(Akhirnya) Menikah

Bridal Shop - 17.08

Sebulan lagi Moca menikah.

Setelah mengalami putus sambung yang membuat semua orang ikut putus asa dan lelah, setelah semua drama tentang jarak yang tak kunjung menciut. Akhirnya. Sahabat tersayangku menikah juga dengan kekasih-entah berapa tahun-nya. Terlalu sering putus nyambung, aku tak tahu hitungan pasti hubungan mereka. Kini aku dan Rossy sedang mencoba gaun bridesmaid yang dipesankan Moca.

"Nggak. Aku nggak bisa memakai warna ini." Rossy menggeleng.

"Kenapa? Kau suka warna emas, kan?" kuputar badan Rossy yang sedang membungkuk di depan kaca. "Ini cocok untukmu, kok. Pinggang kecilmu akan baik-baik saja."

"Bukan pinggangku, Rii. Tapi aku hanya gak suka warna ini."

"Tapi ini warna pilihan Moca, kita bisa apa?" aku mengangkat bahu. "Yah, aku lebih suka warna tema pernikahanmu, sih. Ungu muda. Aku masih menyimpan gaun bridesmaid-ku."

"Berjanjilah, Rii. Pernikahanmu nanti gak akan memakai warna terang!" ancam Rossy.

Dadaku mendadak ngilu. Ada perasaan aneh yang berkelebat saat mendengar kata "pernikahan". 

"Aku belum mau menikah," sergahku.

Rossy berhenti memainkan gaunnya kemudian menatapku.

"Apa?" kataku gugup.

"Kenapa kau nggak bertanya pada Adrian?" tanyanya.

"Tentang apa?"

"Tentang pernikahan. Dia sebenarnya berniat menikahimu atau nggak."

"Well... aku nggak yakin hal "itu" ada dalam daftar prioritasnya sekarang."

"Demi Tuhan, Rii. Sudah hampir lima tahun, lho."

"Aku tahu," kupandangi diriku sendiri di cermin, tampak lesu dalam balutan gaun emas yang jatuh dan mengilap. "Tapi, memangnya aku bisa apa selain menunggu?"



Seminggu kemudian
Ladybug - 18.26

Hujan. Adrian berjanji menjemputku setengah jam lalu, tapi hingga kini tak juga kulihat mobilnya muncul. Ladybug sedang penuh sekali, jadi aku berdiri di terasnya dengan sepatu yang mulai basah karena cipratan dan jatuhnya air hujan dari atap. Keadaan semakin tak bersahabat saat aku sadar aku sedang mengenakan mantel putih yang jelas tak boleh ternoda sedikitpun. Belum lagi, seorang pria merokok di sebelahku dan sering kali mengayunkan tangannya ke bawah, membuatku jantungan tiap kali ujung rokoknya hampir menyentuh mantelku. Keadaan macam apa ini.

"Halo, Nona." Adrian muncul di hadapanku dengan satu tangan memegang payung biru muda, satu tangan lagi masuk ke saku mantelnya. "Jemputanmu datang."

Aku terlalu terpana pada betapa rapi dan menawannya kekasihku sore ini hingga tak ingin membuang waktu dengan menanyakan darimana dia mendapatkan payung bergambar langit itu dan kenapa dia tumben sekali menjemputku dengan berjalan kaki. Biasanya dalam keadaan hujan sekalipun, pria ini akan berteriak dari dalam mobilnya menyuruhku buru-buru masuk ke mobil.

"Aku tadi habis bertemu klien di kafe dekat sini. Saat kubilang akan kesini, dia meminjamkan payungnya." katanya memberi penjelasan, seakan membaca pikiranku.

"Klienmu wanita?" tanyaku.

"Pria, kok." jawabnya. "Payung cantik ini milik istrinya."

"Berarti klienmu suami yang siaga sekali ya membawakan istrinya payung setiap saat." kugenggam tangannya. Adrian punya suhu tubuh yang hangat, beda sekali dengan telapak tanganku yang hampir selalu pucat dan dingin.

"Kehidupan suami memang harus seperti itu, ya? Aku nggak bisa membayangkannya." 

"Tapi kau nggak harus membawakanku payung setiap hari, kok," aku tertawa. "Aku nggak akan menyusahkanmu seperti itu."

"Nggak, bukan itu, Rii," sergah Adrian. "Aku hanya gak bisa membayangkan kehidupan sebagai seorang suami. Maksudku, berat sekali kan kalau harus jadi seorang suami?"

Jantungku seperti diremas. Tanpa sadar, genggaman tanganku menguat.

"Rii, kau meremas tanganku, lho."

"Eh?" aku menoleh padanya. 

"Kau meremas tanganku, Nona. Ada apa?"

Kenyataan ternyata bahkan lebih menakutkan dari ketakutanku sendiri.

"Kakiku tadi tersandung," jawabku lirih. 

Jawaban yang pelan, dan tentu saja langsung tertelan hujan.

"Oh," rupanya Adrian mendengarnya. "Hati-hati, Nona."

Hati-hati dari apa sesungguhnya, Tuan? Ketakutanku atau ketakutanmu?


Mataku sakit. Sudah sekitar dua jam aku hanya berbaring menghadap dinding dengan ponsel di tangan kiri yang mulai kesemutan. Selama dua jam, aku hanya bolak-balik memandangi foto Adrian. Beberapa kali melihat foto-foto lamaku dengannya, untuk kemudian menyadari betapa jarangnya kami berfoto berdua meski sudah bertahun-tahun bersama. Membaca ulang percakapan pun, yang kudapat hanya percakapan biasa yang jauh dari kata mesra. Setelah kupikir-pikir lagi, seperti inilah cara kami menjalani ini semua bersama-sama. Melewati tahun demi tahun dalam hubungan yang datar namun tak biasa. Nyaris tanpa pertengkaran, tapi juga minim kata-kata manis dan kejutan.

Aku tak pernah menuntut apapun. Sungguh. Bukan karena takut Adrian akan kerepotan, tapi karena aku tak ingin. Kenapa harus jadi wanita yang menyusahkan kalau bisa jadi yang menyenangkan. Kenapa harus jadi wanita yang rewel kalau bisa jadi yang mandiri dan tangguh. Kenapa harus jadi wanita yang menuntut ini itu kalau bisa memenuhinya sendiri.

Aku punya kekasih yang punya segalanya, tapi tak ingin kubuat susah hari-harinya.

Aku tahu pernikahan tak ada dalam prioritasnya, tapi aku tak menyangka bahwa dia bahkan takut untuk menjajakinya. Aku tahu, kekasihku begitu mencintai pekerjaannya. Dia mencintai karir yang dibangunnya hampir seperti dia mencintai dirinya. Mungkin lebih. Dia mencintai pencapaian dan kerja kerasnya lebih dari dia mencintai hal-hal seperti pertemuan penting keluarga atau reuni bersama teman-temannya. 

Di titik ini, aku tak tahu harus berbuat apa. Percintaan di usia ini, bukan lagi perkara jatuh cinta saja. Ada banyak hal. Banyak sekali hal yang harus kau pikirkan detilnya.

Dan masalah pernikahan adalah salah satunya.

Aku tak melihat pernikahan sebagai sebuah gengsi keluarga. Menikah demi memenuhi harapan orang tua, apalagi. Menikahlah karena siap, menikahlah karena ingin dan bisa bertanggung jawab. Aku tak sedang terburu-buru. Tapi kalau kekasihku bahkan melihat peran suami dengan muka ketakutan begitu, aku harus berbuat apa sebagai pihak yang hanya bisa menunggu?

"Kenapa kau nggak bertanya pada Adrian?" tanyanya.

"Tentang apa?"

"Tentang pernikahan. Dia sebenarnya berniat menikahimu atau nggak."

Aku menelan ludah. Kenapa aku jadi sepengecut ini. Bukankah dulu motto hidupku selalu berbunyi: "Kalau memang harus mati, maka matilah!"

"Rii, aku harus masuk ruang rapat sekarang juga," Adrian menyahut saat kutelpon.

"Tapi ini gak bisa ditunda, Dri. Aku ingin bertanya sesuatu," sambarku.

"Kutelpon dua jam lagi, oke?" katanya dengan terburu-buru.

"Harus sekarang, Dri. Tinggal jawab "ya" atau "tidak"," kataku mantap.

Jantungku berdegup tak karuan. Ya Tuhan. Aku ini sedang apa.

"Oke. Tanyakan dengan cepat," katanya.

"Kau berniat menikahiku, gak?" 

Hening selama beberapa detik.

"Pertanyaan macam apa ini?" tanyanya.

"Kupikir kau gak punya waktu untuk bertanya," kataku.

"Kau sedang bercanda?" tanyanya gusar.

"Tinggal jawab "ya" atau "tidak", Dri."

"Aku gak suka pertanyaan ini, Rii," suara Adrian mulai terdengar kesal.

"Tinggal jawab "ya" atau "tidak", Dri.." kuulangi kata-kataku.

Hatiku mulai gelisah, membayangkan reaksi dan ekspresi Adrian.

"Aku harus rapat sekarang,"

"Tinggal jawab "ya" atau-"

"Tidak,"

"Ya. Tinggal jawab "ya" atau "tidak"," ulangku.

"Itu tadi jawabanku, Rii." kata Adrian. "Tidak."

Aku terdiam. "Tidak."?

Oh Tuhan.

"Oke. Selamat rapat."

Adrian tak menyahut hingga kuputus percakapan kami.

Setelah itu, aku menangis sampai mataku bengkak dan tak masuk kerja esoknya karena mendadak demam tinggi. Aku dan Adrian tak saling menghubungi selama sebulan lamanya.

Sepertinya aku memang tak harus bertanya.



Sebulan kemudian
Gedung Resepsi Moca - 10.10 

Ijab kabul Moca berjalan lancar dan penuh haru. Aku dan Rossy saling menggenggam tangan satu sama lain menyaksikan perjalanan baru sahabat kami. Kuharap perjalanan pernikahan Moca dan suaminya tak penuh drama seperti saat mereka pacaran. Aku menangis melihat Moca sungkem pada orang tuanya. Sahabatku tak begitu dekat dengan orang tuanya, jadi menyaksikan mereka kini berpelukan penuh air mata membuatku ikut berkaca-kaca. 

Setelah ijab kabul selesai, aku dan Rossy berjalan menuju dekat panggung resepsi. Moca mengadakan ijab kabul dan resepsi dalam satu gedung, hanya saja meja ijab kabul berada di sisi lain gedung. Jadi pengantin dan keluarga hanya tinggal pindah beberapa meter saja. Tipikal Moca sekali, anti ribet.

Rossy menatapku. "Rii, aku sungguh gak ingin menanyakan ini, tapi..," 

"Aku sendiri nggak tahu masa depan hubunganku sekarang," jawabku.

"Kalian putus?" tanya Rossy khawatir.

"Aku nggak tahu," tenggorokanku mulai terasa sakit. "Nggak tahu."

Rossy merangkulku. "Kalau memang ditakdirkan untukmu, dia pasti akan menujumu. Gak peduli seperti apapun rintangannya, gak peduli sejauh apapun hati kalian."

Aku menarik napas dalam-dalam. "Aku sudah capek sekali menangis, sungguh. Ayo kita bersenang-senang saja. Ini hari terbesar sahabat kita."

Resepsi pernikahan berlangsung dengan lancar. Moca sempat hampir terjatuh saat menaiki panggung dan membuat semua tamu tertawa, termasuk aku yang hatinya sedang berduka. Aku dan Rossy sibuk menjadi dayang-dayang dan pengawas acara dari bawah panggung. Kupikir, acara pernikahan seperti ini akan membuat hatiku hancur lebur, tapi ternyata tidak. Hatiku memang masih berduka, tapi aku memilih untuk tak larut di dalamnya, setidaknya untuk sehari ini saja. 

"Kalau memang harus mati, maka matilah!"

Kurasa kini aku sedang mati. Dan sedang menunggu dihidupkan kembali.

Acara telah selesai. Gedung sudah mulai kosong. Moca dan keluarganya sedang berkumpul bersama di atas panggung, mengambil foto dengan berbagai gaya. Rossy sedang mengordinir tukang dekorasi untuk menyimpankan beberapa bunga untuknya, sementara aku sudah harus buru-buru pulang dan kembali ke kantor. Ya, kantor. Kerjaan yang tak tahu waktu dan Roger, boss yang tak punya belas kasih pada editornya yang sedang punya acara. Kubilang pada Roger kalau aku mungkin akan terlambat karena hujan, tapi dia tak peduli. Tapi tak apa. Sibuk membuatku melupakan beberapa kenyataan yang tak ingin kuingat-ingat lagi. Resmi sudah aku jadi budak pekerjaan.

"Rii, mau kujemput nggak?" Arya menghubungiku saat aku baru saja keluar dari gedung. "Di sana hujan, kan? Aku baru berangkat dari rumah."

"Arya, aku pernah bilang gak kalau kau itu malaikat?" hatiku mengembang. "Kutunggu di dekat gerbang, ya."

"Ya. Nanti kubawakan payung biar kau-"

"Nggak usah!" sergahku cepat. "Aku akan melompat ke mobilmu begitu kau datang. Jangan berpikir membawakanku payung atau membelikanku payung, atau bahkan jangan menyebut-nyebut kata "payung" di hadapanku. Oke?"

"Lukamu dalam sekali, ya?" Arya mematikan telpon.

Bajingan. Tidak. Dia malaikat berbulu bajingan. Atau sebaliknya. Atau apalah.

"Rii, sampai jumpa lagi!" Moca berteriak dari teras gedung sambil melambai dengan heboh. "Terima kasih! Aku doakan semoga kau selalu bahagia, Rii! Aku akan selalu mendoakan kebahagiaanmu, percayalah! Kau akan baik-baik saja!"

Hatiku terasa hangat. Air mataku perlahan merebak.

"Aku akan baik-baik saja," ucapku perlahan.

"Maaf karena telah membuatmu nggak baik-baik saja, Nona."

Adrian, dengan payung di tangan kanan dan tangan kiri di dalam saku mantel. Berdiri di hadapanku.

Apa-apaan ini.

"Maaf, Rii!" Moca berteriak lagi. "Maaf lahir batin!"

Di hari sebesar ini dia masih bisa ikut campur urusanku. Wow.

"Aku ingin bicara, Rii," Adrian bersuara.

"Aku sedang menunggu jemputan. Harus segera ke kantor," jawabku lirih.

"Jemputanmu belum datang, kan? Aku hanya ingin bicara sebentar saja,"

"Aku nggak bisa, Dri." 

Hatiku sakit sekali. Ini terlalu tiba-tiba. Aku tak siap sama sekali.

"Tinggal jawab "ya" atau "tidak", Rii.." sahut Adrian lagi.

Aku terdiam. 

"Jangan main-main, Dri."

"Aku gak main-main, Rii. Aku minta maaf."

Hujan semakin deras. Suara Adrian mulai semakin tak terdengar. Kulihat sepatu dan bagian bawah celananya mulai basah oleh cipratan air hujan. Mataku sibuk melihat ke segala arah, seperti mencari tempat nyaman untuk dilihat. Karena kini Adrian sedang lurus menatapku, tak bergerak sedikitpun.

"Aku sedang gak ingin membicarakan-"

"Aku menyesal, Rii. Aku terdesak, bingung, dan nggak siap saat itu."

"Tapi kau memang gak pernah siap, kan?"

"Ya. Siapa memangnya yang pernah benar-benar siap?"

"Aku siap," sergahku. Suaraku gemetar.

"Kau siap atau kau ingin?" tanya Adrian.

"Jangan mendesakku, Dri. Jangan memojokkanku."

Terdengar suara klakson. Arya. Mobil Arya telah menunggu di sebrang jalan, setengah kaca jendelanya terbuka. Dia terlihat kaget melihat kehadiran Adrian. Namun pria di depanku, tak terganggu sedikitpun dengan kehadiran Arya atau ekspresiku yang mulai kebingungan. Dia terus menatapku, bahkan semakin dalam.

"Tinggal jawab "ya" atau "tidak", Rii," gumam Adrian.

"Aku nggak punya waktu untuk ini, Dri."

"Tinggal jawab "ya" atau "tidak", Rii," ulangnya lagi.

"Baiklah. Apa?"

"Kau mau menikah denganku?"

Adrian menatapku dalam-dalam. Terlihat begitu yakin.

"Apa aku sungguh harus menjawab pertanyaan itu? Apa aku sungguh pernah terlihat nggak ingin menikah denganmu?" tanyaku frustasi. "Apa ini sebuah lamaran? Apa kau sungguh harus melamarku dalam keadaan seperti ini?"

"Kupikir kau gak punya waktu untuk balik bertanya seperti itu," Adrian tersenyum.

Mau tak mau, senyum terkembang di wajahku. Kenapa pria ini selalu memenangkan pertarungan hati di antara kami sepenuhnya adalah rahasia semesta. Aku tak pernah bisa menang melawannya.

"Sini, kupeluk," katanya sambil melangkah ke arahku.

Lagi-lagi, aku dan pria ini terjebak dalam situasi tak biasa. Masalah tak biasa dan kami selalu bisa keluar dari dalamnya dengan cara-cara yang tak bisa pula. Aku sadar betapa aku merindukan pelukan pria ini dibanding apapun. Betapa tak ada yang lebih membuatku lega selain tahu bahwa dia berada di sisiku meski tak selalu berada tepat di sebelahku. 

Kulihat Arya tersenyum lebar kemudian mobilnya melaju di tengah hujan. 

"Aku jadi gak ingin masuk kantor hari ini," kataku dari balik dada Adrian.

"Jangan bodoh. Habis ini aku antar kau ke kantor," sahutnya dari balik ubun-ubunku.

"Dri, kau baru saja mengatai calon istrimu bodoh, lho!" protesku.

"Makanya jadi pintar," katanya.

Menakjubkan sekali. Aku akan selamanya hidup bersama pria ketus ini.

Tapi tak masalah. Aku memang tak bisa hidup tanpanya.

"GUYS! Penghuluku belum pulang, lho!" Moca berteriak.

Aku dan Adrian terbahak melihat Moca diseret suaminya ke mobil. Terima kasih, Mo.

"Terima kasih telah berniat menikahiku, Tuan."

"Terima kasih telah selalu berniat menikah denganku, Nona."




------------end-------------


No comments:

Post a Comment