Teman Pengisi Senja

Aku suka sekali berada di sini. Tidak, bukan tempatnya. Tapi momennya. Dan seseorang di dalamnya. Bersama hal-hal kecil pelengkapnya. Dia, wanita yang sedang duduk mengantuk itu seseorangnya, sore ini momennya, dan dua cangkir kopi adalah pelengkapnya.

Aku? Aku hanya satu dari sekian di hidupnya.

"Kopiku sore ini pahit sekali," celetuknya.

"Oh ya? Maaf, mungkin aku lupa menambahkan gula," kutarik cangkir miliknya.

"Jangan," dia menggeleng. "Aku perlu merasakan yang pahit sesekali."

"Seperti hidup?"

"Seperti cinta."

"Apa yang pahit dari kisahmu?" tanyaku miris. Katakan padaku, apa yang merisaukanmu hingga kisah cinta yang tak pernah kutahu itu kamu sebut pahit? Bukankah yang mencicipi bagian terpahit justru aku, manusia yang diam-diam mencintaimu?

"Berharap pada yang tak pernah sadar."

Aku berhenti menyesap kopi.

"Aku berharap pada seseorang yang tak pernah sadar kalau dia jadi tumpuan bahagiaku. Aku berharap pada seseorang yang sepertinya tak pernah ingin jadi bagian dari hidupku."

Ah, jadi itu kisahmu. Kenapa malah lebih mirip kisahku.

"Kenapa senja selalu berwarna merah?" tanyanya.

"Mungkin itu semburat doa-doa."

"Oh ya? Kamu sering berdoa saat senja?"

"Selalu. Senja itu pengirim doa paling sendu."

"Maukah kamu mendoakanku agar bahagia?"

"... bersamanya?"

Kamu mengangguk. Aku hanya diam.

Tentu saja tak bisa. Doa kita bersebrangan. Aku ingin kamu bahagia tapi bukan bersamanya.

Kami kemudian sama-sama menyesap kopi. Senja tak pernah terasa sepilu ini. Gurat-gurat merah yang selama ini kunikmati perlahan mulai menyakiti. Rasanya ingin kopiku lebih pahit lagi agar mati rasa sekalian pikiran ini.

"Rasanya sakit sekali, ya."

"Mencintai diam-diam? Tidak juga."

"Tak ada bagian indah dari mencintai yang tak peka."

"Ada, kok. Sekalipun kadang pahit, bahkan kadang rasanya ingin jadi orang lain saja. Tapi aku memilih bertahan dalam diam, tetap jatuh cinta dan berdiri di tempat yang sama. Menunggu orang yang sama. Aku tak menunggunya peka, hanya saja, aku tak punya lagi alasan untuk berbahagia selain dia. Dan lucunya, aku bahagia."

"Senang sekali," dia tersenyum sedih. "Aku malah berduka."

"Jangan terus berduka. Kasihan seseorang yang menjadikanmu alasannya berbahagia."

"Tak bisa. Aku hanya ingin berbahagia untuknya."

Kutarik napas dalam-dalam. Sepertinya perjalanan ini masih panjang. Adegan penantianku masih belum terlihat ujungnya, adegan keras kepala dia juga tak tahu kapan berakhirnya. Aku bisa apa selain menikmati adegan saat ini, meski yang itu-itu saja. Meski tak jadi pemeran utama. Hanya teman pengisi senja. Tapi tak apa, yang penting aku berada di sisinya.

Bagaimana akhirnya, kelak yang tahu hanya senja dan ampas kopi saja.