Pria Abu-Abu

23 tahun. Bekerja di perusahaan properti terkenal, telah memiliki hampir semua keinginan muluk masa kecil, tunangan hebat yang-entah bagaimana-bisa mengajakku berumah tangga dengannya dua bulan yang lalu, dan hidup yang nyaris datar tanpa masalah. Semua berjalan mulus, sampai saat aku melihat dia. Pria berjaket abu-abu, duduk di jembatan kayu kecil seorang diri. Seperti adegan di sinetron, dia duduk termangu dengan misterius, entah apa maksudnya. Beberapa kali kulihat dia lagi-lagi duduk di tempat itu, sampai tanpa sadar kuhapal jadwalnya di luar kepala. Dia ada di situ setiap hari Rabu, Sabtu, dan Minggu. Entah kenapa harus tiga hari itu. Satu-satunya kesamaan tiga hari itu di pikiranku, hanya akhiran "u". 

Sekitar sebulan kuamati punggung abu-abunya, kuputuskan untuk mengajaknya mengobrol. Kata Rendra, kekasihku sebaiknya aku menjauhi orang seperti itu. Berbahaya. Mungkin saja dia di situ untuk menjebak orang-orang atau lebih buruk lagi dia psikopat yang mengincar nyawa. Mendengarnya, alih-alih takut aku malah tertawa. Pundak yang kulihat dari belakang itu tidak terlihat mengancam. Pundak itu tegap tapi melengkung pasrah, seperti sedang perlahan melepas kekuatan. Aku yakin, sekadar mendekatinya tidak akan menimbulkan bahaya apa-apa.

Jadilah Minggu pagi ini aku mengunjunginya tanpa sepengetahuan Rendra. Sambil berkeliling dengan sepeda, kuputari taman tempat danau kecil itu berada untuk memastikan keadaan. Si pria abu-abu sedang tertunduk, menatap kaki telanjangnya yang dijulur ke depan. Aku cepat memarkir sepeda di dekat halte bus, lalu berjalan pelan menujunya. Suara kayu tiba-tiba memenuhi hening yang selama ini menyelimutinya, kupelankan lagi langkah agar dia tak marah. 

"Hai, Abu-abu," sapaku ragu-ragu.

Kepalanya perlahan terangkat, dilemparnya tatapan sayu ke arahku. Sekujur tubuh mendadak merinding. Pria ini mungkin seumuran denganku, punya lengkung wajah yang jelas dan tirus, alis yang menukik tajam seperti ingin menuju hidung. Dan bola matanya. Abu-abu.


"Halo," balasnya serak. Aku terkesiap dengan reaksinya yang di luar dugaan. Kupikir dia akan mengusirku karena telah mengganggu rutinitas khususnya. Disambut oleh reaksi yang mengejutkan, aku jadi berani melanjutkan.

"Kau menunggu apa, sih?" tanyaku.

"Memangnya aku terlihat seperti sedang menunggu?" tanyanya balik.

"Terus terang saja, kau itu mencolok sekali. Berjaket abu-abu, semua serba abu-abu, dan kau hanya duduk di sini di hari berakhiran "u". Rabu, Sabtu, dan Minggu. Dan sekarang, aku jadi tahu kalau bola matamu juga abu-abu. Omong-omong, itu asli?"

"Asli, kok," jawabnya setengah terkekeh. "Kau memerhatikanku sampai seperti itu? Kau penguntit, ya?"

"Terserah apa katamu. Yang jelas, aku penasaran dengan keberadaanmu di sini."

"Aku sedang menunggu kekasihku, tahu," ucapnya mantap.

Anehnya, mendengar jawaban itu keluar dari mulutnya mendadak membuatku hilang nafsu. Aku tidak ingin bicara lagi, tidak ingin mendengar apa-apa lagi. Semua topik obrolan yang sudah kupikirkan dengan matang juga buyar berantakan.

Tuhan. Aku kenapa.

"Hei, namamu siapa?" tanyanya.

Aku ingin pergi dari sini. Tuhan, kenapa aku ingin sekali angkat kaki dari sini.

"Kau melamun, ya?" tanyanya lagi. Kulihat pupil mata abu-abunya membesar dan mengecil, menunggu jawabanku. Aku terhirup aroma napasnya. Wangi campuran coklat dan kayu manis, dan entah bagaimana aku mulai memikirkan bagaimana dia bisa mendapatkan aroma itu di mulutnya. Pikiranku berlomba-lomba antara menjawab pertanyaannya, memikirkan aroma napasnya, dan keinginan melarikan diri yang begitu mendesak, entah kenapa. 

Entah berapa lama aku terdiam dengan dungu dan dia hanya menatap danau lagi, akhirnya aku bersuara. Menyuarakan namaku dengan pelan. 

"Aku Alegra."

Kepalanya terangkat dengan cepat, bibirnya melengkung besar, tertawa kecil. "Aku Biru. Senang akhirnya tahu namamu, Al. Kupikir butuh selamanya untuk tahu namamu."

Kutelan ludah susah payah, membasahi kerongkongan yang kering minta ampun. Biru. Semua di hidupnya berakhiran "u", entah kebetulan atau memang konspirasi dirinya sendiri. Satu hal yang jelas kutahu, aku seperti terkena gegar otak setelah bertemu dengannya. Parahnya lagi, aku bahkan sampai tak masuk kerja. Sungguh.

Tuhan. Aku kenapa.

----

Aku demam tiga hari lamanya. Rendra sampai kembali dari dinas luar kota karena khawatir berlebihan. Aku memang jarang sekali sakit, apalagi sampai berhari-hari. Kuceritakan padanya kalau sebelum terkapar tak berdaya, aku sempat mengobrol dengan Biru di dermaga. Rendra meledak.

"Kenapa kamu keras kepala sekali, sih? Dia itu berbahaya, tahu. Bukankah sudah kubilang dia itu berbahaya, jadi jangan dekati dia."

"Dia nggak berbahaya kok, dia normal," kataku.

"Dia itu membawa pengaruh buruk buatmu, mengerti?" tegas Rendra. "Setelah ini aku akan menemuinya dan bilang, jangan lagi mengajakmu mengobrol. Dasar gila!"

"Jangan!" sergahku cepat. Nada suaraku meninggi, Rendra terkesiap. Aku pun terkesiap sendiri, terkejut. "Re, maaf. Aku hanya nggak ingin kamu repot-repot melakukan hal nggak penting itu. Sungguh, aku baik-baik saja. Jangan ganggu Biru, oke?"

Aku dan Rendra sepakat untuk tidak lagi membicarakan Biru, aku juga dibuat bersumpah tak lagi menginjakkan kaki di dermaga itu. Saat Rendra pulang, aku dengan mudahnya melanggar janji dan sumpah beberapa menit lalu. Aku yang tidak pernah sekalipun membantah kata-kata Rendra, tahu-tahu sudah menaiki sepeda menuju dermaga. Ini Hari Rabu, hari Biru.

Tuhan. Aku kenapa.

"Ah, aku pikir kau nggak akan datang lagi," Biru tersenyum kecil.

"Kenapa kekasihmu nggak datang juga?" tanyaku dengan napas terengah. Saat Biru mendongak menatapku dengan kaget, aku malah melanjutkan marah tak beralasanku. Kata-kata yang sama sekali tak bisa kutahan lajunya. "Mau sampai kapan kau menunggu kekasihmu? Siapa sih wanita itu sampai bisa membuatmu terus-terusan menunggu? Aku benci melihatmu seperti ini, kau tahu!"

Wajah kaget Biru berubah senyum kelu. "Memangnya kapan aku bilang kalau aku sudah punya kekasih? Aku sedang menunggu kekasihku yang belum ada, tahu."

Aku terkesiap. "Apa maksudmu?"

"Apa kau pernah yakin akan bertemu dengan jodohmu di suatu tempat? Mungkin terdengar aneh buatmu, tapi aku selalu yakin akan bertemu jodohku di sini. Di dermaga ini."

Lututku lemas. Rasanya seluruh energi terhisap habis oleh pria ini. Oleh kebetulan gila yang mempertemukan kami, oleh rasa penasaranku yang menuntunku padanya, oleh punggung abu-abunya yang menangkap perhatian mata. Oleh debaran hebat yang kurahasiakan bahkan dari diriku sendiri, bahwa jantungku bahkan tak berdetak sekencang itu pada Rendra. Gila.

Kutatap cincin berlian di jari manis kiri dengan air mata menggenang di pelupuk mata. Rasanya ada batu yang mengganjal di kerongkongan, rasanya banyak ledakan pertanyaan dan pernyataan di kepala. Perasaanku sedang bertarung dengan logika, dan aku menolak untuk ikut campur di dalamnya. Yang kutahu, kini perlahan sedang kulepas cincin itu dari jari manis.

Biru menahan napas. "Apa... yang kaulakukan?"

"Kalau kau yakin akan menemukan kekasih hatimu di tempat ini, percaya atau tidak, hati kecilku bilang, "Inilah orangnya," saat pertama kali menatap mata abu-abumu. Sungguh, ini mungkin terdengar nggak masuk akal, tapi..." air mataku mulai berlomba menjatuhi pipi, tenggorokanku kian tercekat, "mungkin inilah yang membuatku sakit. Aku terlalu takut menerima kenyataan kalau semestaku merujuk padamu, orang yang kupikir tepat."

Biru termangu. Kami tetap diam, entah berapa lama. Sampai akhirnya dia buka suara.

"Bagaimana kalau ternyata kita nggak berjodoh?"

"Nggak masalah," ucapku lirih.

"Ya ampun," dia menarik napas dalam-dalam. "Ini sungguhan terjadi."

Aku tertawa. Tertawa. Sangat lebar hingga perutku sakit dibuatnya. Aku baru saja memutuskan pertunangan dengan pacar tahunanku, baru saja memutuskan silaturahmi keluarga besar kami. Aku baru saja memutuskan untuk jadi milik pria yang asal usulnya bahkan belum kutahu, hanya karena hatiku berbisik kalau dialah orang yang selama ini kucari. Aku mengorbankan segalanya untuk pria yang menarik perhatianku dengan dunia abu-abunya. Rendra benar, Biru memang gila. Dan kekasih barunya justru lebih gila.

Cinta bisa menemukanmu di mana saja? Tidak. Kamu yang harus pandai membaca bisikan hati, dimana cinta dan orang tepatmu sebenarnya berada.

6 comments:

  1. Ciri khas tulisan Indah adalah bisa dengan mudah membuat pembaca jatuh cinta. Kadang bikin iri juga, aku kadang lupa bagaimana bikin tulisan yang sederhana, menyentuh dan apa adanya... Terus menulis ya ndah, bakatnya jangan disia-siakan...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ah, speechless. Terima kasih, teman berbagi pengalaman menulis. Semoga kita bisa ketemu lagi, makan bareng lagi, sambil ngelantur tentang tulisan kita lagi. Terima kasih lagi, Yu. :')

      Delete
  2. Cinta bisa menemukanmu dimana saja? Tidak. Kamu yang harus pandai membaca bisikan hati, dimana cinta dan orang tepatmu sebenarnya berada.

    terima kasih indah, inspiratif

    ReplyDelete
  3. again. aku jatuh cinta sama tulisanmu kak. ahhhh ngoprek2 pandora emang ga bakal bikin bosen :")

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha. Peluk cium dariku nih ya! Terima kasih dan selamat jatuh cinta berkali-kali ya, jangan bosan jatuh cinta pada Pan-dora!

      Delete