Aku (Membuang) Masa Lalumu

(Seri Rama & Lana)


“Oke. Laporan keuangan ini kacau.”

Lana mengamati langit-langit kamarnya yang kecoklatan. Ada dua ekor cicak di sana. Entah sedang mencoba berteman atau memikirkan menu makan siang. Atau mungkin tak setenang yang terlihat, mereka sedang mengambil ancang-ancang untuk saling menyerang. Seperti air. Seperti manusia. Kau tak bisa menilai interaksi yang terjadi hanya lewat mata. Rasanya akhir-akhir ini manusia kehilangan naluri untuk saling membaca lewat mata, pikirnya.

Sembari menunggu kiriman laporan keuangan perusahaan yang baru, dia mengecek beberapa surel yang masuk. Tujuh dari kantor dan satu dari kekasihnya. Pesan dari kantor rata-rata berisi keputusasaan dari beberapa rekan kantornya yang butuh bantuan dan memintanya segera kembali ke kantor plus ucapan cepat sembuh yang terasa mendesak bahkan hanya lewat ketikan. Lana tertawa, setengah meringis saat luka bekas operasi di perutnya terasa perih.

“Tumornya sudah diangkat. Semoga kau cepat pulih.”

Tidak, dokter, aku tak ingin pulih dengan cepat, katanya saat itu. Dokter yang menanganinya hanya tertawa, menanggapi lelucon yang padahal sungguhan. Lana, si gadis super sibuk yang terkenal gila kerja, menginginkan istirahat panjang untuk dirinya. Untuk pikiran yang kerjanya bahkan lebih payah dari badan. Istirahat dari apa tepatnya, dia sendiri tak yakin. Seluruh partikel yang ada di tubuhnya, sel terkecil sekalipun, menuntut jeda yang tak sebentar.

Rama, kekasihnya, masuk ke kamar di saat yang begitu tepat.

“Apa yang kuinginkan?” tanyanya lemah.

“Aku baru saja mengecup keningmu. Jadi, apa yang kauinginkan? Aku mengecup pipimu? Oh, apa boleh aku mengecup yang di bawah hidung?” canda Rama.

“Aku… tak merasa hidup.”

Rama tercenung. Pertanyaan dan pernyataan itu serius rupanya.

“Boleh aku menebak apa yang mungkin kauinginkan?”

Lana mengangguk. Rama mulai menyebutkan semua kemungkinan yang diinginkan kekasihnya. Mulai dari hal konyol seperti sepatu atau tas sampai uang pensiun yang cukup untuk membeli sebuah apartemen di Manhattan. Bertemu Bradley Cooper, keliling New Zealand seorang diri, hingga selfie bersama Pangeran Harry. Semua. Dan tak satupun yang membuat puas Lana. Gadis itu hanya merengut dengan alisnya yang bertaut.

Rama mencoba usaha terakhirnya. “Aku?”

Ekspresi Lana masih sama. Menatap hampa mata Rama, yang kini semakin bingung dibuatnya. Rama baru saja akan menyuruhnya istirahat saat tiba-tiba Lana meledak dalam tangis yang keras. Kekasihnya menangis begitu saja, dengan suara yang sama sekali tak ditahan. 

Seperti raungan anak kecil yang tak dibelikan gulali oleh ayahnya.

Rama terdiam. Ini pertama kalinya Lana menangis seperti bayi yang sedang tumbuh gigi sejak setahun mereka bersama. Rama meraih bahu Lana lalu menimang-nimang kepala kekasihnya di dada. Bahkan dari balik kemeja Rama yang mulai basah, suara raungan Lana masih terdengar dengan jelas. 

“Ada apa?” ibu Lana masuk, menatap mereka berdua.

Rama mengangkat bahu. “Andai aku tahu.”

-----

“Apa mungkin itu efek obat pascaoperasi yang diminumnya? Obat-obat itu memengaruhi hormon?” tanya Rama dari balik cangkir kopinya. Wajah Ray, kakak laki-laki Lana yang duduk di hadapannya berbayang di balik uap panas kopi.
“Rasanya tidak, pasti karena hal lain. Kalian bertengkar?”

“Kalau kami bertengkar, adikmu tak mungkin menangis cengeng begitu. Dia tipe yang bisa membuatku menangis karena rasa bersalah, tahu.”

“Kamu menolak menikahinya?”

“Hah? Apa?”

“Kalian pernah membahas pernikahan? Mungkin dia sensitif karena itu?”

“Oh, tidak. Kupastikan tidak. Kami pernah membahas pernikahan dan sepakat untuk tidak membahasnya sampai setidaknya setahun ke depan. Atau dua tahun ke depan.”

“Ya ampun, kalian pasangan mengerikan.”

“Menunda setahun gagasanku. Yang dua tahun gagasan adikmu.”

Dua pria yang sama-sama kebingunan itu kemudian hanya mengerutkan dahi sambil sesekali saling menatap dengan bingung. Suara mesin cuci berisik dan bibir menyeruput kopi kemudian memenuhi ruang tengah. Setelah menangis, Lana terlelap dengan posisi meringkuk dan ngiler di bahu Rama. Ibu Lana pergi membeli bahan makan malam setelah menyerah membuat mesin cuci lamanya diam. 

Rama menarik napas dalam-dalam. Sangat dalam hingga saat udaranya dihembuskan kembali paru-parunya terasa akan keluar. Bagaimana ia bisa menebak keinginan yang Lana sendiri tak tahu apa bentuknya.

“Kapan wanita berhenti membuat pria merasa bersalah karena tak mampu menebak apa yang sungguhan mereka inginkan? Kapan mereka akhirnya berpikir kalau kita hanya makhluk biasa yang bisa setiap saat tak peka, dan bukan cenayang yang tahu segala?”

“Tak akan ada ujungnya, Sobat. Bahkan saat kita sudah memberi semua yang mereka butuhkan, termasuk dua anak luar biasa yang sangat mirip ayahnya, wanita akan selalu begitu. Percaya saja padaku. Mereka seperti selalu butuh piknik.”

Alis Rama terangkat. “Piknik?”

-----

Lana tertatih-tatih menuruni tangga dengan tangan kiri dalam genggaman Rama. Luka bekas operasinya tak begitu perih, tapi dia hanya tak sedang ingin kemanapun. Bersama Rama, rasanya selalu tepat, tapi saat ini bahkan tak bisa membuatnya merasa lengkap. Sesuatu yang membuatnya gelisah dan sangat ingin beristirahat itu masih belum dia temukan. Dan entah bagaimana itu membuatnya hanya ingin tidur seharian. 

Mereka berhenti berjalan. Rama kemudian membuka penutup mata Lana.

“Wah. Ini… halaman belakang rumahku?”

Lana merasa begitu lelah hingga hanya sanggup mengikuti Rama menuju tempat piknik tak seberapa yang disiapkan kekasihnya untuknya. Di saat-saat seperti ini harusnya dia merasa tersentuh, normalnya begitu, tapi dia tak merasa normal sekarang. 

Alas duduk mereka adalah meja makan kotak-kotak hijau yang sudah ada sejak Ray lahir. Merelakan taplak ini jadi alas piknik saja sepertinya sudah merupakan usaha yang besar. Lana tertawa membayangkan perdebatan yang mungkin terjadi antara ibu dan kakak laki-lakinya.

Saat Rama menyuruhnya berbaring, Lana melakukannya. Mereka kini berbaring bersama di alas yang tak cukup besar hingga setengah kaki mereka terjulur di rumput yang basah. Ini seperti adegan konyol di novel atau drama sok manis yang sedang populer, ya? Lana tertawa dalam hati.

“Indah, kan?” tanya Rama.

“Banyak semut,” jawab Lana.

Rama cemberut. Lana menghela napas.

“Terima kasih sudah bersusah payah begini. Aku baik-baik saja.”

“Kau itu, kapan akan sadar kalau yang juga hancur saat kau bersedih adalah aku?”

“Masalahnya bukan pada kau, bukan pada orang-orang di sekitarku. Kalian hebat. Aku hanya bingung."

“Tentang apa?”

“Apa saja. Semuanya. Seperti seakan yang kulakukan selama ini adalah sia-sia. Kosong. Aku tak benar-benar merasa pernah hidup di dunia.”

“Kenapa?” desak Rama lagi. Kini mereka saling menatap. Mata Rama begitu menuntut, Lana mendadak kesal dan ingin mengamuk. Ia tak sedang ingin didesak soal perasaan kacaunya. Tertatih, Lana bangkit lalu berjalan perlahan melintasi halaman.

Rama menatap punggung kekasihnya.

“Kau ini, sedang lari dari apa, sih?” tanyanya. Sedih dan terluka.

Lana hanya diam. Rama meletakkan satu tangan di belakang kepala, menatap langit lewat dedaunan. Ini semua tak indah, sama sekali tak membuat gundahnya hilang. Langit, angin, matahari, bintang, senja, semua omong kosong saja. Bahkan hujan sekalipun, tak bisa meredam gelisah manusia. Kini hatinya ikut tak karuan dan langit bahkan tak berbuat apa-apa.

-----

Saat Lana telah tertidur, Rama masuk ke kamar kekasihnya. Nalurinya sebagai pria yang telah sangat mengenal wanita yang selama ini bersamanya, menuntunnya melakukan hal yang agak gila. Saat berbaring di halaman, pikiran Rama lari begitu jauh. Ke detil-detil tentang Lana, tentang semua yang berhubungan dengan Lana. Pikiran Rama kemudian sampai pada masa lalu Lana. Apa yang mungkin mengusik jiwa seseorang, yang seringnya tak dimengerti, selain masa lalu.

Rama tentu saja ingin perkiraannya salah. Tapi, bagian dirinya yang kebingungan setengah mati hanya menginginkan jawaban. Apapun yang mungkin ia temukan terasa tak masalah saat ini.

Rama membawa keluar ponsel Lana. Tangannya sedikit gemetar saat membuka kotak surel kekasihnya. Ada satu surel yang dimasukkan ke kotak khusus. Surel yang diterima sekitar sebulan lalu. Surel yang isinya hanya basa-basi, menanyakan kabar dan tetek bengek sepele lain. Tapi, surel ini dari Galih. Semua yang berasal dari Galih tak pernah sederhana di mata Lana. Semua yang bersumber dari Galih, sempat jadi segala-galanya bagi Lana. 

Entah berapa banyak yang pernah mampir di hatimu, pasti ada seseorang yang paling tak ingin kau buang dari pikiran. Atau kau sudah berusaha mati-matian membuangnya, tapi dia melekat seperti kotoran. Tak menggerogoti memang, hanya bersemayam selama yang dia mau. Tak bisa dimiliki, tapi tak juga pergi.

Seperti itulah Galih bagi Lana. Seperti itulah Lana bagi Rama.

Ego prianya terluka. Rasanya ingin mengamuk, tapi entah pada siapa. Pada Lana? Apa gunanya. Bukan salah Lana bila Galih tak juga melarikan diri dari hatinya. Bukan salah Lana bila sekalipun kini mereka bersama, kehadiran Galih tak pernah ada gantinya.

Rama telah memutuskan. Ia dan Galih harus bertemu. 

-----

Rama baru sekali menyesap tehnya ketika Galih duduk di hadapannya. Pria ini, sempurna tak bercela. Caranya tersenyum, menatap orang lain, hingga mengangguk pelan pada Rama. Menyebalkan karena Rama jadi sulit membencinya.

"Kau ini nekad sekali," Galih memulai pembicaraan mereka. "Pria tak melakukan percakapan semacam ini, tahu."

"Aku sudah kehabisan akal. Hanya kau yang mungkin membuat Lana begitu."

"Surel itu sudah lama sekali kukirim. Lagipula, Lana tak membalasnya."

"Memangnya kau pikir kenapa dia tak membalasnya? Sibuk? Tentu saja dia sengaja. Aku yakin kau sendiri tahu. Kau mengenalnya lebih lama dariku. Pesanmu membuat Lana gila."

"Dengar, ya," Galih memutar bola matanya. "Kau ini kenapa, sih? Kemana harga dirimu sebagai pria yang sekarang bersama Lana? Kau mengakui kalau pesanku membuat Lana gila, lalu mana usahamu untuk membuat wanita itu lupa padaku?"

Hati Rama bergejolak.

"Kau tidak tahu apa-apa soal usahaku, bajingan. Kau tidak tahu sekeras apa aku pura-pura tidak tahu kalau sering kali yang dilihat Lana saat kami berdansa adalah kau, bukan aku. Kau tidak tahu seperti apa aku penyangkalanku atas Lana yang terus mencari sosokmu dalam diri pria-pria yang bersamanya."

"Lalu apa gunanya kau menemuiku? Apa marah padaku bisa membantu? Lucu sekali."

"Lepaskan Lana,"

"Apa?"

"Aku menemuimu hari ini, untuk memintamu melepaskan Lana. Akui saja, kau juga masih tak sepenuhnya rela dia jadi milik orang lain, tapi tak cukup bernyali untuk memintanya kembali. Mungkin terdengar tolol buatmu, tapi sepertinya Lana belum mengikhlaskanmu karena kau juga belum mengiklhaskannya. Lepaskan saja dia. Tolong."

Kali ini, Galih terdiam. Raut wajahnya yang begitu percaya diri dan tegas, mendadak seperti hilang penopang. Rama sendiri tak menyangka kalau kata-katanya dapat menampar Galih hingga seperti ini. Lidahnya terasa pahit saat tahu semua yang dikatakannya ternyata benar. Galih bahkan tak dapat menyangkalnya.

Mereka terdiam cukup lama. 

"Apa kau tidak merasa kasihan pada harga dirimu?" ujar Galih tiba-tiba. 

"Ini soal ego. Aku tak ingin berakhir marah begitu saja pada Lana karena ketidakmampuanku bicara padamu. Kalau Lana tak tahu bagaimana menyelesaikannya, aku yang akan menyelesaikan ini untuknya."

Galih tercenung sejenak, lalu kemudian tertawa.

"Jangan tolol. Bagaimana kalau Lana begitu bukan karena menerima surel dariku?"

"Lepaskan saja dia agar ini cepat selesai."

"Aku tak membuat kesepakatan semacam ini. Anggap ini selesai saat kau keluar dari pintu itu."

"Bagaimana kalau kau yang lebih dulu keluar dari pintu itu?"

"Jangan temui aku lagi," pesan Galih. Pria itu melangkah keluar, Rama menyaksikannya lewat jendela kaca.

Aku tak ingin lebih dulu pergi sementara kau menetap di sini. Kali ini, aku yang harus menetap untuk menyaksikanmu pergi. Kalau pernah memilih jadi sekadar masa lalunya, tolong jangan pernah kembali.

Rama masih tak tahu apa yang akan dilakukannya saat menemui Lana nanti. Apa yang akan mereka bahas, apa yang akan mereka bicarakan agar Lana tak lagi uring-uringan. Yang jelas, hari ini, semua harga diri dan egonya telah habis ditukar dengan jawaban. Ada sedikit sesal memang, tapi ia akan menanggungnya. Lelah rasanya membiarkan semesta melakukan tugas yang dapat dikerjakaannya sendiri. Tak butuh pertanda, bantuan langit atau senja, dan semua omong kosong tentang cinta. 

Yang Rama tahu, Lana adalah cinta. Dan ia harus memerjuangkannya.

Ponselnya berdering. Lana.

"Kalau aku sudah sembuh, kita naik gunung, yuk."

"Boleh. Kenapa tiba-tiba?"

"Ada yang harus kubuang," jawab Lana. "Kau di mana?"

"Habis membuang sesuatu," jawab Rama. "Aku kesana, ya."

"Iya."

"Lana?"

"Ya?"

"Hatimu terasa lega, tidak?"

2 comments:

  1. Bisa gitu ya... haha
    Baru aja dibuang, eh udah ada konfirmasi aja tuh.
    Jempol buat Rama :)))

    ReplyDelete