lagi. Tanpa kita merasa bersalah saat meninggalkan solat, tanpa kita merasa harus memperbaiki akhlak. Jangan sampai Ramadan ini lagi-lagi hanya berisi acara buka puasa dan reuni bersama yang lantas membuat kita santai melewatkan kewajiban yang lebih penting. Jangan sampai Ramadan ini lagi-lagi hanya berisi menahan lapar dan haus, tanpa kita berusaha lebih keras dalam menahan nafsu dan emosi.
Kita ini hanya hamba yang sedang melakukan perjalanan. Mari terus saling mengingatkan, mari berhenti saling menjatuhkan. Selamat kembali berjalan.

Ramadan hari ke-12. Palembang.  

Memelihara Luka


Manusia dan luka-luka tak terlihatnya.

Sering kamu merasa sebegitu tersakitinya hingga memilih untuk pahit terhadap semua. Waktu, pertemuan, hal, orang. Karena satu orang membuatmu terluka, lantas semua yang kemudian datang terasa sama saja. Sama tak pekanya, sama brengseknya.

Kenapa kamu senang sekali memelihara luka. Kenapa kamu senang merasa tak baik-baik saja, lalu berharap seseorang datang untuk menolong dan menyembuhkan. Padahal, lukamu jelas bukan tanggung jawabnya. Seseorang hadir, membuatmu bahagia, namun saat kalian tak sejalan, kamu menganggapnya tak mampu mengerti, tak bisa sepenuhnya memahami.

Jangan terus-terusan memelihara luka. Hingga setiap orang yang datang akhirnya memutuskan untuk angkat kaki. Bukan salah mereka. Itu hanya kamu yang begitu keras kepala memelihara luka, seringnya malah dengan bangga.

"Aku terluka, kalian tidak tahu seperti apa rasanya.
Semua orang sama saja, tak akan pernah ada yang mengerti. Aku terluka."

Berhenti merasa kamu harus selalu dimengerti dan dimaklumi karena sedang terluka.

Jadikan lukamu sebagai pengingat. Bahwa kamu pernah berusaha bangkit lalu mencari bahagia.