Wanita
dan pilihan-pilihan besar dalam hidupnya. Tak habis-habis dibahas, tak
habis-habis diperdebatkan. Lucunya, masih banyak yang membuang-buang energi
untuk ngotot mana yang lebih mulia, ibu rumah tangga atau ibu pekerja. Mirisnya
lagi, yang saling merendahkan satu sama lain justru sesama wanita. Ibu rumah
tangga merasa mereka paling mulia karena mengurus suami dan anak-anak, ibu
pekerja merasa paling mulia karena harus punya kekuatan lebih untuk membagi
waktu antara bekerja dan urusan rumah tangga.
Banyak
ibu rumah tangga yang punya gelar sarjana, tapi memutuskan untuk menyimpan
gelarnya sebagai bekal, lalu berdiam di rumah saja. Dan seringnya, lingkungan
mencemoohnya dengan kata-kata: "Untuk apa punya gelar sarjana kalau
akhirnya jadi ibu rumah tangga, bolak-balik kasur dan dapur." Dan
mereka-mereka ini, seringnya hanya berkomentar tanpa tahu betapa susahnya
mengambil keputusan untuk sepenuh waktu berada di rumah sementara orang lain
sibuk mencapai ini itu, tanpa tahu bahwa justru berada di rumah adalah hal yang
membuat mereka bahagia.
Banyak
ibu pekerja yang meski tak punya gelar, memutuskan untuk bekerja di luar karena
ingin memenuhi kebutuhan yang tak tertutupi, tak tercukupi. Atau memang bekerja
karena ingin, karena bekerja membuat mereka bahagia, karena bekerja membuat
mereka tetap hidup. Dan seringnya, lingkungan mencemoohnya dengan kata-kata: "Sibuk
kerja tapi anak dan suami tak terurus. Untuk apa mengumpulkan harta kalau rumah
tangga jadi taruhan." Dan mereka-mereka ini, seringnya hanya berkomentar
tanpa tahu betapa susahnya menyeimbangkan waktu, tanpa tahu bahwa rumah tangga
yang mereka cemooh sebenarnya baik-baik saja.
Kenapa
harus sibuk memilih mana yang lebih mulia? Kenapa kita, wanita, tidak saling
menerima bahwa tiap-tiap pilihan pastilah sudah melewati banyak pertimbangan.
Bahwa tiap ibu yang memutuskan untuk berada di rumah atau bekerja di luar rumah
adalah sama-sama seorang ibu yang sedang berjuang.
Kenapa
kita tidak fokus dengan memerdekakan ibu rumah tangga pun ibu pekerja dari
pilihan-pilihan yang mereka buat hingga mereka bisa merasa bebas memilih tanpa takut
dihakimi oleh lingkungan yang seringnya bahkan tidak tahu keadaan yang
sebenarnya. Jangan saling merendahkan, jangan saling merasa paling suci di
antara semuanya.
Tengoklah
ke dalam diri sendiri. Dikomentari atas keputusan hidup yang kita pilih, oleh
orang lain yang seringnya hanya sok tahu dan tak paham keadaaan sungguhlah
tidak menyenangkan. Selain pilihan mereka bukanlah urusanmu, juga karena kamu
tidak tahu efek jangka pendek dan panjang yang mereka rasakan dan tanggung.
- - -
- - -
Saya
sendiri dibesarkan oleh seorang ibu rumah tangga yang tidak bekerja. Seorang
ibu yang selalu memastikan kebutuhan suami dan anak-anaknya tercukupi, seorang
ibu yang hampir semua teman wanitanya adalah istri dari teman kantor suaminya,
seorang ibu yang tidak punya gelar tinggi. Tetapi, saya tidak pernah mendengar
ibu saya mencemooh teman-temannya yang memutuskan untuk jadi ibu pekerja. Saya
justru dibesarkan dengan pemahaman bahwa wanita harus punya bekal (dalam bentuk
apapun) dan harus bahagia dengan keputusan-keputusan hidupnya. Seorang ibu,
entah ibu rumah tangga atau ibu pekerja, tak boleh merasa tertekan dengan
pilihan-pilihan hidupnya agar mereka bisa bertanggung jawab dan berjuang dengan
leluasa.
Kini saya menjadi seorang ibu rumah tangga. Setelah menikah, saya memutuskan untuk tidak bekerja (meski sempat mengambil beberapa pekerjaan dari rumah). Tidak ada batasan dan larangan dalam rumah tangga yang saya bangun, ini sepenuhnya pilihan pribadi. Saya tidak merasa sedang mengorbankan masa depan karena bagi saya sekarang, suami saya adalah masa depan. Saya tidak merasa lemah, tidak merasa kalah, pun tidak merasa kehilangan kuasa atas diri saya sendiri karena saya memutuskan untuk lebih banyak berdiam di rumah. Saat sepenuhnya jadi ibu rumah tangga, saya jadi banyak belajar soal pengaturan keuangan. Saya jadi punya waktu untuk belajar memasak makanan yang sebelumnya tidak pernah saya masak, saat mengetik tulisan ini pun saya sedang menunggu adonan roti manis saya mengembang.
Saya juga tidak merasa gelar Sarjana Desain Interior saya jadi sia-sia karena bekal apapun bentuknya tetaplah bekal yang berguna meski kini tak banyak saya gunakan. Kalau dulu saya sering mengambil kerjaan desain, sekarang saya lebih sering jadi mesin tanya jawab (calon) mahasiswa Desain Interior. Sekarang pekerjaan saya ya memastikan rumah rapi, baju dan handuk bersih selalu tersedia, ada makanan hangat saat suami saya pulang kerja, merawat tanaman dan ikan-ikan peliharaan. Dulu saya pikir kalau gak kerja kantoran saya bakal kehilangan "nyawa", ternyata begini pun membuat saya bahagia. Saya yakin ini karena nilai dan tujuan hidup saya juga sudah berbeda.
Kini saya menjadi seorang ibu rumah tangga. Setelah menikah, saya memutuskan untuk tidak bekerja (meski sempat mengambil beberapa pekerjaan dari rumah). Tidak ada batasan dan larangan dalam rumah tangga yang saya bangun, ini sepenuhnya pilihan pribadi. Saya tidak merasa sedang mengorbankan masa depan karena bagi saya sekarang, suami saya adalah masa depan. Saya tidak merasa lemah, tidak merasa kalah, pun tidak merasa kehilangan kuasa atas diri saya sendiri karena saya memutuskan untuk lebih banyak berdiam di rumah. Saat sepenuhnya jadi ibu rumah tangga, saya jadi banyak belajar soal pengaturan keuangan. Saya jadi punya waktu untuk belajar memasak makanan yang sebelumnya tidak pernah saya masak, saat mengetik tulisan ini pun saya sedang menunggu adonan roti manis saya mengembang.
Saya juga tidak merasa gelar Sarjana Desain Interior saya jadi sia-sia karena bekal apapun bentuknya tetaplah bekal yang berguna meski kini tak banyak saya gunakan. Kalau dulu saya sering mengambil kerjaan desain, sekarang saya lebih sering jadi mesin tanya jawab (calon) mahasiswa Desain Interior. Sekarang pekerjaan saya ya memastikan rumah rapi, baju dan handuk bersih selalu tersedia, ada makanan hangat saat suami saya pulang kerja, merawat tanaman dan ikan-ikan peliharaan. Dulu saya pikir kalau gak kerja kantoran saya bakal kehilangan "nyawa", ternyata begini pun membuat saya bahagia. Saya yakin ini karena nilai dan tujuan hidup saya juga sudah berbeda.
Wanita, pilihlah pasangan yang kelak membebaskanmu dalam berpikir dan mengambil keputusan. Pasangan yang menghargai hak-hakmu sebagai wanita yang pemikiran-pemikirannya patut didengarkan dan dipertimbangkan. Pasangan yang paham bahwa kebahagiaanmu adalah yang utama, terlepas dari kelak kamu ingin jadi ibu rumah tangga atau ibu pekerja. Pasangan yang menguatkan saat lingkungan memilih untuk menghakimi.
- - -
- - -
Nilai-nilai hidup yang kita pegang selama ini, boleh jadi berbeda dengan nilai-nilai hidup yang dipegang dan dijalankan oleh orang lain. Nilai-nilai yang meski tak sama, tak berarti satu benar dan satu salah. Nilai-nilai yang ditentukan oleh tujuan dan kesepakatan rumah tangga masing-masing.
Kita, wanita, harusnya saling mendukung dan menguatkan. Tak ada takaran lebih mulia, tak ada ukuran lebih suci mana. Ayo saling menghargai pilihan-pilihan yang kita buat hingga wanita sampai di masa bisa saling bertukar cerita tanpa satu sama lain merasa terintimidasi atau direndahkan. Ayo saling menghargai pilihan-pilihan yang kita buat hingga wanita sampai di masa bebas memilih apapun yang menurut mereka baik untuk dirinya dan keluarganya. Kita tak memijak sepatu mereka, tak berjalan dengan sepatu yang selama ini mereka kenakan sehingga tak tahu perjalanan seperti apa yang sedang dan telah mereka lalui.
Berhenti berkomentar jahat, berhenti mencampuri pilihan dan
urusan yang bukan bagianmu. Kita, wanita, mari saling mengaminkan doa-doa baik,
entah itu datangnya dari ibu rumah tangga atau ibu pekerja. Kita sudah tahu
bahwa surga ada di bawah telapak kaki ibu. Dan ibu rumah tangga atau ibu
pekerja, mereka toh sama-sama seorang
ibu. Merdekalah, wanita.
- - -
No comments:
Post a Comment