Pan-dora Tumblr

Pan-dora tumblr akhirnya sampai ke postingan ke-1000! 

Pan-dora tumblr dibuat sekitar tiga bulan sebelum Pan-dora blog yang sedang kalian lihat ini. Jaman belum tertarik memulai blog lagi, tumblr itu anak kesayangan. Sekarang masih anak kesayangan, tapi agak terabaikan sejak 'adik'nya lahir. Tumblr itu isinya lebih banyak gambar dan quote. Silahkan mampir untuk yang mau melihat-lihat gambar dan quote. Khusus postingan ke-1000 ini, tema Tumblr jadi Inuyasha dan Kyuhyun.

Benar, aku memang bodoh
sebut aku sesukamu, anggap saja aku begitu
maki aku semaumu, anggap saja aku seperti itu
seret aku seenakmu, anggap saja aku menurut

Di tiap jeda hening yang panjang
aku menengadah dan menerbangkan segala tanya
aku meringkuk dan menggigil kedinginan
berkeras atas apa yang kabur mengaburkan

Tetes air yang jatuh menghantam Bumi
entah kenapa hobi sekali kupelototi
dalam pecahan air itu, aku seperti menemukan diri
yang jatuh berantakan tapi tak kunjung mati

Kau tahu, aku bahkan menemukan Tuhan
saat air-air itu menetes dan jadi serpihan
rasanya aku bukan siapa-siapa selain aku sendiri
serasa bukan milik siapa-siapa selain aku sendiri

Siapa yang tahu
justru dengan rintikan basah itu aku melihat Tuhan
tanpa perlu terus mempertanyakan terlebih menduakan


Tanya Jawab


Sebenarnya, kamu meletakkanku dimana?

Aku meletakkanmu di bagian terbesar dariku. Seiring detak jantung yang mendentum ritme, bersamaan dengan itulah kamu mengalir deras ke segala penjuru arah. Merasuk di tiap sel terkecil, mengaliri tiap organ, membanjiri otak. Sekarang aku tahu kenapa hati menjadi surganya pembuluh darah. Karena kamu, memenuhinya dengan rakus. Seperti penjarah.


Apa arti aku bagi kamu?

Kenapa kamu masih bertanya tentang arti. Tidakkah pengakuan bahwa kamu mengaliri tiap jengkal ragaku cukup membeberkan semesta arti? Ah, kamu pasti mengerti.


Kalau aku mati, apa yang akan kamu lakukan?

Sayangnya, aku tidak akan ikut mati. Hatiku mungkin mati, seluruh organ berhenti berfungsi. Tapi jika itu benar-benar terjadi, aku akan berusaha bertahan hidup dengan bergantung di sehelai rambutku. Jangan lupa, darah tak mengalir padanya hingga jika kamu mati, rambut rapuh sekalipun akan menopang hidupku. Aku akan hidup untukmu. Untuk jiwamu.


Apa kamu cinta aku?

Itu pertanyaan sulit. Karena jika aku menjelaskan jawabannya, hatimu akan remuk oleh besarnya. Simpan untukmu sendiri jawabanku, dan aku juga akan menyimpan kamu hati-hati. Di hati.

I Swear

"Aku capek."

Setelah lama berjibaku dengan segala lelah dan suntuk yang menumpuk dan jadi gunungan sabar campur rindu, Roe akhirnya bertekuk lutut pada hatinya yang rubuh. Semua himpunan kekuatan yang telah membentuk tembok bernama keras kepala itu pada akhirnya runtuh bersamaan dengan deklarasi uneg-unegnya.

"Aku hanya ingin tahu reaksinya. Aku hanya ingin tahu seperti apa kelanjutan kami sebenarnya. Apa aku nggak boleh berharap sementara seperti ada yang tersisa di antara kami dan minta diselesaikan?"

Itu sulit. Sambil melawan serbuan nyamuk, aku mencekoki Roe dengan beberapa kenyataan yang harus Roe terima. Bahwa tidak semua cinta harus berakhir bahagia. Bahwa tidak semua yang sudah berakhir dapat dimulai kembali. Saat akhir hanya akhir, belahan jiwa seerat apapun tidak akan berdaya. Itu yang namanya takdir.

"Ini akan selesai kalau dia punya pacar. Oke?"

Selesai sementara tapi bukan penyelesaian yang Roe butuhkan. Berliter-liter air mata, lelah yang tak tertampung sesak di dada, pikiran yang tak lagi bersatu raga karena memikirkan keadaannya. Semua menggoyahkan dan membuat langkah patah, hingga bicara bahkan bisa diganti dengan air mata. Melihatnya bersama dengan orang lain mungkin akan melegakan, setidaknya itu menghanguskan harapan dan semua kemungkinan.

Dan aku akhirnya membuat Roe menjanjikan sesuatu. Satu hal yang lebih candu dari cinta dan lebih mematikan dari narkoba. Mengecek facebook dan memandangi foto dia. Di tiap sayang yang berjarak, ada khawatir dan rasa ingin tahu yang menyeruak. Ada rindu tak terucap yang menyembul malu-malu. Tapi, seperti narkoba yang membuat candu, kebiasaan ini bisa membunuh semangat juang Roe untuk maju. 

"Aku bersumpah. Aku nggak akan lagi membuka facebook dia terlebih melihat fotonya. Itu menyakitkan, mengerikan, dan pasti sangat sulit dilakukan. Tapi, aku harus. Aku janji, mulai malam ini, 19 Februari 2012, akan jadi titik balik perjuangan untuk maju dan melupakan. Untuk ke depan dan menghapus semua. Demi kebaikan, kan?"

Dan setelah mengucapkan sumpah itu, aku dan Roe tertawa. Beberapa hal besar kemudian dilakukan Roe atas nama perbaikan. Aku tahu Roe lelah. Aku pun lelah. Aku lelah melihatnya berjuang dan memaksakan diri atas apa yang diluar kemampuan dan kehendaknya. Aku lelah Roe berusaha menggerakan hati dia yang bahkan tak tertebak apa maunya. Kalau sudah begini, aku lebih ingin Roe menyerah.

Toh, Tuhan selalu ada untuk menyelesaikan.

Saat Roe akhirnya selesai dengan semua, aku ikut tersenyum di atas akhir sumpahnya.

"Aku lega."

Selamat Ulang Tahun, Abi!

Akhirnya bocah bungsu ini 13 tahun juga!

18 Februari 1999. Adik cowok sekaligus anak bungsu di keluarga-lumayan-besar ini lahir. Semacam kehadiran yang nggak terduga karena jaraknya yang cukup jauh. Namanya Muhammad Said Habil. Atas prakarsa kakak sulungnya, Habil dipanggil Abi oleh seluruh keluarga. Dan atas prakarsa kakak sulungnya juga, Abi akhirnya dipanggil Dedek.

Singkat cerita, Abi ini anak keempat dari empat bersaudara. Setelah satu-satunya cewek lahir jadi anak pertama, disusul kembar cowok, kemudian bungsu cowok ini muncul. Aku dan si kembar, sebut saja Husen-Hasan, selisih 1,5 tahun. Kami bertiga hidup dengan brutal. Dua adikku itu nggak pernah menganggap kakaknya seorang cewek. Jadi aku terbiasa memainkan semua yang berbau cowok, mulai dari tamiya sampai bola. Aku bahkan sering mengalahkan dua bocah itu dalam adu panco. Besar dengan jarak umur yang nggak jauh, aku dan si kembar jadi lebih seperti teman ketimbang kakak-adik.

Sampai saat Abi lahir.

Berbeda jauh dari dua bocah yang sering kuajak gulat, Abi rupanya jadi bungsu yang lucu. Dia lahir dengan bobot paling berat, putih, montok, rambut tebal seperti helm, dan pipi tembem yang merah. Singkatnya, dia adik yang aku impikan. Belum lagi, dalam pertumbuhannya, Abi lebih lengket denganku ketimbang dua kakak cowoknya. Aku dan Abi disebut kembar beda delapan tahun. Harusnya lahir bersama tapi beda tahun. Saking lengketnya, Abi yang jarang menangis, pasti selalu menangis kalau kubilang aku akan pergi kuliah bertahun-tahun dan meninggalkannya. Hahaha, dasar aneh.

Tapi, Abi nggak selucu itu juga, sih.

Justru dengan kelengketan itu, aku jadi sasaran empuk siksaannya. Sekedar informasi, Abi sekarang lebih tinggi sekitar 7 cm dan lebih berat sekitar 5 kg dariku. Dia mendadak jadi bungsu raksasa yang hobi menyiksa. Aku sering jadi sasaran gulatnya. Dan kadang, walaupun maksudnya bermanja-manja, dia suka menimpa tubuhku dengan badan bongsornya sambil terus berteriak, "SUDAH MATI BELOM?"

Dia itu adik bungsu yang aneh.

Tahun berganti tahun, hari berlalu sekejap mata, Abi semakin besar dan dewasa. Tapi, kami masih tidur bersama. Dia masih bungsu di keluarga, kesayangan semua, walaupun cueknya semena-mena. Dia yang paling nggak peduli dengan apa-apa, tapi selalu jadi yang utama.

Abi, adik kesayangan.

Di 18 Februari 2012 ini, si Dedek akhirnya jadi 13 tahun. Usia bertambah, tapi dia nggak banyak berubah. Ayah-Ibu sudah menyiapkan kue untuk kejutan ulang tahun dan akan diberikan besok pagi saat Abi bangun tidur. Dan aku akan selalu jadi yang pertama mengucapkan selamat ulang tahun dan mencium pipinya.

Oh ya, aku ingin sekali memasukkan fotonya di akhir postingan ini. Tapi, demi menghormati kerahasiaan identitas (dia nggak pernah memasang foto asli di facebook atau twitter), aku juga nggak akan memasang foto dia sembarangan. Hahaha.

Sekali lagi, selamat hari lahir, Muhammad Said Habil!

Nggak banyak-banyak ucapan, doa sebesar dunia sudah aku siapkan. Satu pinta utama, semoga Allah SWT selalu bersamamu, selalu memeluk, dan mendekapmu.

Me-us love you, Dedek-ku!

 SELAMAT ULANG TAHUN, ABI SAYANG!


#8th Day - Valentine

Apartemen - 07.04

"Mo, kau mau kemana?"

Rambut ikal Moca terkibar hebat di depanku. Dengan satu gerakan centil, ia mengibaskan ujung-ujung rambutnya padaku.

"Tentu saja kencan. Memangnya apa?"

"Kencan? Oh, Valentine?"

"Istirahatlah. Nanti kalau keadaanmu sudah membaik, baru pergi kencan juga, ya. Aku akan menelpon Arya untuk bilang kalau kau sakit. Adrian menjemputmu jam berapa?"

"Menjemput apa?" hidungku berkerut.

Moca berhenti menyisir rambutnya. "Jangan bilang kalau kalian nggak merencanakan apapun."

"Adrian? Merencanakan kencan Valentine? Buat aku, si wanita yang sepertinya bukan siapa-siapa?" aku mendengus. "Itu mustahil."

"Kalian memang ada apa-apa, kan? Dia sudah bilang begitu, kan?"

Aku mengangguk.

"Lalu?" desak Moca.

Aku menggeleng lelah. Badan yang panas dan kepala yang pusing membuat kata-kata macet. Belum lagi tenggorokan yang terasa sakit. Ini campuran demam, sakit kepala, dan radang tenggorokan. Dan kenyataan kalau Adrian belum jadi pacarku memperburuk semua. Semalaman aku memikirkan kemungkinan ajakan kencan atau sekedar jalan-jalan darinya untuk hari ini. Hari kasih sayang ini. Karena kalau hingga pagi datang dan pria itu belum juga mengajukan rencana apa-apa, berarti kencan memang tidak akan pernah ada. Pagi hari adalah zona waktu bekerja, yang hanya berakhir saat sore atau malam.

Dan pria itu, jelas-jelas gila kerja. Tidak ada yang penting bila dibandingkan dengan pekerjaannya. Semua hal jadi sepele, terlebih aku, wanita yang hingga kini belum juga jadi apa-apa. Sebulan yang lalu saat ia bilang memang terjadi sesuatu di antara kami, ia beberapa kali menjemputku sepulang kerja hanya untuk minum kopi atau makan pancake. Satu hari isinya bahkan hanya berkeliling tanpa arah dan kami mengobrol di dalam mobil. Adrian itu pria yang sulit ditebak tindak tanduknya.

Tapi, aku bisa menebak ia benci Valentine.

Pria realistis yang gila kerja dan mulutnya tajam. Sulit membayangkan pria semacam itu bisa ikut meramaikan Valentine.

"Mo, aku akan tidur sepanjang hari. Kepalaku pusing." Kataku sambil beranjak dari meja makan dan terseok-seok ke kamar. "Terima kasih sudah mau mampir ke kantor dan mengabarkan pada Arya soal sakitku. Sukses dengan kencanmu, ya?"

"Rii, bagaimana dengan kencanmu?"

"Aku dan Adrian sudah ada janji kencan. Untuk itulah aku tidur. Kami janji berkencan di dalam mimpi. Dah, Mo."

Celemek Merah Muda - Valentine

"Dean, bau apa ini?"

Adik laki-lakiku yang jarang sekali ada di rumah, Dean, hanya menatapku dengan hampa dari balik gelas susunya. Dengan satu alis mencuat ke atas, dia mengangkat bahu lalu menggeleng padaku.

"Bau apa? Aku nggak mencium bau apa-apa."

Aku beralih pada Carol yang memasuki dapur dengan muka mengantuk.

"Car, apa kau mencium bau sesuatu?"

Carol memelototiku. Dengan satu alis terangkat seperti Dean, ia hanya menggeleng nggak peduli padaku. Keji sekali. Aku punya dua adik dan nggak satu pun dari mereka yang menghormati kakaknya. Mereka seenaknya menaikkan alis, mendengus, melengos pergi bahkan saat aku belum selesai bicara, atau bahkan mendengarkan musik dengan volume maksimal saat aku curhat. Aku iri pada kakak-kakak diluar sana yang begitu dihormati dan disanjung adik-adik mereka.

"Memangnya ada bau apa, sih?" tanya Dean lagi. Hidungnya berkerut sambil mengendus sana-sini untuk mencari bau yang sepertinya hanya tercium olehku.

Carol memutar bola matanya. "Jangan tolol, Dean. Memangnya sejak kapan Zach berkelakuan normal?"

Dean merengut. "Jadi, ada bau apa sih, Zach?"

Aku tersenyum geli. Dengan tangan terbuka lebar, aku berteriak.

"Bau Valentine!"

Dean bengong sambil mengerjap beberapa kali padaku sementara Carol mendengus.

"Sudah kubilang, kan."

Seperti berdiri di atas karang
keras, dingin, dan menjarah nyali
batu hitam besar yang licin
sekali tergelicir, aku dan kamu akan tercebur
tergulung ombak, terseret arus

Aku dan kamu menjalin jemari
erat, sangat erat, hingga seakan jemari itu melekat

Mati-matian aku dan kamu bertahan
aku tak peduli sakit, kamu tak peduli mati

Lagipula,
siapa yang punya daya atas jatuh cinta?

Cinta Sederhana

Kerongkonganku sakit. Seperti ada yang memaksaku menelan tangkai mawar hingga rongga nafasku meradang dan terluka, hingga begitu sakit untuk sekedar menelan ludah. Aku mati-matian menahan sakit. Perutku bergejolak sementara dadaku seperti ditonjok. Aku seperti pegulat yang babak belur tapi tanpa luka-luka. Ya. Separah itu rasanya.

Kamu, dengan satu tangan terselip di saku celana linen hitam itu, menatap lurus padaku yang tergugu. Ekspresimu datar, tapi masih jelas angkuh tergurat. Kamu hancur. Terlihat jelas di matamu yang sekejap bergetar. Hanya aku yang paham, kenapa pria yang tak dibuatkan Tuhan rongga untuk menyimpan hati sepertimu bisa menampakkan rapuh semacam itu. Jangankan kamu, aku pun masih tak percaya kehadiranmu. Kamu, berdiri sekitar sepuluh langkah di depanku. Seperti hendak adu kekuatan, aku dan kamu hanya saling menatap sambil saling mencari di balik mata masing-masing.

"Kubawakan kopermu," sahutmu pelan.

Aku beringsut saat kamu meraih koper yang tergeletak begitu saja di sebelahku. Dengan tangan menggenggam erat tali tas tangan, aku menahan sebentuk sakit di dada saat bau parfum itu tercium halus dari tubuhmu. 

"Kenapa kamu ada disini?" tanyaku akhirnya. Gila. Aku sendiri tak menyangka kalau aku punya cukup kekuatan untuk mengeluarkan kalimat padamu. Kamu meletakkan koper di teras kayu rumahku sambil menggeleng.

"Aku sudah janji akan menunggumu."

"Itu omong kosong. Bukankah sudah kubilang, aku sudah tidak peduli."

"Itu bukan omong kosong."

"Kau pikir aku bisa memaafkanmu begitu saja?"

"Aku tidak peduli."

"Aku masih sakit hati."

"Aku sudah bilang, aku akan menikahimu. Dan akan kulakukan."

Kepalaku berdenyut. "Tapi dulu kau pernah mengabaikanku!"

Kamu hanya diam.

"Aku mengemis dan kau tak peduli. Saat aku menginginkannya, mulut itu tidak pernah sekalipun mengeluarkan kata-kata yang kuminta. Saat aku beranjak pergi, mulut itu seenaknya bilang akan menunggu dan menikahiku. Berhenti mempermainkanku!"

"Dua tahu yang lalu, kau pergi. Dua tahun yang lalu, kubilang aku akan menunggu dan menikahimu. Sekarang, kau kembali."

"Kenapa kau selalu seenakmu? Kau pikir aku mau menikah denganmu setelah hampir seumur hidup kuhabiskan semua daya untuk membuatmu mengatakan kau sayang aku, tapi kau selalu tidak peduli. Kau bahkan menganggapku tidak ada."

"Aku sayang kau."

Kamu menatapku. Tajam dan tanpa ragu.

"Dasar munafik. Kau selalu jago soal omong besar."

Aku terkejut saat kamu tersenyum.

"Istirahatlah. Besok pagi aku akan menjemputmu dan kita akan memesan gaun."

"Jangan tolol."

"Baiklah. Aku pulang dulu."

Kamu berbalik dengan santai dan berjalan meninggalkanku.

"Aku akan pergi lagi. Kau dengar itu?"

"Kalau begitu, aku akan menunggu lagi," kamu berhenti berjalan. "Berkali-kali kau pergi, berkali-kali pula aku menanti. Di masa lalu, ikatan kita begitu rumit dan penuh tanda tanya. Sekarang, aku dan kau diberi kesempatan lagi. Tidak bisakah kau dan aku menjadikan cerita ini lebih sederhana?"

Aku terenyak. Kata-katamu memang meremas nuraniku, tapi tatapan piasmu lebih membuat nurani keras ini terluka. Kamu, persis seperti aku dua tahun yang lalu. Menyerah dan lelah. Bertekuk lutut pasrah, tapi penuh harap. 

"Aku minta maaf," gumammu pelan.

Dan aku, akhirnya melihat air mata itu. 

Seumur hidup menjatuhkan hati padamu, aku tahu kamu tidak akan menangisiku. Bahkan saat aku menangis dan menjerit di pundakmu, kamu hanya berdiri bisu.

Menikah denganmu adalah impian seumur hidupku. Saat aku pergi, kupikir tolol sekali pikiran semacam itu. Tapi, bukankah impian seumur hidup berarti selama aku hidup, impian itu juga akan hidup? 

"Kali ini, cinta kita harus sederhana, ya?" sahutku serak.

"Sesederhananya cinta," kamu mengangguk setuju. "Dimana cinta hanya sebuah cinta."

Aku tersenyum. Mengerjap tak percaya, meyakinkan diriku kalau ini nyata.

"Sesederhananya cinta. Dimana cinta hanya sebuah cinta."


Surat Kaleng

Ada satu akun twitter yang dengan baik hati mengepost surat cinta di website mereka dan mengabarkan-menyampaikannya pada si penerima. Aku terkesima dengan cara mengirim surat yang sangat digital itu dan langsung membuat surat. Yang pertama untuk 2 sahabatku, yang kedua untuk salah satu teman baikku, Safira Elfadhilah.

Kedua surat itu agak mendayu-dayu. Surat pertama bisa dibaca di blog ini, judulnya 'Surat Cinta Untuk Sahabat'. Surat kedua, bisa dilihat disini.

Kadang, lewat surat kita bisa mengatakan apa yang nggak terucap.

Bahkan kadang, hanya dengan tulisan, air mata dan cinta bisa terbaca dan terasa.

Minggu

"Kita kemana hari ini?"

Kamu meletakkan koran, lalu menatapku. Aku balik menatapmu. Aku dan kamu jadi punya kebiasaan jalan-jalan di hari Minggu. Mulanya aku mengajak kamu ke toko buku. Kamu menurut dan mengikuti aku. Terus begitu sampai berganti Minggu, kamu rajin mengantar aku. Lalu kita beranjak ke pinggiran jalan, mencari makanan murah yang enak. Aku yang tadinya anti, jadi doyan setengah mati. Semua gara-gara kamu. Aku membuat kamu betah di toko buku, kamu membuat aku doyan kumbu. 

Menurutku, itu hebat. Bukti kalau kita mulai melebur jadi satu.

Beberapa saat kamu menatap aku dengan lugu, aku memberimu gelengan kepala. Entah kenapa, rasanya Minggu pagi ini aku ingin kita berdua di rumah saja.

"Kenapa?"

Aku lagi-lagi hanya menggeleng saat kamu bertanya. Saat-saat begini, kamu terlihat seperti balita yang menanyakan apa itu Tuhan pada Ibunya. Dengan mata coklat yang membulat, kamu seperti mengorek-ngorek jawaban di mataku. Saat nggak kamu temukan, kamu menyerah dan kembali membaca koran. Kamu lucu, ya. Kamu pria yang kuat sekaligus lemah di saat yang bersamaan.

Aku membuka kotak susu dan menuangkannya di cangkir. Sambil tersenyum membayangkan bekas susu di sudut bibir merahmu, aku menenggelamkan stroberi di lautan susu. Buah merah itu mengambang. Aku menyodorkannya pada kamu, yang langsung tersenyum lebar.

"Minggu ini, kita di rumah, ya. Kalau dengan berjalan-jalan aku bisa selalu mendekap kamu dan tahu kamu selalu di sisiku, aku ingin dengan diam aku bisa selalu memeluk kamu dan tahu kamu betah di sisiku. Meski aku nggak berbuat apapun."

Kamu memeluk aku yang sesak oleh bahagia. Dari balik punggungku, kamu menyeruput susu hangat dengan berisik. Lalu kita terkikik.

Aku cinta kamu, Minggu.


Selamat Pagi, Sayang!

Bangun, Sayang
Kenapa kamu seperti nggak punya daya kalau pagi datang?
Kamu meringkuk di balik selimut seperti bayi besar
Satu tangan mempertahankan selimut dari tarikan aku
Satu tangan memeluk guling kucel kesayangan kamu

Bangun, Sayang
Kamu pasti suka sarapan Minggu pagi ini
Makaroni panggang dan susu coklat kesukaan kamu
Siaran ulang bola yang kamu tunggu
Dan, pelukan wangi dari aku

Bangun, Sayang
Coba lihat matahari pagi yang merangsek rindu itu
Nyalanya membuat aku tersenyum dan bersyukur
Satu kali lagi, aku dan kamu menghabiskan Minggu
Satu hari lagi, aku dan kamu bertukar cinta sendu

Bangun, Sayang
Sekalipun aku suka wajah tidur yang polos itu
Kamu tetap harus beranjak dan bersiap
Pagi ini halaman belakang memanggil
Aku dan kamu bisa senam dan main air bersama
Banyak yang mesti kita lakukan

Bangun, Sayang
Aku dan kamu harus sekali lagi menyongsong dunia
Aku dan kamu harus sekali lagi menyombong cinta

Mommy Kece

Kuliah, kerja, menikah. Fase setelah itu mengandung, melahirkan, membesarkan, dan merawat. Setelahnya kita-wanita-menua dan menikmati usia. Banyak dari teman-temanku yang ingin menikah muda karena ingin cepat menimang bayi. Ada juga yang karena nggak ingin kelihatan tua padahal anaknya masih muda. Bahkan ada beberapa temanku yang menargetkan menikah dua-tiga tahun lagi. Dan aku ngeri membayangkannya.

Aku bukan termasuk pengikut menikah muda. Aku termasuk tipe yang nggak ambil pusing masalah usia. Yah, bukan berarti aku ingin menikah di usia 30an. Aku hanya nggak terpikir untuk melepas masa merdeka sebagai lajang di usia yang seharusnya masih bisa dihabiskan untuk senang-senang sendiri. Aku masih ingin menyelesaikan banyak desain rumah, masih ingin jalan-jalan berburu buku di Gramedia sendirian, masih ingin ke Jepang sendirian. Banyak hal-hal yang masih ingin kulakukan sebagai seorang single woman.

Temanku pernah bilang, "Nanti anakmu masih kecil, kamu udah tua banget!"

Dan aku selalu membalas, "Nggak masalah tuaan dikit. Yang penting tetap jadi Mommy kece yang jiwanya muda."

Sejak itu, aku jadi 'Mommy Kece'.

Aku memang ingin sekali di panggil Mommy. Nggak tahu deh kalau nanti ternyata suamiku ingin dipanggil Ayah atau Papa. Jadilah anak-anakku bakal manggil, "Mom, mana Ayah?"

Aku ingin jadi seorang Ibu. Aku pasti ingin. Semua wanita ingin.

Membicarakannya dari sekarang, memikirkan seperti apa anak kami nanti, mengkhayalkan perjodohan, sampai sekolah bersama. Rasanya semua wajah jadi cantik saat berkumpul dan membicarakannya. Aku termasuk yang sering bercanda kalau membicarakan soal suami dan anak. Karena pada dasarnya aku memang belum membayangkan terlalu detail mengenai mereka. Tapi, aku bahagia sekali membicarakan ini bersama teman-temanku yang semua hatinya keibuan itu. Apalagi saat mereka memanggilku 'Mommy Kece'.

Tulisan ini mungkin bakal kutertawakan, kalau suatu saat aku benar-benar dipanggil Mommy.

Berbahagialah ya, cewek-cewek. Kita nanti jadi seorang Ibu lho! :)




Ulang Tahun Arka

Dalam rangka ulang tahun Arka, aku sengaja mengepost di twitter tentang hari lahirnya yang ke-23 tahun dan minta beberapa teman dekatku yang tahu Arka mengucapkan selamat ulang tahun untuknya. Nggak disangka, yang mengucapkan selamat ulang tahun banyak sekali. Sampai yang nggak kenal Arka juga ikut-ikutan. Aku senang. Senang senang sekali.

Dan merunut dari sifat dan wataknya, ini adalah reaksi yang paling mungkin dia keluarkan kalau kami bisa berhadapan.


"Kamu kenapa sih? Kenapa harus pasang pengumuman ke semua orang kalau aku ulang tahun? Kamu tahu, melihat mereka mengucapkan selamat padahal mereka sendiri nggak tahu aku dengan baik, itu rasanya memuakkan."

"Kamu tahu aku, kan. Aku nggak suka."

"Dan, kenapa banyak sekali yang memanggilku 'Bang' segala? Nggak masalah, katamu? Itu masalah buatku. Masalah buat kejiwaanku."

"Hah, siapa bilang aku nggak mengerti maksudmu. Aku mengerti kok. Aku tahu itu bentuk perhatianmu. Tapi... nah, kau tahu sendiri, kan. Sudahlah."

"...."

"Well, terima kasih."

"...."

"Nggak. Aku nggak akan mengulangnya lagi. Dah."


Hahaha, i wish you were here...

Selamat Hari Lahir, Arka!

Satu lagi yang lahir di tanggal 3 Februari besok, adalah Arka Alehandra Putra. Buat yang belum tahu, Arka itu salah satu tokoh novelku yang judulnya Utsukushii. Aku pernah kok membuat postingan tentang dia di blog ini, judulnya 'Arka'.

Aslinya Arka lahir tanggal 3 Februari 1989. Tapi, dia sendiri kuciptakan tahun 2007. Jadi, beda setahun dari Kyuhyun, Arka sekarang umurnya 23 tahun. Aduh, waktu aku buat pertama kali, aku merayakan ulang tahun Arka yang ke 19 tahun. Terharu. Berasa lagi merayakan ulang tahun anak pertama. 

Kenapa Arka sepertinya spesial sekali. Dia memang satu-satunya tokoh novel yang ulang tahunnya kurayakan. Kalau sudah baca 'Arka', pasti tahu kenapa dia kuistimewakan. Intinya aku sayang Arka, seperti aku sayang orang-orang yang kusayang. Seperti keluarga. Seperti saudara. Seperti sahabat, kekasih. Seperti belahan jiwa. Seperti itulah dia.

Dan sekarang, Arka akhirnya menginjak umur 23 tahun. Selamat ya, Arka sayang!

Aku harap kamu selalu hidup dalam aku, dan mengiringiku hingga nafas ini habis. Kamu akan selalu jadi yang spesial dan aku akan selalu sayang kamu. I love you! <3

Selamat hari lahir, Arka!


February

Spesial untuk bulan kedua ini, aku ingin membuat satu doa. Karena di bulan ini akan ada satu lagi langkah besar, yang bahkan mungkin jadi satu langkah awal terbesar. Akan sangat sibuk dan membuat kepala pusing. Hahaha, can't wait!

Pelan-pelan
Langkah kaki Februari yang pelan mulai terdengar gemuruhnya
Dan aku yang tadi berdebar menantinya
Kini dengan lembut memeluknya
Februari, terbangkan doa pada Tuhan
Agar saat aku menapak, aku tak salah langkah
Agar saat aku memulai, aku berakhir dengan indah

Februari, kutiupkan doa ini
Semoga Tuhan menyambut bisikkan ini
Seperti kau yang menghembus manis di telingaku

Februari, aku di sini. Aku dan sebongkah besar harapanku.