Ya Tuhan (Adrian-Riifa)

"Dri, kamu mau kado apa ulang tahun nanti?"

Nah. Dunia dan wanita. Hobi sekali menodongkan pertanyaan yang jawabannya sulit kutemukan. Pertanyaan yang jawabannya bisa menjebak, semacam permainan kata. Pertanyaan kurang penting yang tidak bisa dijawab dengan semua ilmu jaman kuliah.

"Saham perusahaan yang stabil? Akhir-akhir ini saham perusahaan naik turun."

Dan berakhirlah percakapan singkat kami sore itu. Mata Riifa meredup sampai kuantar dia pulang. Dan meskipun malamnya kami mengobrol lagi ala pasangan kekasih, tetap saja aku tahu lagi-lagi telah memberinya jawaban yang salah. Mungkin Riifa mengharapkan jawaban seperti: jam tangan baru, pena mahal, atau lukisan wajah kami berdua. Atau juga jawaban sekaligus pernyataan romantis seperti: aku hanya menginginkanmu. Tapi-demi Tuhan-lidahku tidak didesain untuk jawaban semacam itu.

Dan lagi, saham perusahaan memang sedang kacau, kok.

---

"Rii, kamu punya waktu? Aku mau makan sashimi."

"Kamu kan, baru sembuh. Jangan makan yang aneh-aneh, lebih baik cepat pulang."

Minta ditemani makan malah disuruh pulang ke rumah. Apa wanita memang diciptakan untuk mengatur apa-apa yang harus dilakukan pasangannya. Maksudku, kenapa aku harus begitu hati-hati pada satu makanan padahal aku tahu tubuhku sedang baik-baik saja dan sudah sembuh sepenuhnya. Ah, Riifa.

Ah Adrian, omelanmu persis nenek-nenek tua.

---

Hari ini, Riifa mengajakku piknik. Kegiatan yang kupikir hanya ada di drama-drama cengeng, adegan keluarga bahagia atau sepasang kekasih yang dimabuk cinta. Mengingat kami sama sekali tidak pernah punya jadwal kencan dan Riifa tidak pernah menuntutku jalan-jalan seperti wanita kebanyakan, kuturuti maunya yang satu ini. Toh ternyata menyenangkan juga. Meskipun di kelilingi banyak keluarga besar yang juga piknik dan makan masakan rumah di bawah pohon, meskipun kemudian kakiku gatal-gatal karna rumput berduri, meskipun cumi bakar buatan Riifa agak alot karena terlalu lama dibakar, meskipun aku harus terlambat menghadiri rapat penting di kantor.

Semua setimpal. Kekasihku selalu bertingkah manis, terlebih di acara piknik ini. Aku suka caranya menggeleng pelan saat memaklumi tingkahku yang kelewat datar, aku suka saat dia menggenggam tanganku erat-erat sekadar menghangatkan tangan, aku suka rangkulannya yang kecil saat masuk dalam pelukan.

Jahatnya, di akhir piknik itu Riifa memberiku secarik kertas yang katanya harus diisi. Kami akan bertukar kertas itu saat bertemu lagi nanti, sekitar tiga hari lagi. Pertanyaan yang harus dijawab membuatku mati kutu.

"Kalau sepuluh tahun lagi ternyata kita tidak berada dalam satu ikatan yang sama, relakah kamu melihatku jadi milik pria lain?" 

Ya Tuhan.

Memangnya Kamu Tahu?

Harus kumulai dari mana cerita ini. 

Adegan diam-diam melihat punggungmu atau darah yang berdesir cepat tiap kali kusadari hadirmu? Atau haruskah kumulai cerita ini dari air mata yang merebak di pelupuk saat sadar kamu sepertinya memang tak akan pernah tergapai, selamanya?

Memangnya kamu tahu?
Debar hebat yang harus kutanggung tiap kali kamu muncul di hadapanku, bermeter-meter jauhnya, tapi jantungku bahkan tak sanggup menanggung kencang detaknya. Aku tergagap, tak bisa berucap.

Memangnya kamu tahu?
Gemas yang harus kutanggung tiap kali kamu mendekat, tapi tak satu kata pun terucap. Aku yang ingin sekali mendengar suaramu yang tertahan, bukannya mencuri dengar dari kejauhan.

Memangnya kamu tahu?
Aku menanti dalam diam yang menyakitkan. Berharap kamu membaca semua tanda-tanda. Berharap kamu, entah bagaimana, tahu dan mengerti kalau kamu kini poros dunia kecilku, di dasar hati sana.

Memangnya kamu tahu?
Bahwa kehadiranmu saja, bisa menjungkirbalikkan dunia. Aku tidak minta kamu sadari, aku hanya ingin kamu hadir di pelupuk mata setiap hari. 

Dan disinilah aku. Satu dari sekian banyak yang diam menanti. Kalau kalau kamu akhirnya sadar dan mengerti semua tanda yang kuberi, semoga aku masih si penikmat cinta diam-diam yang sama.

Berkatmu, aku tahu rasanya menahan rindu sampai raga terasa ngilu. Doakan saja, di hari dimana kamu akhirnya menerima tanda-tandaku, aku belum jatuh pada seseorang yang hapal bahkan merangkai tanda-tanda itu.

Satu hal yang harus kamu tahu, kalau kelak kamu lenyap di pikiranku, kamu kekal dalam doaku.