Bahagia

Disinilah saya sekarang. Tiba-tiba ingin sekali menulis sesuatu tanpa tahu tema. Berarti postingan kali ini akan tentang saya, yang sekarang sedang berada di bawah langit Yogyakarta. Malam yang terlalu larut untuk menulis sesuatu di akhir perjalanan panjang melelahkan di bus, tapi belum terlambat untuk bilang kalau saya bahagia.

Apa yang tepatnya membuat saya bahagia akan tetap jadi rahasia. Tapi, gejolak yang saya rasakan lebih pada euforia yang abstrak. Katakanlah saat dimana kau merasa begitu senang hingga meleleh dalam hati, atas sesuatu yang bahkan tak bisa kau jelaskan.

Banyak hal terjadi, baik dan buruk. Ada yang baiknya membuat hidup sungguhan hidup, ada yang buruknya menjepit jalan nafas sendiri. Tapi sampai di titik ini, saya masih belum kapok jadi saya. Masih sering tetiba tersenyum karena syukur yang tak tergambar, masih sering takut membayangkan seandainya ditakdirkan lahir bukan jadi saya. Ini sebaik-baiknya hidup, dengan baik dan buruknya keadaan. Seindahnya hidup dengan pilihan kejutan, pilihan tujuan. 

Saya melihat secarik foto. Dan langsung tahu, inilah tujuan.

Perasaan yang bahkan aksara sulit merangkainya. Yang saat akan dijelaskan mungkin hanya akan berbuah patahan kata tak jelas, yang meluap begitu rupa tanpa bisa ditahan lajunya. Di titik ini, Tuhan sungguhan baik. Ah, ralat. Tuhan memang selalu baik, dan akan selalu baik. Mungkin sejak saya berhenti menyalahkan keadaan, semua terasa baik-baik saja. Sungguh. Bersyukur dengan saat ini adalah hadiah untuk diri sendiri. 

Sayang sekali saya sudah terlalu lelah untuk menjabarkan lebih banyak. Lagipula, euforia pribadi semacam ini terlalu hakiki. Harusnya dirasakan oleh tiap pribadi. Semoga. Karena, menerima dan bahagia dengan rencana Tuhan adalah bagian tersulit sekaligus terbaik.

Ah, saya yang awam pengalaman hidup ini tahu apa. 

Yang saya tahu, masing-masing kita berhak dan bisa bahagia. Bahkan dengan cara yang paling sederhana. Seperti saya sekarang, yang dibahagiakan oleh secarik foto biasa. 

Selamat menemukan bahagia.

Aku Ingin Pulang


Sore itu, acara duduk santai sendiriku terganggu. Seorang wanita paruh paya, tergopoh membawa dus besar yang begitu penuh dengan barang. Aku bangkit untuk membantunya meletakkan dus di bawah pohon sementara ia duduk dengan lega di samping tempat dudukku. Kursi kayu tua yang biasanya kududuki sendirian, kini harus kubagi dua. Belum lagi tampaknya wanita ini ingin membagi cerita.

"Aku pergi dari rumah," katanya tiba-tiba. Sambil menyesap kopi yang telah dingin, aku berusaha menyembunyikan ekspresi kaget yang muncul. Ia melanjutkan. "Suamiku pergi bersama wanita lain. Padahal sudah tua begitu, bukannya mencari hari tua yang tenang malah mencari masalah. Malah mengikuti nafsu. Memangnya aku kurang apa?"

Hatiku terenyuh. Kalau bukan karena gelas kopi yang kemudian kugigit kuat, mungkin bibir ini sudah berdarah karena kugigit dengan gemas. Wanita ini sama denganku. Aku pun pergi dari rumah, meninggalkan suamiku dan semua hal menyiksa itu. Tak bisa kukatakan siapa yang lebih beruntung, aku juga berada dalam posisi paling tak diinginkan.

"Kupikir, dia sungguhan pria yang akan menemaniku sampai akhir. Bajingan itu. Keparat yang menyiakan puluhan tahun pernikahan, membuang semua waktuku. Dan semua yang kuberikan ternyata masih belum cukup, dia menukarnya dengan wanita yang belum tentu akan mencintainya sampai mati."

Aku mengangguk pelan, nyaris tak terlihat mata. Tidak, suamiku tidak mengkhianatiku. Akulah yang mengkhianatinya. Aku meninggalkannya dengan ketakutan besar bahwa dia tak akan lagi bisa mencintaiku selamanya. Sesuatu terjadi, pernikahan tujuh tahun kami goyang, dan kuputuskan untuk jadi yang pertama menyerah dan angkat kaki. 

"Tapi, aku mencintainya..."

Hanya Kebetulan

Ini hari terkacau sepanjang hidup. Ketinggalan pesawat, harus membeli tiket baru dengan penerbangan yang masih empat jam lagi, tanpa sepeser pun uang untuk sekadar beli minum. Kemarin sore, tasku dijambret dengan keji oleh keparat yang kehabisan akal untuk mencari kerja halal. Bukan uang yang kupermasalahkan, tapi semua tetek bengek di dalam tas dan dompet yang ruwet luar biasa untuk diurus ulang. E-ktp, kartu debit, kartu kredit, buku tabungan, kartu nama semua kolega penting, beberapa catatan kecil dari keluarga dan sahabat saat ulang tahunku yang ke-19. Termasuk dompet putih pupus itu, pemberian ayahku di ulang tahun yang sama. Paket dompet dan isinya yang sudah bersamaku selama 7 tahun, lenyap dan kini entah dibuang kemana. 

Kemarin sore. Baru saat itu aku mengenal rasa ingin melenyapkan hidup seseorang.

Untung ponsel selalu kuselipkan di saku celana hingga tak ikut bergabung dengan dompet dan tas diluar sana. Baru saja kukeluarkan powerbank dari tas untuk memberi transfusi hidup pada ponsel yang sekarat, seorang pria menghambur ke kursi di sebelahku dengan terengah-engah.

"Aku boleh pinjam powerbank-mu, nggak? Ini penting sekali."

Hei, dia menguntitku atau apa. Baru beberapa detik benda ini melihat dunia, dia langsung menghampiriku dengan kecepatan setan, seperti sudah mengantisipasi semua gerakanku. Kukerutkan dahi sambil menarik powerbank menjauh dari raihan tangannya.

"Aku juga sedang butuh, tahu."

"Istriku akan melahirkan, aku mesti menghubunginya sekarang," dia memelas.

Belum sempat berpikir apa-apa, tahu-tahu powerbank-ku sudah berpindah tangan, disambut muka sumringahnya yang mekar dengan begitu lugu. Ternyata, masih ada senyum semacam itu. Kupikir spesies pria yang mahir tersenyum tulus sudah punah di muka semesta. Pria-pria yang kukenal mulai pandai memasang senyum palsu untuk melapisi omong kosong mereka. Senang rasanya tahu masih ada yang mampu memproduksi senyum sejuta watt.

Dan lagi, dia ternyata calon ayah muda. Aku suka pria yang kelihatan bisa jadi ayah yang baik.

Selamat pagi, Minggu Junior!

Kupikir, suami yang sepanjang hari tersenyum hanya sebuah dongeng. Kupikir, suami yang bisa membaca hati hanya sebuah cerita indah yang tidak pernah terwujud. Kupikir, suami yang polos dan tak tergerus dunia hanya sebuah harapan terlampau muluk. Ternyata apa-apa yang kupikir sungguhan jadi nyata.

"Selamat pagi, Minggu!"

Minggu menengok pelan padaku yang masih bergelung di dalam selimut. Cahaya matahari tumpah di wajahnya hingga ia harus menyerngit untuk bisa melihatku dengan jelas. "Hai," sapanya. "Jangan berdiri di depan pintu begitu, ayo bantu aku menanam bunga matahari."

"Untuk apa, sih?" kulempar selimut ke sofa lalu berjingkat ke sisi Minggu yang sedang berjongkok menanam bibit bunga matahari. Minggu memang cekatan dalam semua hal, tapi menanam bunga adalah hal yang baru kulihat sejak kami menikah dua tahun lalu. 

"Aku semalam bermimpi melihat anak-anak main di halaman belakang sambil tertawa geli, kelihatan bahagia sekali," Minggu bergidik, sepertinya merinding merambat di tengkuknya. "Begitu bangun, hatiku lumer. Rasanya begitu hangat, kamu tahu, anak-anak kita berlarian memanggil nama kita dengan pipi memerah dan senyum lebar."

Hatiku ikut hangat mendengarnya bicara begitu polos. "Dan kamu melihat bunga matahari?"

"Ya," dia mengangguk. "Aku melihat mereka dari sela batang-batang bunga matahari. Nggak terlihat jelas memang, tapi aku bisa mendengar suara mereka. Aku bahkan mendengar salah satu dari mereka memanggilku, 'Ayah!' lho!" Minggu tergelak, wajahnya makin merah. "Rasanya aku ingin menyahut panggilan itu, tapi aku malah terbangun."

"Dan karena itulah kamu langsung menanam bibit matahari yang sudah dua minggu di lemari ini?" 

"Kupikir, inilah saatnya. Rasanya ini tanda-tanda Tuhan untuk bilang kalau sudah saatnya kita memiliki 'mereka' sekarang." Minggu menatapku. "Kamu nggak keberatan kita nggak akan bisa menikmati Hari Minggu berduaan lagi, kan?"

"Aku keberatan melewatkan Hari Minggu bersama Minggu junior yang pasti lucu-lucu dan hebat itu?" kurangkul tangannya dengan cepat. "Tenang saja, Sayang. Melahirkan anak-anakmu adalah tujuan hidupku, kok."

Minggu tertawa, tawa geli seperti anak kecil yang perutnya dikelitik dagu sang ayah. Ini pertama kalinya kulihat suamiku menginginkan sesuatu dengan begitu menggebu, seperti hidupnya rela diserahkan asal keinginannya terwujud. Ini pasti Minggu paling membahagiakan buat Minggu-ku.

"Selamat pagi, Minggu junior!" aku dan Minggu berbisik bersamaan, pada bibit bunga matahari yang baru saja kami tanam.

Minggu (cerita Minggu sebelumnya)

Cinta yang Sungguhan Cinta

"Al, kamu masih percaya orang baik?" tanya Biru disela acara tiup lilin perayaan hari jadi yang ke-dua bulan. Aku sudah tidak heran dengan pertanyaan semacam itu sekarang. Biru hobi sekali membahas sesuatu yang diluar topik obrolan biasa, dia selalu tertarik membahas sesuatu yang berat dan membawanya padaku sebagai obrolan ringan. Aku balik bertanya padanya.

"Memangnya menurutmu orang baik sudah habis, ya?"

"Kurasa semua orang sekarang baik untuk berbagai macam tujuan. Berani taruhan, hanya sedikit yang sungguhan baik. Jangankan teman, sahabat juga bisa mengkhianati kita. Rasanya sulit menemukan orang yang sungguhan tulus tanpa embel-embel dumel dalam hati dan otaknya."

"Kita sedang krisis orang baik?"

"Orang baik yang sungguhan baik," ralat Biru sambil tersenyum simpul padaku. Senyum yang serta merta membuat dengkulku lemas, seperti engselnya mendadak meleleh. Biru punya senyum paling manis sedunia.

"Menurutmu, masih ada nggak orang yang mencintai orang lain tanpa embel-embel?" tanyaku saat Biru mulai asyik mengepakkan kaki telanjangnya di air danau yang hijau.

"Orang mencintai yang sungguhan mencintai?" ia bergumam. "Aku."

"Bagaimana aku tahu kalau kamu sungguhan mencintai tanpa embel-embel?"

"Aku menunggumu entah berapa lama di tepi dermaga ini, begitu yakin kalau aku akan bertemu jodoh di sini dan menunggu seperti tanpa ragu sedikitpun. Bagaimana rupa wanita itu, bagaimana sifatnya, bagaimana reaksinya kelak kalau kuungkapkan tujuanku di sini. Semua masih tanda tanya, kan?"

Aku mengangguk khusuk.

"Aku, sedari awal sudah sungguhan mencintaimu, mencintai kehadiranmu yang bahkan belum terwujud itu. Jangan tanya seperti apa bahagiaku saat kamu datang dan memberitahuku kalau aku mungkin adalah orang tepat itu. Aku hampir gila, tahu!"

Aku mengangguk lagi, kali ini dengan titik air mata di pelupuk.

"Ah, aku sudah nggak tahu lagi!" teriakku malu sambil menutup muka dengan kedua belah tangan. Rasanya tidak pernah begitu dicintai seperti ini. Rasanya apa yang dikatakan Biru bisa kutelan bulat-bulat tanpa harus kupahami. Rasanya seperti dijatuhi air hangat dari ubun-ubun kepala, yang panasnya meresapi pori lalu mengaliri darah dan membanjiri hati.

"Al, kita menikah, yuk?"

"Hah?"

Biru tertawa kecil, dirusaknya rambutku dengan satu tangan sambil menaik-turunkan alis dengan jahil. Pipiku terasa penuh, diburu oleh aliran darah yang menyembur keras. Kutangkap tangannya yang berada di kepalaku sambil mengangguk cepat.

"Yuk!"