Bertanya

Sekali waktu, aku pernah bertanya,

musim apa yang kau suka. Kau bingung. Katamu, kau hanya pernah merasakan dua musim, kemarau dan hujan. Tak ada satu pun yang kausuka. Kau suka musim gugur karena kecantikannya, tapi tidak adil memilih sesuatu yang belum pernah kau cicipi sebelumnya. Rasanya seperti mencintai seseorang yang tak kau tahu kelemahannya, tapi begitu kau puja. Jadi kau putuskan, kau tak suka musim apapun. Karena meski musim gugur selalu terlihat menakjubkan, tetap saja ia tak pernah kau rasakan.

Aku pernah bertanya,

kau lebih suka langit siang atau langit malam. Lagi-lagi, kau bingung. Langit masihlah langit, entah itu siang atau malam. Langit tak berubah, tetap sama. Karena kalau aku bicara tentang terang dan gelap, kau bilang itu bukan lagi langit, melainkan cahaya. Katamu, kalau bicara tentang biru dan hitam, itu adalah warna. Jadi kau putuskan, kau suka langit. Tak peduli ia sedang dihinggapi siang atau malam.

Kita sering sekali berbincang, seringnya tanpa kata. Hanya bertukar diam, sambil sesekali saling melirik. Aku semakin sadar, sesering apapun kita berbincang, kau tak pernah menatap mataku dalam-dalam. Banyak pertanyaan yang kuajukan, banyak jawaban yang kau berikan, tapi kurasa kau tak pernah benar-benar hadir. Kau menjawab panjang lebar, tapi tak sekalipun kudapat ekspresi yang berbeda. Lama kelamaan, aku mulai bertingkah hanya untuk membuatmu terkesan. Lama kelamaan, aku jemu dengan pertanyaan karena kau bahkan tak pernah tergerak untuk bertanya, kenapa aku sering sekali bertanya.

Awalnya, aku bertanya karena ingin tahu. Tapi diriku sendiri bahkan mulai sadar, bahwa pertanyaan-pertanyaan yang kuminta kau jawab, hanya alasan agar kau tidak pergi. Hanya untuk membuatmu sibuk hingga tak ingat bahwa banyak yang harus kau beri perhatian. Hanya untuk membuatmu menetap lebih lama, hanya agar kita tetap bersama.


Aku bisa saja memutuskan untuk angkat kaki, tapi tidak.

Kuputuskan untuk menetap sembari menghabiskan bercangkir-cangkir kopi lagi.


Dan pertanyaan-pertanyaanku, simpanlah untukmu sendiri. Siapa tahu kelak akan ada waktu untuk kau menyadari bahwa tak ada yang lebih ingin tahu tentangmu, selain aku. Siapa tahu kelak akan ada waktu saat aku kehabisan pertanyaan dan ingin pergi, sementara kau ingin aku tetap di sini.

Bila kelak kau bertanya, aku janji akan menjawab dengan senang hati. Saat hari itu tiba, aku akan hadir untuk menatap matamu dalam-dalam meski tanpa secangkir kopi. 

(Akhirnya) Menikah

Bridal Shop - 17.08

Sebulan lagi Moca menikah.

Setelah mengalami putus sambung yang membuat semua orang ikut putus asa dan lelah, setelah semua drama tentang jarak yang tak kunjung menciut. Akhirnya. Sahabat tersayangku menikah juga dengan kekasih-entah berapa tahun-nya. Terlalu sering putus nyambung, aku tak tahu hitungan pasti hubungan mereka. Kini aku dan Rossy sedang mencoba gaun bridesmaid yang dipesankan Moca.

"Nggak. Aku nggak bisa memakai warna ini." Rossy menggeleng.

"Kenapa? Kau suka warna emas, kan?" kuputar badan Rossy yang sedang membungkuk di depan kaca. "Ini cocok untukmu, kok. Pinggang kecilmu akan baik-baik saja."

"Bukan pinggangku, Rii. Tapi aku hanya gak suka warna ini."

"Tapi ini warna pilihan Moca, kita bisa apa?" aku mengangkat bahu. "Yah, aku lebih suka warna tema pernikahanmu, sih. Ungu muda. Aku masih menyimpan gaun bridesmaid-ku."

"Berjanjilah, Rii. Pernikahanmu nanti gak akan memakai warna terang!" ancam Rossy.

Dadaku mendadak ngilu. Ada perasaan aneh yang berkelebat saat mendengar kata "pernikahan". 

"Aku belum mau menikah," sergahku.

Rossy berhenti memainkan gaunnya kemudian menatapku.

"Apa?" kataku gugup.

"Kenapa kau nggak bertanya pada Adrian?" tanyanya.

"Tentang apa?"

"Tentang pernikahan. Dia sebenarnya berniat menikahimu atau nggak."

"Well... aku nggak yakin hal "itu" ada dalam daftar prioritasnya sekarang."

"Demi Tuhan, Rii. Sudah hampir lima tahun, lho."

"Aku tahu," kupandangi diriku sendiri di cermin, tampak lesu dalam balutan gaun emas yang jatuh dan mengilap. "Tapi, memangnya aku bisa apa selain menunggu?"


Teruslah Berjalan

Seseorang yang bilang mencintaimu, belum tentu bercita-cita mengikatmu. Seseorang yang menjanjikanmu selamanya, belum tentu bisa membuatmu bahagia. Seseorang yang berjanji akan selalu berada tepat di sisimu, belum tentu akan menetap tanpa mencari yang lain. Seseorang yang kau yakini tak akan membuatmu kecewa, belum tentu tak membicarakanmu sekali saja. Seseorang yang kau doakan siang malam bahkan saat membuka mata, belum tentu juga menginginkan harap yang sama. Seseorang itu bisa saja pergi atau terganti. 

Untukmu yang hatinya sedang dijaga baik-baik, berbahagialah. Tak banyak yang sungguh-sungguh ingin melihatmu tertawa di dunia ini. Tak banyak yang sungguh-sungguh mengerti, sekalipun mereka bilang paham dan tahu rasanya. Tak banyak yang sungguh-sungguh ingin menyembuhkan lukamu, sekalipun mereka bilang telah berkali-kali jatuh dan sembuh. Tak banyak, sekalipun kau merasa tak pernah sendiri. 

Kadang kau hanya ingin didengarkan, tapi tak seorang pun ada di sana untuk mendengarkan. Kadang kau hanya ingin sebuah pelukan, tapi tak seorang pun ada di sisi untuk memberi pelukan. Kadang kau hanya ingin menjaga semua, tapi tak seorang pun yang memberi perhatian seksama. Kadang kau hanya ingin memastikan bahwa semua masih pada tempatnya, tapi tak seorang pun ada untuk membantu untuk memastikannya. Kadang kau hanya ingin semua kembali seperti semula, tapi tak seorang pun ada untuk membantu memperbaikinya.

Lama kelamaan, kau berpikir memang apa lagi yang bisa kau lakukan selain terus berjalan. Selain berharap bahwa semua yang pernah kau cintai tak pernah berniat menyakiti, tak akan pernah tega menikam punggungmu dari belakang. Selain berharap bahwa semua yang pernah kau percaya tak akan pernah membuatmu kecewa, tak akan pernah tega untuk pergi begitu saja. Selain berharap bahwa semua yang bilang paling mengerti, tak akan pernah tega untuk berburuk sangka.

Teruslah berjalan. Agar hatimu tak sempat ingat bahwa ia hampir mati.