Sibuk Suntuk

Malam ini (lagi-lagi) kita dimulai dengan sikat gigi dan laptop.

Aku berjalan ke kamar mandi yang pintunya sengaja kubiarkan terbuka, kamu yang langsung duduk meringkuk di depan meja kerja. Dengan mulut penuh busa, dari pantulan kaca, kupandangi kamu yang menarik nafas dalam-dalam. Bergulat dengan data-data yang tak pernah kumengerti tapi begitu kamu sukai. Perihal menyikat gigi sambil memandangimu ini mendadak jadi rutinitas berharga. Aneh memang. Kenapa tidak sekalian kuambil kursi, duduk di sebelahmu, lalu kupandangi kamu sepuasnya sampai pagi. Kalau perlu sambil kupeluk-peluk sekalian. Tapi tidak. Pantulanmu di kaca jauh lebih indah. Seperti mengingatkanku kalau kamu memang rapuh. Kujatuhkan kaca ini, maka kamu di dalam kaca akan pecah berantakan. Tak akan ada lagi kamu. 

Aku akan membingkaimu dalam kaca lalu menjaganya.

Selesai menyikat gigi, aku berjalan ke dapur. Masih ada yang harus kurampungkan sebelum tidur. Kopi dengan gula hanya sesendok untukmu, lalu kopi susu untukku. Aku tidak suka kopi, maagku bisa kambuh. Tapi, seperti inilah caraku agar kurang lebih tahu rasanya terjaga karena kafein. Tentu saja kamu akan selalu menang dalam lomba terjaga hingga pagi. Dan aku, selalu jadi yang bangun terlebih dulu karena kamu seringnya tak tertidur.

Kuletakkan secangkir kopi di sisi laptopmu. 

Tugasku belum usai.

Aku mengambil minyak lavender dari lemari kecilmu. Setengah berjongkok, kuminta kamu mengeluarkan kedua kaki dari gelungan selimut. Sambil menahan geli, kamu tersenyum memandangiku yang mengoleskan minyak lavender di telapak kakimu. Katanya, cara ini bisa sedikit mengatasi gangguan tidur. Jadi, kulakukan tiap malam agar kamu bisa cepat tidur. Tapi sepertinya minyak lavenderku sudah kepayahan melakukan tugasnya di tubuhmu yang kebal karena kafein.

"Kamu memberiku kopi, lalu mengoleskan minyak lavender. Sebenarnya kamu mau aku tidur atau nggak?" tanyamu lirih. 

Aku yang sedang berlutut kini lebih rendah darimu. Tidak seperti biasanya, kamu yang harus mendongak untuk bicara langsung padaku. Aku hanya tersenyum. Memandangi wajahmu yang sisi kanannya tertimpa cahaya laptop dan sisi kiri yang gelap di balik selimut cokelat.

"Supaya kamu bertanya seperti ini padaku. Jadi, kamu ingin terjaga atau terlelap?"

Kamu tercenung. Cukup lama. 

"Aku ingin terjaga."

Hatiku mencelos. Tapi hebatnya, masih bisa tersenyum.

Kamu kembali bercumbu dengan laptop dan data-data, sementara aku menaruh minyak lavender ke tempatnya. Lalu, lagi-lagi, menutup malam di balik selimut dingin seorang diri. Setengah diriku menginginkan istriku yang dulu bisa dipeluk untuk mengisi malam, setengah lagi memilih mengalah dan pasrah. Akan lebih banyak malam mengoleskan minyak lavender.

Istriku lenyap termakan sibuk. Aku lenyap termakan suntuk.

"Pergilah, Menghilang Sajalah"

Hujan baru berhenti dan bau tanah basah masih menyeruak. Aku baru saja akan berlarian ke ujung jalan mengejar bus saat dia juga berlarian ke arahku. Kami hampir bertabrakan. Untungnya aku bisa menahan langkah. Tertahan, tepatnya. Selutut-lutut lemas. Mukaku pasti sudah pucat.

“Hai,” sapanya.

Wah, hebat sekali. Ada apa ini? Apa aku masuk acara jebakan jahil di televisi? Apa sebentar lagi akan ada pembawa acara yang keluar dari balik semak-semak untuk mengagetkanku? Tidak perlu. Dia hadir di depanku saja sudah lebih aneh dari kejutan apapun.

“Kamu sedang apa disini?” tanyaku. Akhirnya bersuara juga setelah sekitar semenit berpikir keras apa yang harus kukatakan. Sudah lama sekali sejak kami tak (harus) saling bertegur sapa.

Sudah lama sekali sejak kami tiba-tiba memutuskan untuk tidak bersama lagi. Ah, tidak. Dia yang tiba-tiba pergi. Ada wanita lain, atau justru aku yang jadi wanita lain, aku tak lagi mengerti. Yang jelas, lucunya, aku pernah percaya bahwa akhir dari kami adalah bahagia.

Dia tak bicara.

“Jangan sok-sokan ingin kembali. Kamu nggak tahu bagaimana aku berjuang membereskan semua kekacauan yang kamu sebabkan, kamu nggak tahu pagi muram seperti apa yang kulewati saat kamu pergi.”

Dia masih tak bicara.

“Sudahlah. Aku nggak ingin bicara lagi. Nggak ingin ada “kita” lagi. Kuanggap kita nggak pernah ada. Aku akan menghilang, kamu juga.”

Saat dia masih tak bicara, aku berjalan melewatinya. Sudah lama setelah kami tiba-tiba seperti terkoyak paksa, mataku tak tersengat air mata. Jangan menangis, bisikku pada diri sendiri.

“Terima kasih sudah selalu mendoakanku saat kita masih bersama,” katanya. Suaranya tegas, tidak sedang terluka atau ragu-ragu. Satu dari banyak bagian dirinya yang pernah begitu kukagumi.

“Aku masih mendoakanmu, tahu.”

Lalu, untuk pertama kalinya aku berhasil menatap matanya dalam-dalam. Tidak ada luka, sakit hati, pertanyaan yang mendesak untuk dijawab, atau penyesalan atas pertemuan kami.

“Kamu baik-baik saja?”

“Dulu, sebelum kita bertemu, aku pernah baik-baik saja. Memangnya apa yang bisa kulakuan selain baik-baik saja? Aku baik-baik saja.”

Setelah mendengar itu dari mulutku, dia tersenyum. Lalu menghilang. Seperti butiran pasir, terbawa angin. Aku terpaku. Dia tak nyata. Dia tak benar-benar ada.

Lagi-lagi, pikiranku menjelma begitu nyata.

"Pergilah. Menghilang sajalah..."

Wilujeng Tepang Taun, Pan-dora!

Ucapan ulang tahunnya pakai Bahasa Sunda, ya. Bahasa Ibu saya, bahasa yang biasanya beliau pakai kalau sedang menyuruh anak-anaknya makan, memberi nasehat, atau sekadar ngomel karena rumah selalu berantakan. Ibu dan bahasanya yang dulu nggak saya mengerti.

Kembali ke perayaan ulang tahun Pan-dora.

Ah, blog ini. Nggak pernah terbayang dalam benak saya kalau blog yang tujuannya hanya untuk menampung tulisan iseng, malah mendapat pembaca yang apresiasinya luar biasa. Nggak terhitung sudah berapa kali saya terharu atau mendapat sensasi hangat di hati tiap kali ada pembaca yang menyampaikan perasaannya setelah membaca salah satu tulisan. Ada yang menangis, ada yang tertawa bahagia, bahkan ada yang memutuskan untuk move on hanya karena membaca salah satu postingan disini. Rasanya aneh sekaligus nggak percaya. Senang. Karena ternyata blog ini bisa menggerakkan hati seseorang.

Beberapa kali ada komentar nggak jelas, tapi saya anggap semua komentar penting. Nyambung nggak nyambung, baik atau buruk, komentar tetap apresiasi pembaca. Saya berterima kasih pada selama ini selalu memberi komentar yang menyenangkan. Terima kasih.

Pan-dora membuka dunia saya. Lebih lebar dari apa yang bisa dijangkau oleh tangan kecil ini. Lewat ujung-ujung jari, saya menjangkau apa-apa yang tak kasat mata. Saya bahkan bisa menjangkau hati. Pikiran, dunia lain lewat blog orang lain. Rasanya menyenangkan. Nggak tergantikan.

Sudah dua tahun ya, Pan-dora.

Baru dua tahun, tepatnya.

Pan-dora masih akan berisi cerita dan potongan tulisan manis, seperti yang selama ini kalian tahu. Dan saya masih belum kepikiran untuk berpindah genre dari chicklit ke genre lain, jadi tulisan disini juga masih akan bertema sama.

Semoga di pertambahan usia, blog ini makin dipenuhi oleh pembaca yang menginginkan Pan-dora sebagai penyembuh, penghibur, atau sekadar tempat untuk membaca. Doakan Pan-dora selalu ada. Dan akan selalu ada.

Terima kasih, semua. ^^

Cokelat Panas

Ada rasa yang berbeda tiap kali menyesap secangkir cokelat panas. Sensasinya tidak menyentak seperti kopi. Lebih ringan dan manis. Tidak seperti kopi yang membuatmu terjaga, cokelat panas membuatmu terlelap. Membuatmu lari sejenak dari hiruk pikuk dunia yang merongrong isi kepala. Membuatmu lupa sejenak dari jerit-jerit di hati yang tak tahu diri.

Kopi membuatmu terjaga, membuatmu siaga.

Seperti mengingatkanmu untuk terus menegakkan bahu, jangan dulu rebah pada apa-apa yang beresiko mengacaukan kepala. Memporak-porandakan hati. Kopi seperti sahabat yang tak ingin kamu terbuai pada apa yang kelak menjatuhkanmu. Memecahkan tiap partikelmu.

Cokelat panas membuatmu terlelap, membuat duniamu senyap.

Seperti membiarkanmu untuk rehat sejenak, jangan terlalu kaku pada hidup yang sejatinya tak perlu dikhawatirkan begitu besar. Ini hidup. Nikmati, senyum, lalu melangkahlah dengan ringan. Kasihan bahumu kalau terus tegak. Cokelat panas seperti sahabat yang tahu betul jatuh bangunmu. Tak tega melihatmu terus berjuang hingga nyaris patah.


"Ini untukmu yang sedang lelah dengan hati dan isi kepala. Secangkir cokelat panas, plus sebuah janji kecil dari Tuhan. Bahwa kamu pantas bahagia dan dibahagiakan."



Hujan dan Doa

"Kenapa sih, orang kalau galau selalu butuh hujan?"

Joanna, adik perempuan Adrian menatap dramatis tetesan air hujan yang menjatuhi jendela ruang tengah. Aku sedang menjenguk ibu mereka yang sedang demam saat hujan deras mendadak turun, membuat rencana kencan berhargaku tertunda. Aku yang sedang membuatkan mereka cokelat hangat, tertawa kecil menanggapi celetukannya sementara Adrian melengos pelan. Joanna kemudian menodong jawabanku saat kakak laki-lakinya tak menanggapi.

"Well, menurut penelitian sih, hujan memang punya kemampuan meresonansikan kenangan. Mungkin karena itu kita cenderung memutar masa lalu saat hujan?"

"Nggak masuk akal," protesnya.

"Hidupmu lebih nggak masuk akal," timpal Adrian.

"Kamu pernah galau karena hujan, Rii?" tanya Joanna lagi.

Kali ini, kulihat Adrian mengangkat kepalanya dari laptop lalu melirikku. Otakku berputar dengan cepat. Panik, sok tenang, mencari jawaban, menatap mata Adrian. Kepalaku bolak-balik melakukan sesuatu yang absurd. Jangan sampai salah jawab. Apa katamu? Ah, terserah.

"Pernah. Hampir selalu."

Joanna bengong. Ekspresi Adrian masih datar.

"Kenapa nggak?" tanyaku lagi. Gugup yang tadinya mengaliri darah mendadak surut. "Aku manusia. Kugarisbawahi ya, manusia. Masih punya hati, jadi saat kenangan menyergap, hatiku masih bisa berdenyut. Apalagi memacari kakakmu."

Joanna masih bengong. Adrian mulai tersenyum kecil.

"Yang jadwalnya nggak karuan. Yang mungkin bisa dinominasikan sebagai salah satu pria tersibuk di dunia mendampingi Obama, yang sampai ketiduran di meja kerja, yang badannya seperti nggak ada tulang hingga nggak pernah merasa patah-patah. Atau mungkin, komposisi badannya semua tulang jadi mirip robot."

"Dan lagi, biar jahat begitu, kakakmu bagian dari masa laluku. Juga masa sekarang, dan semoga dia juga berada di masa depan. Wajar kan, kalau dia selalu ada saat hujan?"

Kutarik nafas dalam-dalam. 

"Itulah kenapa," lanjutku. "Hanya saat hujan, aku ingat untuk mendoakannya lebih banyak. Hanya saat dia sibuk aku punya waktu untuk duduk. Lalu berdoa lagi."

Joanna menatapku, lalu mendesah pelan. "Kenapa sih, kamu mau menyia-nyiakan hidup demi jadi kekasih kakakku? Pergilah sebelum terlambat."

Adrian menyerngit. "Dia bakal jadi kakak iparmu, tahu."

Sekarang giliranku yang bengong.

Apa itu tadi lamaran?



Baca cerita lengkap 'Adrian-Riifa' disini.

Entahlah

Ada musik yang mengalun perlahan, entah darimana. 

Iramanya konstan, nyaris datar seperti hati yang tak pernah didatangi. 

Sepi. 


Aku diam-diam mengamati gerakan hati. 

Masih kosong, lompong. Ruang-ruangnya masih sama. 

Di dindingnya ada bekas luka. Besar tapi di permukaan, kecil tapi merusak jaringan. 

Aku terlampau hapal dengan labirin yang kuciptakan sendiri. 

Rumit dan sederhananya, plus jalan pintas masuknya. 


Kupikir hanya aku yang tahu. Tapi rupanya aku hanya sok tahu.


Di ruang hati yang sama sekali baru, kamu, telah membangun istanamu sendiri. 

Tidak sebagai penyusup, kamu hadir lebih seperti teman lama yang hadir kembali. 

Terasa begitu familiar, seperti kita pernah membuat janji bertemu di Surga dulu. 


Entahlah, bisikku. Pada diriku.

Jejak-Jejak Kita

"What am I gonna do when the best part of me was always you?
And what am I supposed to say when I'm all choked up and you're OK?
I'm falling to pieces..."


  
Ternyata, cerita ini tak memiliki akhir yang semestinya.
Kita pernah bersama, itu benar.
Kita pernah saling membagi cerita.
Kita pernah duduk bersama, saling bertatap muka.
Kita pernah membagi hati sembari saling menjaga.

Tapi kemudian, kamu memutuskan untuk pergi begitu saja.

Jejak-jejak kita, katamu hapuskan saja.

Tapi, bagaimana dengan jejak yang telah terpatri di kepala?

Bagaimana kabar hatiku tanpa kamu yang menempati?

Seperti apa malamku tanpa suaramu dalam sepi?

Apa yang harus kulakukan pada air mata ini?


Sementara kamu, kini baik-baik saja.

Kamu dengan cepat pulih, seperti aku bukan siapa-siapa.

Seperti semua cerita yang ada selama ini hanya dongeng belaka.

Seperti jejak-jejak kita tak pernah tertanam di kepala lalu hilang begitu saja.


Ini mungkin memang akhir yang semestinya. Aku yang hanya tak bisa menerima.

Hujan dan Pelangi

Kemeja kusut biru tua dan sepasang Converse yang telah termakan usia. Vespa berwarna toska yang mencolok mata. Hari ini, di bawah gerimis, dia membawa sebungkus gorengan di tangannya. Terlihat kepayahan dengan jaket kulit yang belum sepenuhnya terpakai dan motor yang tak kunjung hidup. Rambut setengah ikalnya terjatuh menutupi sebagian pipi yang tirus, hidung mancungnya jadi satu-satunya yang dapat kulihat dari wajah yang kini terasa begitu familiar. Begitu akrab. Seidentik pagi dengan telur mata sapi dan kopi, atau sore dengan secangkir teh hangat dan gurauan singkat. 

Hujan tak juga reda. Gerutuan di halte mulai terdengar, mendadak hujan jadi seperti pembunuh keji yang pantas dihujat sesukanya. Suara protes dan rencana yang tertunda, seseorang yang menunggu di suatu tempat, atau kejutan yang berantakan. Dasar, hujan.

Katanya, saat hujan adalah waktu baik untuk berdoa. Doa macam apa yang ingin kuminta. Aku minim pinta.

Si pria kurus ber-Vespa melewati halte tempat segala kejemuan berada. Seorang diri di jalanan yang sepi, dia menerobos hujan. Kurasa dia satu-satunya yang tak marah pada keadaan. Atau marah, tapi lebih ingin menerima. 

Aku memandangi punggungnya dari kejauhan. Tuhan, aku mau melebur jadi hujan. Lalu menjatuhi pundaknya yang ringkih, memeluknya. Apa perasaan ingin memeluk seseorang selalu muncul saat hujan datang? Atau cintaku terlalu cepat jatuh pada si pria kurus penakhluk hujan?

Ah, cepat sekali kepala dan hatiku sepakat kalau ini cinta.

Kemudian, hujan berhenti. Rintikan mulai reda, tetesan kecil mulai meninggalkan tempat-tempat yang mereka jatuhi. Mereka yang berteduh kembali memenuhi jalan, berbaur dengan udara lembab setelah hujan. Sementara aku masih berdiri di halte, sendiri, menyaksikan lahirnya pelangi. Semburat warna-warni yang melengkung di sisa-sisa gelap langit yang mulai membiru laut lagi.

Dari ujung jalan, kulihat si pria kurus yang entah kenapa kembali ke tempatnya semula pergi. Kupandangi punggungnya, terutama pundak tirusnya. Juga Converse tua dan Vespa toska. Dia berwarna. Ah benar, dia pelangi.

Tapi, persis seperti pelangi, dia tak lagi indah tanpa hujan.

Rasaku kemudian pergi. Secepat itu. Secepat hujan meluruhkan kenangan.

Yes, I'm a Blogger

"Awalnya, ritual menyeruput kopi hanya sebagai penyambung malam. Kemudian, saya tahu segelas kopi yang mengebul sudah begitu akrab, seperti teman dekat, seperti sahabat. Kemudian saya pertemukan lagi gelas kopi dengan blog ini. Tadaaa! Mereka ternyata cocok sekali."




Sore. Hujan. Kopi. Musik. Kenangan. Harapan.

Pan-dora adalah dunia saya. Disini saya menciptakan cerita saya sendiri. Tanpa drama kacangan, tanpa pengkhianatan, tanpa doa dan air mata yang tak sungguhan. Saya dan pembaca yang mengamini tiap tulisan disini dalam hati adalah satu-satunya hubungan yang terjadi. Hanya kami.

Karena hampir semua tulisan bertema sendu, saya kenyang dianggap galau. Lelah menjelaskan pada orang di sekitar kalau yang saya tulis selama ini nggak melulu soal curahan hati terlebih sakit hati. Saya hanya ingin menulis, saya butuh menulis, dan ingin membaginya ke semua orang. Entah tulisan itu kelak akan membuat mereka tersenyum, menangis, atau bahkan merenung. Saya ingin membagi apa yang ada di dalam kepala ke dalam kepala-kepala lain yang haus membaca.

Saya suka membuat tulisan manis.

Tulisan yang setelah selesai dibaca dapat membuat si pembaca menarik nafas dalam-dalam, tersenyum dalam-dalam, dan tanpa sadar menitikkan air mata. Entah bahagia, terharu, atau sedih sungguhan. Awalnya, saya menulis di blog karena ingin punya wadah. Nggak peduli ada yang membaca atau nggak, saya ingin menulis. Nggak peduli dibilang galau atau curhat. Saat saya selesai menyuarakan pikiran di blog, saya lega. Sekadar lega dan bahagia. Seperti baru saja menumpahkan keluh kesah pada teman dekat yang selalu ada. Selalu mendengarkan.

Tapi kemudian, saya mulai mencintai pembaca blog saya.

Di luar dugaan, reaksi yang kemudian saya dapatkan jadi beragam. Bagaimana mereka kemudian bisa memutuskan untuk bangkit dari masa lalu karena cerita pendek saya, bagaimana mereka bertutur tentang sakit hati yang kemudian pecah saat membaca secarik puisi disini, bagaimana mereka tersenyum lega karena isi pikiran yang nggak terucap sudah terwakili lewat barisan kata sederhana.

Kemudian, blog ini menjadi bagian penting hidup saya.

Bukan lagi sekadar wadah. Blog ini mendadak jadi sebuah bagian tak terpisahkan hingga saya mendapat julukan Mama Pan-dora. Lucu. Melihat semua ternyata bukan lagi tentang traffic perhari. Saya mendapatkan pembaca setia, teman-teman sesama penulis yang semangat juangnya luar biasa, peluang dan pengalaman lewat berbagai proyek dan lomba menulis secara berkala. 

Kedengarannya nggak penting? Saya malah baru merasa lebih hidup sekarang.
Karena Pan-dora, blog yang semua isinya adalah hidup saya.

Selamat Hari Blogger Nasional! ^^


"Kamu nggak akan pernah tahu apa yang bisa dilakukan setumpuk tulisan lama 
di dalam kotak yang bisa dibuka kapan saja. 
Disini, saya menemukan 'saya'." 



Lomba Memperingati Hari Blogger Nasional #MyLifeAsBlogger

Pagi

Pagi tak melulu tentang aroma kopi. 
Ada saat dimana pagi berisi aku yang terdiam sesak menatap langit-langit kamar. Merindukanmu, tapi tak bisa berbuat apapun. Menginginkanmu, tapi jalan cerita tak lagi sama. Mendoakanmu, tapi tak punya kuasa pada jarak yang tak juga menciut.

Pagi tak melulu tentang pelukan hangat.
Ada saat dimana pagi berisi aku yang meringkuk di keramaian. Tak kekurangan teman, tapi masih kesepian. Menatapi ruang kosong yang harusnya kau isi, tapi bagaimana cara membuatmu masuk saja aku tak mengerti. Aku lebih sering berpelukan dengan embun yang dingin.

Pagi tak melulu tentang awal baru.
Ada saat dimana pagi berisi aku yang bercengkrama dengan masa lalu. Mengerutkan kening, memeluk guling sembari berbisik ingin sekali jadi orang lain. Atau hilang ingatan sekalian. Semacam tak sabar pada masa depan sekaligus bosan pada pagi temaram.

Pagiku tak melulu tentang kamu. Pagiku hari ini berteman susu.

Kamu Jalan Buntu

Mungkin harusnya aku jadi detektif saja
Yang kerjanya menerka, menerka, menerka
Saat terhenti di jalan buntu, aku lalu mencarimu

Lalu, aku menunggu
Pertolonganmu, bantuanmu
Tapi kamu tak (akan) pernah datang
Membuatku yang menunggu tampak bak jalang

Buang-buang waktu
Kasihan hati rapuhku
Kasihan kelenjar air mataku

Rupanya, kamu si tersangka sialan
Yang kerjanya mengabaikan, mengabaikan, mengabaikan
Aku meminta cinta dari si pembuat patah hati terbaik di dunia
Terang saja tak ada yang menjemputku dari sesaknya jalan buntu
Kamu berdiri di tengah jalan, mendeklarasikan aku sebagai tawanan

Tak ada yang berani menolong meski aku melolong

Kamu jalan buntu sungguhan
Tanpa jalur tikus atau rambu balik kanan
Berapa lama lagi aku (harus) melakon jadi tahanan?


Harusnya kamu tahu, aku hanya ingin diperjuangkan...

Hari Lahir

Kacau sekali. Rencananya sore ini akan kuhabiskan sendiri di pojokan kafe sambil minum kopi sampai mual. Aku tidak suka kopi. Tapi kata orang, kopi kini lebih sering jadi minuman pelarian. Ada ratusan beban, kerjaan, dan deadline, teraduk di kopi yang hitam. Pekat. Seperti sekumpulan masalah yang tak kunjung usai. Tak kunjung menemukan titik temu hingga jemu. Sore ini aku ingin mengadu pada kopi tentang ulang tahunku yang rubuh seperti longsoran salju. 

Bahagia sekali. Lalu berduka sekali.

Tapi, di tengah sesi tanya jawabku dan kopi, kafe yang biasanya senyap mendadak ramai pengunjung. Mula-mula penuh di dekat pintu, kemudian bagian tengah kafe ikut terjajah, hingga aku yang berda di pojokan harus berbagi meja dengan pengunjung lain. Salahku memang. Aku memilih meja untuk empat orang. Tapi, peduli apa.

Apa pemilik kafe sungguhan mengizinkan privasi pengunjungnya terganggu hanya karena mengejar setoran? Aku sedang ingin menikmati waktu sendiri, Bung. Sedang tidak ingin beramah tamah dengan penghuni meja lain. Memang apa enaknya minum kopi bersama orang asing?

Di hadapanku ada seorang wanita kantoran berpakaian santai. Cantik. Rambutnya dicepol asal, beberapa helai menjatuhi pipinya yang mulus. Kuperhatikan wajahnya hanya dipoles bedak tipis dan pelembab bibir merah muda. Terlihat kacau dengan tumpukan kertas dan sampel majalah di tangan kirinya dengan pena di tangan kanannya. Matanya bolak-balik antara kertas dan ponsel yang layarnya tak kunjung terang.

Kontras dengan pemandangan sibuk si wanita penuh kertas, wanita berwajah kecil di sisi lain malah minim gerakan. Serba kecil. Secara fisik dan karakter, kutebak dia tak punya sesuatu yang benar-benar menonjol. Emosi dan ekspresi sama datar. Persis kakak perempuan tertuaku. Gerakan dan pandangannya terfokus pada gelas teh mint yang masih mengebul dan layar ponsel yang selalu terang. Selalu banyak notifikasi masuk tapi jarang dihiraukan.

Edan. Aku mendapat pemandangan serba bertolak belakang tepat di hadapan.

"Ada apa, sih?" tanyaku gerah saat pengunjung kafe mulai sesak tak wajar. Beberapa orang berdiri dengan mimik panik di depan kasir, meja-meja untuk empat orang mulai dipaksa muat untuk enam orang. 

"Ada kejutan ulang tahun, katanya," wanita penuh kertas buka suara. "Aku digusur dari singgasana di dekat kaca oleh teman-teman si empunya kejutan."

"Kejutan ulang tahun? Sesederhana ini?" kuamati suasana kafe yang tanpa dekorasi. Tanpa balon, tanpa umbul-umul, atau apapun yang berwarna-warni khas pesta ulang tahun. 

Sementara aku dan si wanita kertas hanya saling menatap, si pendiam bergumam. "Tapi sepertinya akan terjadi sesuatu yang besar."

Benar saja. Begitu kami memalingkan muka ke pintu masuk, seorang pria berjas rapi datang membawa sebuket mawar plus wajah tegang. Badannya terlalu kurus untuk memakai jas berpotongan lebar, tapi entah kenapa wajah gelisah-sumringahnya membungkus penampilan kikuk jadi antik. Lalu seperti yang sudah bisa ditebak, seorang wanita masuk seorang diri. Setengah bingung pada pemandangan di sekitarnya, dia bertanya tanpa suara pada si pria berjas. Dengan suara serak, si pria mengucapkan selamat ulang tahun. Seisi kafe termasuk si wanita tergelak, lalu mendadak senyap saat si pria mengeluarkan cincin dari kotak kecil di sakunya.

"Ini persiapan yang terburu-buru. Ide melamarmu hari ini tercetus begitu saja saat aku pulang kerja. Jas kebesaran ini punya atasanku. Tapi untungnya, cincin ini sudah kusiapkan dari jauh hari. Aku hanya menunggu nyali."

Kami semua menahan napas.

"Kamu mau menikah denganku?"

Random: Payudara Sebelum Lusa

Random 'Payudara Sebelum Lusa'


Ehem. Postingan kali ini isinya review dan promosi, ya.

Buku 'Random Payudara Sebelum Lusa' yang dibukukan dan diterbitkan secara indie oleh NulisBuku. Sebuah antologi cerpen yang berisi lima belas cerpen terpilih dari lomba yang diselenggarakan oleh Nulis Buku Club Institut Pertanian Bogor. Mengangkat tema yang nggak biasa, yaitu tentang kehidupan dari sisi gelap dan sulit, keadaan yang nggak semua orang pernah mengalami. Lagipula, siapa yang ingin menjalani hidup yang "tak biasa"?

Saya belum pernah mereview buku sebelumnya. Hahaha, maklum saya amatir. Belum tahu cara merewiew buku dengan benar, terlebih saya juga belum membaca semua cerpen secara keseluruhan. Agak absurd ya, mereview buku padahal hanya tahu garis besarnya saja. Jadi, saya hanya akan memberi pendapat pribadi mengenai buku ini dan pesan di dalamnya. Untuk yang ingin membaca review lebih lengkap, silahkan buka link blog punya Mbak Nina (@noichil) ini, ya: [Review] Random: Payudara Sebelum Lusa

Cerita-cerita di buku ini bakal membuatmu bersyukur dengan hidup yang normal. Dengan masalah yang biasa dan orang-orang yang selalu siap mengatakan kalau semua akan baik-baik saja. Tokoh-tokoh di buku ini tertatih di jalan hidup yang tidak mereka pilih. Misalnya di cerpen saya 'Matahari Senja di Minggu Pagi', seorang gadis yang ditakdirkan mencintai sesamanya, harus menghadapi pergolakan batin dan pengorbanan luar biasa untuk gadis yang cintainya. Bukan hanya hati yang setiap saat harus siap patah karena kekasihnya adalah gadis normal yang mencintai pria, tapi ia juga harus menyerahkan miliknya yang paling hakiki sebagai seorang wanita. Demi cinta yang tak bisa berjalan biasa saja. Dan beginilah semua cerita di antologi ini bermuara. Fenomena yang terjadi di sekitar kita, tapi tak semua orang sanggup menanggungnya.

Demikianlah review singkat (nggak jelas) saya tentang 'Random: Payudara Sebelum Lusa'. Sama seperti Mbak Nina, meski buku ini diterbitkan secara indie, saya tetap bangga jadi bagian di dalamnya. Mereka semua keren, saya amatir yang masih harus banyak belajar.

Kalau ingin memesan bisa dengan mengirimkan email berisi nama, alamat, nomor telepon, judul dan jumlah buku yang akan dipesan ke admin@nulisbuku.com. Omong-omong, di bawah ini ada beberapa buku antologi cerpen NulisBuku yang memuat tulisan saya. Yang gambarnya paling besar di bawah adalah buku 'Dear Mama' yang berisi surat cinta untuk ibu tercinta. Kalau yang ini, alhamdulillah sudah tersedia di Gramedia. Berkat doa Ibu kali, ya. Hahaha.

Selamat membaca! ^^

"Saya menulis karena saya butuh menulis, nyaris seperti saya butuh udara."

14 Juli, 23 Tahun Lalu


14 Juli 2013

Harus mengucap syukur berapa kali hingga perasaan lega dan bahagia ini tersampaikan tanpa cela. Harus mengucap syukur berapa kali hingga perasaan hangat ini habis dan tak lagi meluap di hati. Hari ini, Ayah dan Ibu saya merayakan ulang tahun pernikahan yang ke-23. Perasaan saya sebagai anak pertama? Bangga.

Ayah dan Ibu saya sangat berbeda, dengan lucunya melewati puluhan tahun bersama. Ayah yang orang Palembang dan berperangai keras bertemu dengan Ibu yang orang Sunda dan berperangai halus. Dari intonasi bicara saja, mereka berdua beda bukan main. Ayah saya tegas tapi santai, Ibu saya lembut tapi panikan. Ibu yang jarang sekali marah bertemu dengan Ayah yang tatapannya saja seperti sedang marah. Hahaha. Tapi, kalau ada masalah, Ayah justru lebih santai dan tenang sementara Ibu panik dan khawatiran. Waktu saya kehilangan dompet saja, Ayah malah tertawa sementara Ibu mengomeli kecerobohan saya.

Ayah yang luar biasa dalam berjuang, Ibu yang luar biasa dalam berdoa pada Tuhan. Ayah yang selalu mengakui betapa keras kepalanya Ibu, yang tetap nggak mau mengaku saat dibilang keras kepala. Ibu yang sabar dan seperti nggak tahu seperti apa caranya marah, Ibu yang telaten sekali mengerjakan semua pekerjaan rumah.

Terlalu berbeda. Sampai saya kadang heran kenapa mereka bisa bersama. Tapi pada akhirnya, saya tahu ternyata mereka magnet kuat sungguhan. Yang bermuatan berbeda tapi tarik menariknya luar biasa hingga tak lagi bisa dipisahkan. Nanti, yang memisahkan semoga hanya umur dari Tuhan. Semoga dunia tak lagi berkuasa atas cinta dan keyakinan mereka.

Senang sekali rasanya 23 tahun lalu mereka memutuskan untuk menghabiskan hidup bersama. Membangun semuanya bersama. Membuat bangga kami, keempat anak mereka.

Selamat merayakan ulang tahun pernikahan, Ayah dan Ibu.

Tertanda, anak pertama.


Tema: syukur. #ngabubuwrite day 5.

Doa


Aku penasaran
Seperti apa bentuk doa yang beterbangan?
Yang saat diucapkan, mereka beriringan menuju Tuhan.
Benarkah mereka menuju Tuhan? Lalu kemudian mereka diapakan?  

Aku penasaran
Apa Tuhan sungguhan mendengarkan? Tidakkah Ia juga bisa mengabaikan?
Apa doa-doaku kemudian hanya luruh melarut di hujan?
Yang saat menyentuh tanah, mereka lenyap seperti termakan.

Kalau iya, harusnya bisa kulihat di tanah namamu berserakan.


Tema: Doa. #ngabubuwrite day 4.

Pertama Kalinya


Pertama kalinya, aku tahu kalau air hujan berbau rindu. 

Rindu hujan bertemu tanah atau rindu sepasang kekasih yang berjauhan, aku tak lagi tahu. 
Yang kutahu, rinduku sendiri tak kunjung sampai padamu yang puluhan kilometer jauhnya. 
Jutaan air yang menjatuhi tanah, tak pernah menyampaikan pesanmu. 
Tetesan air yang menjatuhi kaca jendela, tak pernah membisikkan namamu.

Pertama kalinya, aku tahu siapa yang sungguhan kuinginkan.

Pertama kalinya, aku tahu kamu tak suka dirindukan.

  
Tema: Pertama kalinya. #ngabubuwrite day 1.