Menikah

Akhir-akhir ini, saya sering kali ditodong pertanyaan, "Kapan menikah?" dari orang-orang sekitar. Ini bukan pertanyaan yang seharusnya diajukan pada saya, mengingat saya sendiri masih 21 tahun. Banyak yang menikah di usia ini, tapi lebih banyak yang menganggap usia ini terlalu muda. Termasuk saya. Sekarang saya sedang berada di lingkungan yang hampir seluruh usianya lebih muda tiga tahun. Otomatis, mendadak saya jadi yang paling tua dan dianggap paling dewasa. Kalau ada pertanyaan dan pernyataan seputar menikah dan berumah tangga, saya sudah pasti jadi sasaran. Padahal, saya sendiri, dan teman-teman seusia saya juga menganggap kami masih anak-anak. Yah, setidaknya saya sendiri masih menganggap diri saya tidak sesiap itu untuk membina rumah tangga. Jauh. Jauh sekali dari pikiran. Sekadar memikirkannya saja membuat saya pusing bukan main. Bisa dibilang, saya anti menikah muda.

Bukan berarti saya nggak memikirkan tentang pernikahan lho, ya. Tentu saja saya memikirkan rencana besar yang pasti sedang asyik dirancang oleh hampir semua wanita di dunia. Terlahir sebagai satu-satunya anak perempuan di antara tiga lelaki membuat saya jadi satu-satunya sasaran nasehat Ibu saya. Ini itu, gini gitu, blablabla, semua saya telan dari kecil. Pesan-pesannya nggak main-main, pelajaran moral dan etikanya juga nggak main-main. Komplit. Tapi tetap saja, semua nasehat itu pada akhirnya hanya membangun prinsip dan semua fondasi, yang membangun dan menjalankan tetap saya dan... mental--yang sampai detik saya menulis postingan ini, masih juga belum kuat.

Pria Abu-Abu

23 tahun. Bekerja di perusahaan properti terkenal, telah memiliki hampir semua keinginan muluk masa kecil, tunangan hebat yang-entah bagaimana-bisa mengajakku berumah tangga dengannya dua bulan yang lalu, dan hidup yang nyaris datar tanpa masalah. Semua berjalan mulus, sampai saat aku melihat dia. Pria berjaket abu-abu, duduk di jembatan kayu kecil seorang diri. Seperti adegan di sinetron, dia duduk termangu dengan misterius, entah apa maksudnya. Beberapa kali kulihat dia lagi-lagi duduk di tempat itu, sampai tanpa sadar kuhapal jadwalnya di luar kepala. Dia ada di situ setiap hari Rabu, Sabtu, dan Minggu. Entah kenapa harus tiga hari itu. Satu-satunya kesamaan tiga hari itu di pikiranku, hanya akhiran "u". 

Sekitar sebulan kuamati punggung abu-abunya, kuputuskan untuk mengajaknya mengobrol. Kata Rendra, kekasihku sebaiknya aku menjauhi orang seperti itu. Berbahaya. Mungkin saja dia di situ untuk menjebak orang-orang atau lebih buruk lagi dia psikopat yang mengincar nyawa. Mendengarnya, alih-alih takut aku malah tertawa. Pundak yang kulihat dari belakang itu tidak terlihat mengancam. Pundak itu tegap tapi melengkung pasrah, seperti sedang perlahan melepas kekuatan. Aku yakin, sekadar mendekatinya tidak akan menimbulkan bahaya apa-apa.

Jadilah Minggu pagi ini aku mengunjunginya tanpa sepengetahuan Rendra. Sambil berkeliling dengan sepeda, kuputari taman tempat danau kecil itu berada untuk memastikan keadaan. Si pria abu-abu sedang tertunduk, menatap kaki telanjangnya yang dijulur ke depan. Aku cepat memarkir sepeda di dekat halte bus, lalu berjalan pelan menujunya. Suara kayu tiba-tiba memenuhi hening yang selama ini menyelimutinya, kupelankan lagi langkah agar dia tak marah. 

"Hai, Abu-abu," sapaku ragu-ragu.

Kepalanya perlahan terangkat, dilemparnya tatapan sayu ke arahku. Sekujur tubuh mendadak merinding. Pria ini mungkin seumuran denganku, punya lengkung wajah yang jelas dan tirus, alis yang menukik tajam seperti ingin menuju hidung. Dan bola matanya. Abu-abu.

Remah Roti

Saat kau pergi, kisah kita tak lebih dari sekadar remah roti
Aku enggan memungutnya, silakan kau pungut sendiri
Aku takut, genangan di pelupuk mata tak lagi bisa kutahan, 
saat menyaksikan cerita kita berantakan, berserakan, jadi pecahan

Jangan pernah sekalipun menyuruhku kuat, 
kalau kau sendiri belum tahu apa itu kehilangan
kalau kau sendiri belum pernah merasakan dinginnya ditinggalkan
kalau kau sendiri belum pernah meringkuk seorang diri, menggigil kesepian

Kau menyuruh kita terus berpegangan tangan,
kemudian kau berlari kencang dan meninggalkan
Hatiku tentu bisa sembuh berkali-kali,
tapi untuk mulai mencintai lagi?
Itu tanggung jawabmu yang tak punya hati

Jangan kembalikan hatiku
Seseorang sudah memberikan miliknya untuk kumiliki

Hidup

Suatu hari, aku duduk di tepian dermaga. Memandangi lautan kosong yang menghembuskan angin kering, mataku tak lagi lepas dari titik di seberang lautan, yang aku sendiri tak tahu dimana ujungnya. Sore itu kuputuskan untuk rehat sejenak dari hiruk pikuk kesibukan, sengaja menyepi demi satu pencerahan. 

Aku sedang menunggu Hidup. Setelah sekian lama tak bertegur sapa, akhirnya kuputuskan untuk kompromi dengannya. Aku lelah bermusuhan, lelah main tarik-tarikan. Hidup datang tak lama kemudian.

"Kenapa kau terus mempertanyakanku?" tanyanya begitu kami sama-sama telah siap berdebat opini. Aku malas menatapnya, jadi kualihkan mata ke arah langit saat menjawab pertanyaannya.

"Itu lucu. Tentu saja aku mempertanyakanmu. Kau menyudutkanku, selalu menempatkanku di bagian tak mengenakkan. Adegan ternganga, tertegun, dan tergugu takut. Aku berkali-kali gagal, kehilangan, lalu menderita."

"Aku meletakkanmu di titik terendah agar kau tahu mahalnya berada di atas."

"Kau bukan Tuhan."

"Lalu, kalau aku Tuhan, memangnya kau akan berhenti menyalahkan? Bukankah dari awal kerjamu hanya menyalahkanku dan Tuhan yang sebenarnya sudah begitu baik padamu? Kau hanya belum tahu."

"Aku tahu." Ucapku perlahan, kutarik nafas dalam-dalam saat memandang lurus pada Hidup. "Itulah kenapa aku memanggilmu. Aku ingin berterima kasih untuk semua pelajaran itu. Tak tergantikan, bahkan jika kuserahkan seluruh hidup ini padamu dan Tuhan."

"Jadi... kita berdamai?"

"Ya. Kita berdamai ya, Hidup."

Penanti Ulung

Aku kini penanti ulung
Tanda-tandamu yang kubaca, semoga aku tak sedang besar kepala
Satu kata saja terucap dari mulutmu membuatku telak kehilangan kata
Senyummu tersungging mungil, senyumku mekar di dalam hati kecil

Kalau kuikuti jejak penikmat rindu di luar sana, aku bisa babak belur
Kapan aku pernah sanggup memikirkanmu begitu muluk
Takut, hatiku bisa remuk, patah dalam
Saat hujan turun, aku tak merenungi nasib kita berdua
Takut, hatiku bisa renyuh, luka tak kunjung sembuh

Jadi, kamu lebih suka aku menunggu atau menyerah?

Katakan padaku, seperti apa sebenarnya akhir kita.