Percakapan

Hari ini, aku bertemu dia lagi. Berbincang dengannya seperti candu, kulakukan sesering aku berbincang dengan Tuhan. Dia bisa mengatakan apa yang sering kali orang lain tahan. Mendukung, mengingatkan, memarahi, pun menghakimi. 

Hari ini, cerita yang keluar dari mulutnya berbeda. Dia jadi melankolis. Dibeberkannyalah satu-satu harapannya untuk masa depan. Rupanya dia sedang ingin bicara tentang suami. Hampir seumur hidup bersamanya, aku tidak tahu kalau nyalinya sudah begini besar untuk membahas topik ini. 

"Nggak perlu yang sempurna. Aku hanya minta yang bisa melengkapi. Kalau aku keras kepala, aku ingin dia bisa meluluhkan hati. Aku ingin, aku yang nggak bisa diam ini, didampingi oleh seseorang yang akan tersenyum maklum saat istrinya mulai bertingkah. Yang saat aku sedang malas beranjak menyiapkan sarapan, dia siap bertukar peran."

"Bisa menjaga tiap kalimat dari mulutnya dengan baik, menjaga diri pun harga diri. Nggak perlu yang tampan, cuma lesung pipi pun nggak masalah, agar kelak senyum anak perempuan kami jadi yang paling bikin meleleh sedunia."

"Cukuplah dia membuat bangga aku dan anak-anaknya. Nggak perlu memimpin perusahaan kelas dunia, cukup jadi pemimpin yang baik dalam keluarga. Yang akan disambut tawa dan doa istri dan anak-anaknya. Yang tahu cara bekerja keras, yang tahu bahwa keluarga adalah prioritas."

Aku bilang padanya bahwa semua kriteria itu cukup banyak. Penasaran, kutanya apa yang paling penting baginya untuk suami di masa depan. Rupanya, jawabannya bahkan tak ada dalam semua yang baru saja dia beberkan. Dia menjawab pertanyaanku sambil tersenyum hangat.

"Aku ingin jatuh cinta pada yang tak pandai menyakiti."

Mendengarnya, pipiku ikut hangat. Setelah mendapat jawaban, kupeluk dia sembari berdoa dalam hati. Semoga Tuhan mendengar doanya. Nanti akan kutemui dia lagi, kali ini di depan kaca seukuran badan. 
 
Sampai bertemu lagi, Aku.

No comments:

Post a Comment