Krisis Seperempat Abad


25 tahun.

Kata orang, usia saat kehidupan sesungguhnya baru dimulai. Kata orang, usia saat semua yang selama ini kamu lakukan mulai terlihat arahnya. Saat tak ada lagi yang menyebut kamu remaja, saat kamu semakin dekat dengan angka 30 tahun ketimbang dengan umur saat lulus SMA. Kata orang, ini usia saat kemampuan finansial mulai stabil, usia yang banyak jadi batas pertimbangan untuk pindah kantor atau menetap asal gaji terjamin. Usia saat teman-teman banyak sekali yang sudah menikah, bahkan punya anak dua. Usia saat teman-teman sudah selesai menempuh pendidikan S2, usia saat orang-orang yang kamu kenal mulai mengenal cicilan rumah.

Tak ada yang memberi tahumu kalau di usia ini, pertanyaan-pertanyaan yang selama ini gak menganggu, ternyata bisa sangat menyinggung hati. Entah karena kamu makin mengenal susah payah hidupmu hingga menolak dikomentari terus menerus, entah karena ditanyakan berkali-kali.

"Sudah umur segini kok masih belum bekerja?"
"Sudah umur segini kok masih juga belum menikah?"
"Sudah umur segini kok masih bingung mau ngapain?"
"Sudah umur segini kok masih belum punya anak juga?"

Menyebalkan? Iya. Tapi gak apa-apa, kamu pasti bisa melewatinya. Ini memang masanya.

Surat Untuk Diri Sendiri


Pernahkah kamu menulis surat untuk dirimu sendiri? 
Kemarin, saya habis menulis surat untuk diri sendiri. Surat untuk dibaca empat bulan lagi, dan bertahun-tahun yang akan datang. Ini kebiasaan saya sejak sekitar belasan tahun lalu, menulis surat untuk diri saya sendiri yang kemudian disimpan untuk dibaca di kemudian hari. Saya punya banyak sekali surat untuk diri saya sendiri.
Saya pernah menulis surat untuk diri sendiri sekitar 10 tahun lalu yang saat dibaca ulang saat ini ternyata membuat saya menangis sengsegukan. Saya jadi teringat lagi, pergolakan batin macam apa yang saya hadapi 10 tahun lalu. Saya jadi teringat lagi, masalah apa yang akhirnya berhasil saya lewati, apa yang kini sudah saya capai sejak saya menulis surat itu. Rasanya haru dan bahagia.
Lewat surat-surat yang saya tulis, saya jadi semakin sadar kalau Tuhan tidak tidur. Ia mendengar, melihat ikhtiar, mengaminkan doa-doa. Saya jadi tahu kalau resah yang dulu begitu mengganggu tak lebih dari kerikil bagi saya di saat ini. Saya jadi tahu kalau kesulitan-kesulitan memang akan berakhir. Saya jadi sadar kalau ternyata perjalanan yang saya lalui sudah jauh sekali.
Coba tulis surat untuk dirimu sendiri, entah untuk dibaca sebulan, setahun, atau entah berapa tahun lagi. Bagus untuk membuatmu mengingat apa yang sedang kamu perjuangkan saat itu, bagus untuk jadi pengingat perasaan dan pikiranmu saat itu. 
Surat-surat yang bisa mengingatkanmu tentang siapa yang saat itu berada di sisimu, apa yang kamu rasakan, hal apa yang kini telah berubah. Surat-surat yang bisa menyadarkanmu tentang umur dan kesempatan yang masih diberi Tuhan hingga kamu bisa membaca suratmu kembali. 
Yuk, tulis surat untuk dirimu di masa depan!

Paket Masa Lalu


Saat kamu menerima seseorang masuk ke dalam hidupmu, artinya kamu menerima dia sepaket dengan masa lalunya. Pengalaman hidup yang pernah dia lalui, entah baik atau buruk. Pelajaran-pelajaran yang membentuknya hingga jadi dia kini, meski beberapa meninggalkan hikmah, mungkin beberapa malah meninggalkan trauma. 
Saat kamu menerima seseorang masuk ke dalam hidupmu, artinya kamu menerima dia sepaket dengan masa lalunya. Termasuk kenangan yang dia punya, termasuk orang-orang yang pernah dia cinta. Termasuk wanita atau pria yang dia beri perhatian sebelum kamu, wanita atau pria yang mungkin saja pernah dia janjikan selamanya. Termasuk wanita atau pria yang mereka pernah membayangkan masa depan bersama, wanita atau pria yang pernah begitu menguasai hati dan pikiran dia yang kamu cinta. 
Saat kamu menerima seseorang masuk ke dalam hidupmu, artinya kamu menerima dia sepaket dengan masa lalunya. Dan hal itu jelas tidak apa-apa, tidak akan mengubah apa-apa. Karena seperti dia, kamu pun punya masa lalu dan orang-orang yang pernah kamu cinta. Kamu hanya harus menerima, kamu hanya harus yakin bahwa kini kamulah yang utama. Kamu hanya harus percaya bahwa kini kalian sedang bersama dan akan terus begitu hingga selamanya.

Merantau


Merantau. Melangkah keluar rumah demi menapaki dunia yang selama ini tak dikenal baik. Melangkah keluar rumah demi menjalani pendidikan, demi menjajal pekerjaan, demi mencari jati diri. Melangkah keluar dari rengkuh nyaman ayah ibu untuk kemudian berkenalan dengan orang-orang tua baru, keluar dari tawa teman-teman untuk kemudian melebur dengan orang-orang yang bahkan bahasa dan gerak-geriknya terasa tak familiar, keluar dari petak rumah yang selama ini menerimamu apa adanya untuk kemudian menyesuaikan diri dengan petak ruang baru yang dingin dan asing.
Merantau. Tak ada nasi hangat, bubur kacang hijau, dan sapaan khas ibu saat kamu pulang. Tak ada bantuan ayah saat kamu sakit atau kesulitan. Tak ada kehadiran orang-orang yang biasa kamu jadikan pelampiasan, tak ada pemakluman dari orang-orang yang begitu mengenalmu hingga kamu tak harus berpura-pura jadi orang lain. Hiruk pikuk saat matahari sedang tinggi, mendadak berganti senyap saat malam datang. Di penghujung hari, yang tersisa tinggal kamu dan sepetak ruang tempatmu terlelap. Di penghujung hari, kamu sadar kalau kamu kini juga terdiri dari kesepian-kesepian. 
Merantau. Tentang menemukan orang-orang baru yang kemudian jadi teman baik atau bahkan jadi keluarga kedua. Tentang menyadari bahwa perhatian kecil yang selama ini tak kamu pedulikan, ternyata begitu penting dan berharga. Tentang menyesuaikan diri sebaik dan sesulit-sulitnya, untuk diterima, untuk dianggap ada, untuk dihargai kehadirannya. Tentang terjatuh sendiri, lalu berusaha bangkit seorang diri karena sadar kamu tak bisa selamanya bergantung pada orang lain, karena sadar kamu kini menapak di atas kedua kakimu sendiri. Tentang menyembunyikan kabar-kabar buruk dari keluarga di rumah, berusaha tidak mengeluh, berusaha tertawa dan baik-baik saja. Tentang menahan rindu yang kadang tak terbendung air mata hingga nanti tiba saatnya pulang. 
Merantau. Bukan karena tak sayang keluarga, bukan karena tak menghargai waktu bersama mereka. Bukan pula karena orang tua yang tega, bukan karena orang tua yang tak mau menjaga. Ini tentang orang tua yang ikhlas melepas, mengiringi langkah anak-anaknya dengan doa, ini tentang anak-anak yang ingin meraih apa-apa yang dicita-citakan. Entah itu gelar, jabatan, materi untuk menopang keluarga, atau sekadar menjaga jarak demi kebaikan.
Merantau. Sebagian tentang berjuang, sebagian lagi tentang melawan kesepian.

Perempuan Teh Susu


Nama saya Arya. Laki-laki biasa dengan penampilan dan kehidupan yang biasa. Terlalu biasa hingga saya sering takjub pada lika-liku takdir ajaib orang lain. Saya tidak merasa hidup saya punya banyak gejolak, pun tanpa bahagia yang luar biasa. Semua cukup, semua pas-pas saja. Saya manusia yang mengikuti perkembangan dunia, tapi tidak pernah tertarik mengikuti tren-tren yang ada. Bagi saya, hidup ya begini-begini saja. 

Sementara banyak orang memulai pagi dengan secangkir kopi, saya selalu memulai pagi dengan secangkir teh susu. Teh yang pekat bertemu dengan susu yang manis sudah menemani entah berapa ribu pagi. Secangkir teh susu hangat, yang entah kenapa, saya pikir mirip saya.

"Arya, aku mau bikin kopi. Kamu mau nitip teh susu?"

Perempuan pemilik suara ini bernama Riifa. Teman sesama editor, tapi posisinya lebih tinggi dari saya, meskipun saya lebih dulu diterima kerja. Soal tekun, saya jelas di atas dia. Tapi dia punya wibawa yang berbeda. Caranya bicara dan bekerja, ada di level yang jauh di atas saya. Meskipun pada kenyataannya, saya tahu betul sifat aslinya. Ceroboh, mudah panik, terlalu peduli pendapat orang lain, dan sensitif sekali. Selama hampir 4 tahun kerja bersama, perempuan ini sudah seperti teh susu bagi saya. Berinteraksi dengannya membuat saya bahagia. Mendengar suaranya dari bilik meja saat menyapa rekan kerja di pagi hari, mencium aroma parfum plus kopi yang terasa akrab sekali, mendengar keluh kesahnya perihal pekerjaan. Semua sisi hidupnya sudah saya lihat, setidaknya saya pikir begitu. Sampai kemudian, untuk pertama kalinya, saya melihat dia jatuh cinta.

Kalung Tak Hingga



Ladybug Coffee Cafe - 20:10

Kafe yang pengunjungnya sedang sepi, aroma kopi dan roti yang harum sekali, kekasih yang sedang duduk di hadapan. Semua akan sempurna sekali kalau saja kekasihku sedang tidak mengetik dengan kecepatan menakutkan dan kening yang berkerut seribu lipatan. Kalau laptop adalah makhluk hidup, mungkin laptop tipis berwarna keemasan itu sudah babak belur sekarang. Cappuchino panas yang dipesan Adrian kini bahkan sudah tak ada uapnya sementara es moccalatte-ku sudah habis.

"Dri, minumku sudah habis, lho."

"Pesan lagi saja, 'kan aku yang bayar."

Ya Tuhan. Pria ini sungguh tak punya hati.

Tapi akhirnya aku memesan segelas moccalatte lagi, kali ini yang panas. Agar bisa diseruput pelan-pelan dan tak cepat habis karena siapa tahu Adrian berencana menginap di kafe ini. Aku bersandar pada jendela kaca, menatap ke jalanan. Semakin lama kupandangi jalanan, semakin jelas kudengar suara orang-orang yang sedang lalu lalang, suara mesin kendaraan, klakson yang bersahutan. Kehidupan sedang berjalan di hadapanku, kehidupan banyak orang. Kehidupan yang bagi pria kesayangan di hadapanku mungkin berisi target-target besar perusahaan, tapi bagi orang di luar sana mungkin tentang bagaimana bertahan hidup hari ini dan beberapa hari ke depan.

Kemudian mataku beralih pada Adrian. Pria ini, sudah ada dalam hidupku dalam waktu yang cukup lama. Sekitar sebulan lalu, kami memutuskan menikah, meski harus diawali dengan drama betapa dia sebenarnya tak siap dengan komitmen seberat itu. Tapi toh sekali lagi, kami berhasil melewati kerikil dan batu yang menghadang. Karena sungguh, kalau saat itu kami berpisah, aku sudah tak tahu lagi harus bagaimana menyembuhkan patah hati. Karena membayangkan harus menikah dengan orang selain pria ini, sungguh mimpi buruk yang tak ingin kubayangkan.

"Rii, kita makan nasi goreng dekat rumahmu, yuk." Adrian tiba-tiba menutup laptopnya, meneguk cappuchino dinginnya dengan cepat, lalu mengeluarkan uang dari dompetnya.

Aku hampir tersedak moccalatte-ku sendiri saat Adrian berdiri lalu berjalan menuju kasir.

Sungguh, kalau bukan karena cinta, dia sudah kuberi tendangan salto sekarang juga.

Kesepian


Kesepian seringnya merayap diam-diam dalam diri.
Saat kamu sedang lelah-lelahnya, saat kamu sedang sedih-sedihnya. Perasaan bahwa tak ada orang lain yang bersedia menemani, perasaan bahwa tak ada orang lain yang bisa mengerti. Perasaan-perasaan itu merangkak naik, lalu menggerogoti.
Kesepian yang telah mendarah daging dan tak kamu sadari.
Selama ini kamu pikir kamu kuat, kamu baik-baik saja menghadapi dunia seorang diri. Selama ini kamu pikir kamu tak butuh orang lain, kamu nyaman dengan duniamu sendiri. Hingga kemudian kamu berkenalan dengan rasa hangat yang orang lain berikan, rasa yang membuatmu gelisah tapi kamu bahagia karenanya.
Kesepian menjelma menjadi teman yang menunggu di penghujung hari. 
Sering kamu tak tahu kalau kamu sedang kesepian hingga kemudian seseorang datang menemani. Sering kamu tak tahu bahwa selama ini kamu bergulat seorang diri melawan sepi. Hingga kemudian kamu sadar bahkan di tengah keramaian pun, hatimu tak merasa penuh sama sekali.
Kesepian itu tak berujung, menetap, meski saat kamu telah membuka hati.

Orang-Orang


Orang-orang yang selalu bilang, "Makanya jangan begini!" "Makanya jangan begitu!" saat kita sedang diuji dan terpuruk adalah seburuk-buruknya orang-orang. Seakan-akan menderita dan merasa sedih adalah pilihan kita sendiri, seakan-akan kita ingin dan nyaman berada dalam keadaan duka, seakan-akan kita tak ingin berhasil dan bahagia.
Orang-orang yang selalu bilang, "Si ini saja bisa, masa kamu nggak." "Tapi aku bisa gini gitu, kamunya kurang usaha kali." saat kita belum mendapatkan apa yang kita inginkan adalah sejahat-jahatnya orang-orang. Seakan-akan doa-doa yang kita panjatkan tak ada artinya, seakan-akan upaya dan ikhtiar yang kita jalani hanya omong kosong, seakan-akan hidup dan takdir orang per orang adalah sama, seakan-akan dibanding-bandingkan itu tidak menyakitkan. 
Orang-orang yang selalu merasa paling paham dan khatam dalam hidup, orang-orang yang merasa tahu betul akan gelisah di pikiran dan lubuk hati orang lain, orang-orang yang mengecilkan dan menganggap remeh masalah dan beban lahir batin orang lain, orang-orang yang merasa hidupnya paling benar hingga yang orang lain jalani adalah salah, orang-orang yang jarang sekali mempertimbangkan baik buruk kata-kata dan tindakannya, orang-orang yang menyembah hasil dan tak pernah menghargai proses dan perjuangan. 
Jangan jadi orang-orang yang begitu, ya. Kita tidak berhak mengomentari terlebih menghakimi hidup orang lain. Kita tidak pernah tahu, barang seujung kuku pun, betapa kerasnya mereka berjuang. Kita tidak pernah tahu, gelisah macam apa yang berkecamuk dan harus mereka tanggung beratnya. Hidup ini keras, jangan jadi orang-orang yang malah memberi beban lebih pada hidup orang lain, alih-alih meringankannya.

Orang yang Tepat


"Orang baik itu banyak sekali tapi hanya ada satu yang tepat, 
selebihnya hanyalah ujian." -Kurniawan Gunadi

Kemudian kamu dihadapkan dengan pilihan-pilihan. Mana yang sesungguhnya tepat, mana yang hadir hanya sebagai ujian. Mana yang kelak akan mendampingimu selamanya, mana yang merangsek masuk ke dalam hidup untuk sementara saja. Mana yang mempertimbangkanmu dengan matang, mana yang sekadar ingin datang. Mana yang mengaminkan doa-doa baikmu, mana yang malah ingin mematahkan. Mana yang menganggap perasaanmu berharga dan patut dijaga, mana yang bahkan tak ambil pusing dan mengabaikannya. Kurasa yang paling utama adalah perkara hatimu dan niatmu. Kurasa juga, orang yang tepat pastilah dia yang memiliki hati dan niat yang sejalan denganmu hingga kalian bisa sepakat kalau kalian sudah menemukan yang dirasa tepat.
Seperti saat menemukannya, kamu tahu kamu sudah pulang. 


Sabar


Dalam hidup, tak semua yang kamu rencanakan jadi kenyataan. Kebanyakan berakhir jadi sekadar wacana atau bahkan gagal di tengah jalan. Dalam hidup, tak semua yang kamu inginkan, pasti akan kamu dapatkan. Kebanyakan diganti dengan sesuatu yang lain atau bahkan tak dapat sama sekali. Dalam hidup, tak semua doa-doa baikmu dikabulkan. Kebanyakan ditunda atau bahkan pupus begitu saja dalam perjalanannya menuju langit.

Dalam hidup, tak semua yang kamu bahagiakan dengan sungguh-sungguh juga membahagiakanmu dengan sungguh-sungguh. Kebanyakan tak paham bahwa ia sedang dibahagiakan atau bahkan ia sedang terlalu sibuk membahagiakan orang lain. Dalam hidup, tak semua yang kamu pikir akan melengkapi juga bersedia hadir dan tak pergi. Kebanyakan ia sibuk dengan pikirannya sendiri atau bahkan memutuskan untuk angkat kaki.

Sabar. Kamu hanya harus sabar.

Nanti akan ada masanya kamu dicukupkan. Seseorang untuk menemani suka duka, teman-teman yang bersedia hadir tak hanya saat kamu tertawa, harta baik yang meski tak banyak akan selalu ada, rencana-rencana besar yang satu persatu mulai terwujud nyata.

Sabar. Kamu hanya harus sabar.

Kamu adalah apa yang kamu tanam. Ikhtiar, sabar. Semua akan baik-baik saja.


Sebuah Perjalanan


Setelah selama ini terlalu sibuk dengan perjalanan duniawi, tak terasa, tahu-tahu sudah bertemu Ramadan lagi. Entah Ramadan yang mendatangi atau kita yang bergerak maju menghampiri. Satu yang terpenting, kita masihlah diberi usia dan kesempatan merasakan berkahnya lagi. Sahur lagi, menahan lapar haus lagi, berbuka lagi.
Sudah lebih baikkah kita tahun ini? Sudah sampai mana perbaikan ibadah yang kita lakukan? Sudah berapa kali kening bertemu dengan sajadah dengan khusyuk? Sudah berapa malam kita pasrah dengan doa-doa dalam tengadah? Sudah berapa kali kita membuka Al-Quran lalu melantunkannya? Sudah seberapa sering kita melihat baik-baik ke dalam diri, memahami, mengoreksi, lalu malu akan dosa sendiri?
Perjalanan umroh lalu, membuat saya sadar bahwa ibadah bukan cuma kewajiban, namun juga hak yang besar dan mewah sekali. Bahwa perjalanan ibadah ini, bukan tentang seberapa sering kamu menginjakkan kaki di sana, namun tentang apa-apa yang kemudian kamu resapi dan sadari di dalam jiwa. 
Bahwa kamu adalah seorang hamba, bahwa tiap-tiap kita juga terdiri dari tumpukan dosa. Ini bukan tentang siapa yang lebih suci, bukan tentang siapa yang lebih taat. 
Kita sungguhlah hanya makhluk yang kecil sekali. Makhluk yang banyak ditutupi aibnya hingga masih bisa berkoar-koar paling suci ke sesama umat lain. Makhluk yang konon paling sempurna, pun bisa sekali jadi yang paling jahat ke sesamanya. Sungguh, kita ini sebenarnya kecil dan rapuh sekali, tak pantas merasa diri sebagai yang paling berhak atas Surga. Tak berhak bilang manusia lain pasti masuk Neraka. 
Perjalanan dan pengalaman berharga ini, lebih dari sekadar berada di tempat kelahiran dan perjuangan Rasulullah. Ada rindu dan air mata yang saat mengalir hanya kamu dan nuranimu yang tahu, apa sesungguhnya itu. 
Kawan, jangan sampai Ramadan ini hanya terlewat dengan sia-sia lagi. Tanpa kita merasa bersalah saat meninggalkan solat, tanpa kita merasa harus memperbaiki akhlak. Jangan sampai Ramadan ini lagi-lagi hanya berisi acara buka puasa dan reuni bersama yang lantas membuat kita santai melewatkan kewajiban yang lebih penting. Jangan sampai Ramadan ini lagi-lagi hanya berisi menahan lapar dan haus, tanpa kita berusaha lebih keras dalam menahan nafsu dan emosi.
Kita ini hanya hamba yang sedang melakukan perjalanan. Mari terus saling mengingatkan, mari berhenti saling menjatuhkan. Selamat kembali berjalan.

Ramadan hari ke-12. Palembang.  

Memelihara Luka


Manusia dan luka-luka tak terlihatnya.

Sering kamu merasa sebegitu tersakitinya hingga memilih untuk pahit terhadap semua. Waktu, pertemuan, hal, orang. Karena satu orang membuatmu terluka, lantas semua yang kemudian datang terasa sama saja. Sama tak pekanya, sama brengseknya.

Kenapa kamu senang sekali memelihara luka. Kenapa kamu senang merasa tak baik-baik saja, lalu berharap seseorang datang untuk menolong dan menyembuhkan. Padahal, lukamu jelas bukan tanggung jawabnya. Seseorang hadir, membuatmu bahagia, namun saat kalian tak sejalan, kamu menganggapnya tak mampu mengerti, tak bisa sepenuhnya memahami.

Jangan terus-terusan memelihara luka. Hingga setiap orang yang datang akhirnya memutuskan untuk angkat kaki. Bukan salah mereka. Itu hanya kamu yang begitu keras kepala memelihara luka, seringnya malah dengan bangga.

"Aku terluka, kalian tidak tahu seperti apa rasanya.
Semua orang sama saja, tak akan pernah ada yang mengerti. Aku terluka."

Berhenti merasa kamu harus selalu dimengerti dan dimaklumi karena sedang terluka.

Jadikan lukamu sebagai pengingat. Bahwa kamu pernah berusaha bangkit lalu mencari bahagia.


Sementara ada yang sibuk memulai perusahaan, ada yang sibuk mempersiapkan rumah tangga. Sementara ada yang dengan sabar menimbun uang untuk usaha, ada yang dengan tabah memperbaiki diri untuk jadi ayah atau ibu yang baik kelak. Sementara ada yang sibuk mengejar duniawi, ada yang sibuk mengejar akhirat dengan ulet. Aku tidak tahu sedang berada di fase hidup yang mana. Kurasa aku hanya sedang berhenti di antaranya, di tengah-tengah pilihan yang sebenarnya tak sulit, tapi tak juga mudah untuk dilangkah. Berjalan perlahan ke tujuan-tujuan yang entah dibuat olehku sendiri, takdir, atau orang lain. Tak menggebu-gebu, tapi juga tak lelah ingin berhenti. Saat kutoleh ke belakang, ternyata aku sudah berjalan jauh sekali. Yah tak ada salahnya berjalan lagi hingga aku sampai di titik yang mengharuskanku untuk memilih. Untuk sekarang, kurasa aku masih harus terus berjalan, kuharap sedikit lagi. Aku mulai rindu persimpangan.

Mau Sampai Kapan?


Mau sampai kapan kamu sibuk mengomentari yang bukan urusanmu? 

Tahu hanya sepotong, tapi sudah merasa boleh mengambil kesimpulan. Itu masih di tahap tahu yang bahkan belum sampai di tahap paham. Setelah mengambil kesimpulan sekenanya, tanpa dilanjutkan dengan mencari tahu kebenarannya, kamu merasa berhak membuat cerita lalu menyebarkannya pada orang-orang yang bahkan jauh lebih nggak mengerti apa-apa. Tapi lucunya, kalian kemudian sepakat, setuju untuk membahas dan nyinyir terhadap hidup dan masalah orang lain, yang bahkan gak kalian kenal dekat. Biar apa, sih?

Kenapa kamu gampang sekali membenci orang yang bahkan gak punya masalah pribadi denganmu, alih-alih dekat. Kenapa kamu gampang sekali merasa bisa mengomentari dan menghakimi keputusan dan pilihan hidup orang lain yang bahkan mungkin hanya kamu sapa sehari sekali atau bahkan gak pernah bertemu sama sekali. Kenapa kamu gampang sekali bilang orang lain "salah" hanya karena orang-orang di sekitarmu bilang dia "salah", tanpa berusaha mencari tahu bahwa mungkin saja dia berada di sisi "benar"?

Jangan memelihara mental pengecut di dalam diri. Jangan merasa benar hanya karena merasa sedang di atas, jangan merasa bisa menilai orang lain karena tahu kamu akan selalu ada yang membela. Orang yang kamu benci sebegitunya itu adalah seorang anak, punya orang tua yang mendoakan. Begitu pun kamu, dibesarkan dan didoakan oleh orang tuamu, toh bukan untuk kemudian dihakimi atas apa-apa yang kamu lakukan. Dan lagi, kenapa kamu setelah dibesarkan malah memilih jadi manusia yang pikiran dan hatinya jahat sekali terhadap orang lain?

Tentu saja, beginilah dunia. Ada baik buruk, ada hitam putih. Begitu pun manusia, yang hatinya bisa sekali dibolak-balik dan berubah kapan saja. Tapi kawan, bergerombol untuk sama-sama membenci orang lain itu rasanya bukan lagi hal yang pantas, apalagi kalau yang kalian obrolkan itu isinya fitnah dan lantas merugikan orang lain. Jadi, selama gak mengganggu jalan napasmu, kurang-kurangilah sifat merasa berhak mengomentari dan menghakimi perihal hidup dan masalah orang lain. Selain karena bukan urusanmu, juga karena kamu gak pernah tahu rasanya jadi mereka.

Diam saja, duduk yang nyaman di tempatmu, urusi hidupmu sendiri.

Perhatikan saja orang-orang yang kamu sayang, beri mereka cinta yang banyak. Jangan sampai karena terlalu sibuk mengurusi yang bukan urusanmu, kamu tanpa sadar sudah jadi pembenci yang selama ini hanya sibuk membuang waktu. Mau sampai kapan?

Bagaimana Ini, Kekasih?


Cuaca sedang dingin sekali. Kulihat dari kejauhan kamu berjalan cepat, melangkah kecil-kecil, menjaga agar dua kopi di genggaman tak tumpah. Sembari mengangsurkan kopi, kamu tersenyum padaku. Manis sekali. Terlalu manis, hingga aku takut membayangkan bagaimana kelak rasa hidupku kalau kamu tak ada. Kamu lalu duduk di sampingku, seperti biasa. Ritual bertemu di kursi kayu tua pinggir sungai saat matahari mulai pamit. Ritual sejak 7 tahun lalu.

Kita bisa membicarakan apapun di sini. Apapun, kecuali masa depan.

Apapun mengenai kita di masa depan adalah tabu. Hari ini kita masih saling mencintai, siapa tahu esok cerita sudah berbeda lagi. Hari ini mungkin seperti biasa kita berpisah dengan bibirku yang mendarat di keningmu, siapa tahu esok kita berpisah dengan punggung yang bergetar karena caci maki. Padahal kemarin dan hari ini, aku mencintaimu sangat dalam, hingga sakit rusuk ini menanggungnya. Tapi tetap saja, esok nasib kita masihlah tanda tanya.

Kurasa masa depan kita memang tak akan pernah sampai. Kita yang tak berani membicarakan perihal pernikahan, anak-anak, atau membangun rumah bersama. Kita bahkan belum pernah menginjakkan kaki ke rumah satu sama lain, kita yang sama-sama bingung sebenarnya sedang memerjuangkan apa. Pernah kita memutuskan untuk berpisah, tapi kemudian berakhir dengan kamu yang sengsegukan tak berhenti dan aku yang mematung sakit melihatnya.

Suara adzan terdengar. Kamu berdiri, tersenyum kecil padaku, lalu berlari menuju masjid. Suara adzan yang selalu kudengar di waktu-waktu seperti ini, suara yang memanggilmu untuk datang memijak lantai masjid lalu bersujud dengan khusyuk. Suara yang tak kumengerti artinya.

Kulempar pandangan jauh sekali. Entah memandang apa.

"Tuhan, aku mencintai gadis ini. Ingin selalu bersamanya, ingin disambut senyumnya sepulang kerja, ingin punya anak yang lahir dari rahimnya, ingin menghabiskan sisa usia di sisinya..." kusentuh kalung salib yang menggantung di dada. "Tapi aku sudah lelah. Aku ingin berhenti berjuang."

Bagaimana ini, Kekasih? Apa yang harus kita lakukan?



#30harimenulissuratcinta #poscintatribu7e #harike-3

Untuk Lelakiku


kamu,
tak perlu susah payah berusaha membuatku tertawa selalu
karena aku tak sampai hati membuatmu memerjuangankan bahagiaku

tak perlu mati-matian menjadikan dirimu sosok sempurna
karena aku suka kamu yang mencukupkan dirimu untukku saja

tak perlu membuktikan cinta seluas samudra atau memetik bulan
karena aku lebih suka kamu diam dan kita saling menggenggam tangan
aku tak ingin kita saling mengenal lalu kemudian jadi benar-benar asing

kuharap kamu tahu rasanya
berdoa dengan sungguh-sungguh, berharap semua jadi kenyataan
di dunia yang sementara ini, semoga kita punya bagian cerita sendiri
di dunia yang sementara ini, semoga kita tak berakhir dengan orang lain

kamu,
tak perlu jadi luar biasa dan bisa segalanya
karena berawal dari kelemahan-kelemahan kita bisa saling menemukan
karena lelaki kuat pun bisa hilang pegangan dan aku ingin jadi yang menguatkan

kamu,
aku tak akan membuatmu repot dengan permintaan
aku tak akan merengek dan marah padamu tanpa alasan
aku tak akan menuntutmu memenuhi ambisi-ambisiku
aku tak akan membuatmu khawatir dengan kelakuanku

kamu,
aku hanya ingin kita bisa berbagi cerita
aku hanya ingin kita bisa jadi teman hidup selamanya
aku hanya ingin kamu tak kemana-mana dan kita berjalan berdua
aku hanya ingin kamu menetap di sisi, tak berniat mencari-cari lagi



#30harimenulissuratcinta #poscintatribu7e #harike-2

Cerita Tentang Desain Interior


Postingan ini dipindah ke blog lain. 
Oh ya, saya juga sudah bikin postingan tanya jawab tentang Jurusan Desain Interior.

Sila klik 'Cerita Tentang Desain Interior' dan 'Q & A (Interior)', ya. ^^