Untuk Kau Saja

Lagi-lagi.

Dia terduduk sendiri. Tak perlu ditanya sedang apa, sudah pasti dia sedang menunggumu. Kehadiran atau kenanganmu, entah mana yang lebih menggebu dalam hatinya, semesta bahkan tak tahu. Mungkin saja dia sedang mengingat percakapan kecil kalian dulu, saat sekadar mengingatkan makan saja bisa membuat sebahagia itu. Mungkin saja dia sedang mengingat kebersamaan kalian dulu, saat lima menit saja bisa membuat dia tersenyum tak tentu.

Yang semesta tahu, dia merindukanmu.

Dia ingin cerita kalian tak berakhir begitu saja. Atau tak usah ada cerita sekalian kalau akhirnya harus berairmata. Dia ingin hadirmu saja. Sekarang, detik ini, di sisinya saja. Tak perlu bicara apa-apa, tak perlu memaksakan basa-basi kata. Cukup berada di sebelahnya saja. 

Rindu yang ada di hatinya, sudah sebegitunya.

Hingga dia tak tahu harus berbuat apa. Hingga logikanya buta.

Kalau semesta menawarinya kesempatan hidup kedua, dia masih ingin jadi milikmu. Atau setidaknya, pernah dimilikimu. Memang belum sembuh semua luka, tapi apalah luka kalau dia bahkan kini sekarat karena kau tinggalkan. Luka-luka yang kau ciptakan, tak cukup membuatnya jengah lalu ingin melupakan. Entahlah, semesta juga tak lagi paham.

Dia ingin kau kembali, tapi apa nanti kata nurani.

Jadi, dia kini hanya ingin kau ada. Tak perlu jadi miliknya. 

Karena kau tahu, ada cinta-cinta yang tak kenal luka yang menganga. Ada cinta yang saking besarnya, bisa menyebrangkan doa hingga nirwana. Ada cinta yang bahkan semesta saja tak mengerti jalan kerjanya.  Ada cinta yang meski telah babak belur, masih menginginkan satu orang saja.

Ada cinta di hatinya, untuk kau saja.

Aku (Akhirnya) Bertemu Cinta

Disinilah aku berada. Di dunia sesungguhnya, tempat dimana yang hidup akan bermuara. Lucunya, aku tak bisa menemui satu pun orang yang kukenal disini. Mungkin lebih baik langsung kuminta  agar dipertemukan dengan yang kukenal saja. Keluarga di dunia, teman-teman, aku mau mereka semua. Tapi tunggu, aku bisa jalan-jalan sendiri dulu. 

Kemudian, aku melihat dia.

Pria yang hadirnya terasa familiar, tapi tak bisa kuingat dengan jelas namanya. Dia sedang duduk bersama beberapa anak kecil, pemandangan yang juga familiar, tapi ingatan burukku tak dapat mengingat lebih baik. Sampai akhirnya dia melihat ke arahku.

Mata kecilnya membesar. Lalu dia menyebut namaku.

Aku terkesiap. Wah, dia kenal aku rupanya.

"Aku satu klub denganmu. Si cowok yang suka datang terlambat. Ingat?"

"Ah! Kamu pernah membantuku membuat tugas presentasi!"

"Dan tugas makalah,"

"Oh iya, itu juga," aku tertunduk malu. Dia banyak membantuku tapi mengingat namanya saja aku tak mampu. Dasar wanita dungu.

"Oh ya, terima kasih sudah melayatku."

"Kamu dan rombonganmu pantas dapat penghormatan terakhir."

"Kaki-kaki ini masih mengingat tanah basah terakhir yang kupijak di gunung itu. Kepala ini juga, masih mengingat rasanya berbenturan dengan batu-batu di dasar jurang," dia tertawa kecil. "Tapi, sebelum tak bisa melihat apapun lagi, aku sempat melihat matahari terbit. Sekilas."

"Setidaknya Tuhan tak membiarkanmu pergi di dasar jurang yang gelap."

Dia mengangguk. Kemudian ada jeda panjang yang kami nikmati bersama. 

"Omong-omong, kenapa aku bisa bertemu denganmu, ya?"

"Memangnya kenapa?"

"Aku belum bertemu siapa-siapa di sini. Maksudku, kenapa kamu jadi orang pertama yang kutemui saat aku baru sampai di sini? Kenapa bukan keluargaku?"

"Karena aku yang meminta."

"Apa?"

"Aku meminta pada Tuhan untuk membuatmu melangkah ke sini."

"Apa? Kenapa?"

"Karena aku ingin bertemu denganmu, tentu saja."

"Kenapa?" suaraku makin mengecil. Bingung.

"Tak sadarkah kamu kalau selama ini aku jatuh cinta..."

Hening beberapa saat, aku menahan napas.

... padamu?" sambungnya.