Akhir-akhir ini, saya sering kali ditodong pertanyaan, "Kapan menikah?" dari orang-orang sekitar. Ini bukan pertanyaan yang seharusnya diajukan pada saya, mengingat saya sendiri masih 21 tahun. Banyak yang menikah di usia ini, tapi lebih banyak yang menganggap usia ini terlalu muda. Termasuk saya. Sekarang saya sedang berada di lingkungan yang hampir seluruh usianya lebih muda tiga tahun. Otomatis, mendadak saya jadi yang paling tua dan dianggap paling dewasa. Kalau ada pertanyaan dan pernyataan seputar menikah dan berumah tangga, saya sudah pasti jadi sasaran. Padahal, saya sendiri, dan teman-teman seusia saya juga menganggap kami masih anak-anak. Yah, setidaknya saya sendiri masih menganggap diri saya tidak sesiap itu untuk membina rumah tangga. Jauh. Jauh sekali dari pikiran. Sekadar memikirkannya saja membuat saya pusing bukan main. Bisa dibilang, saya anti menikah muda.
Bukan berarti saya nggak memikirkan tentang pernikahan lho, ya. Tentu saja saya memikirkan rencana besar yang pasti sedang asyik dirancang oleh hampir semua wanita di dunia. Terlahir sebagai satu-satunya anak perempuan di antara tiga lelaki membuat saya jadi satu-satunya sasaran nasehat Ibu saya. Ini itu, gini gitu, blablabla, semua saya telan dari kecil. Pesan-pesannya nggak main-main, pelajaran moral dan etikanya juga nggak main-main. Komplit. Tapi tetap saja, semua nasehat itu pada akhirnya hanya membangun prinsip dan semua fondasi, yang membangun dan menjalankan tetap saya dan... mental--yang sampai detik saya menulis postingan ini, masih juga belum kuat.
Satu pengalaman absurd tentang pernikahan itu saya dapat sewaktu jadi pendamping wisuda Kak Andhika, senior di Desain Interior. Nggak, saya dan dia sama sekali nggak punya hubungan apa-apa. Kenal juga baru hari H. Di jurusan itu ada yang namanya LO, para pendamping wisudawan yang kerjanya menemani dan memenuhi semua kebutuhan keluarga wisudawan saat pertemuan di gedung selesai acara wisuda itu sendiri. Mereka mau makan, minum, informasi tempat, atau teman mengobrol sekalipun, semua harus dipenuhi oleh si pendamping. Kebetulan saya dapat keluarga Kak Andhika, yang juga mengajak Eyang-nya untuk ikut seluruh sesi acara. Masalahnya, gedung Interior itu ada tiga lantai. Jadilah saya menjaga Eyang selayaknya nenek sendiri, bahkan sampai mengajak beliau bercanda disaat para LO lain hanya berbasa-basi dengan keluarga didampinginya.
Eyang ini wanita yang kelihatan sekali tata kramanya. Beliau rajin senyum, mengajak saya ngobrol dengan santai, rasanya seperti sudah lama kenal. Sampai kemudian, saya ditodong pertanyaan: "Sudah berapa lama sama Andhika?" JENG! JENG! Yang membuat saya nggak sampai hati saat itu adalah binar mata Eyang yang meredup waktu saya bilang saya bukan pacarnya Kak Andhika. Boro-boro pacaran, kenal juga baru hari ini kok. Bahkan, saat itu saya belum bertemu langsung dengan Kak Andhika, cuma melihat fotonya dari senior yang jadi panitia. Singkat cerita, saya masih menemani orang tua dan nenek Kak Andhika sampai dia datang bersama iring-iringan wisudawan. Yang membuat saya tertawa lagi, ternyata Eyang masih belum menyerah tentang "status" saya. Saya dengar beliau bertanya pada Kak Andhika tentang saya. Saat Kak Andhika menyebut nama saya, beliau masih ngotot: "Jadi, Indah itu siapa? Kok bukan siapa-siapanya kamu?"
Acara wisuda berlanjut, tugas saya juga masih belum selesai sampai mereka pulang. Ternyata keluarga mereka jadi yang pertama kali meninggalkan acara karena harus ke Rumah Sakit. Saya kembali menuntun Eyang dari lantai tiga ke bawah sembari mengajak beliau bercanda. Sementara orang tua Kak Andhika agak kaku, Eyang justru luwes dan enak diajak ngobrol. Jadilah saya hobi sekali mengajak beliau bercanda. Sampai di lantai satu, papa Kak Andhika yang selama ini cuma bertanya kapan acaranya selesai dan hal-hal sepele lain, mendadak mengajak saya mengobrol. Topiknya membuat saya melongo.
Oom: "Kamu asli Bandung?"
Saya: "Nggak, Om. Ayah Palembang, Ibu Sunda. Saya besar di Palembang."
Oom: "Oooh."
-- hening beberapa detik --
Oom: "Kalau kamu gini terus, bisa-bisa semua orang tua rebutan kamu lho!"
Saya: "Hah?"
Oom: "Iya. Mereka bakal rebutan kamu buat dijadiin menantu. Menantu idaman."
Saya sempat bengong entah berapa lama saat itu. Menantu idaman. Untungnya setelah itu saya sanggup tertawa sambil mengaminkan. Terlebih, saat itu mereka semua juga langsung tertawa melihat reaksi saya. Kami berpisah, tugas saya selesai, mereka pulang, dan kami nggak pernah bertemu lagi. Tapi, pertemuan dengan mereka membuat saya sadar, saya memang nggak bisa mengelak dari kenyataan. Bahwa waktu terus berjalan, mau tidak mau saya harus makin akrab dengan topik pernikahan. Kata-kata "menantu" masih membuat saya pusing, tapi saya bahkan tertawa kecil saat mengingatnya.
Hari itu akan datang. Jelas sekali bukan sekarang, tapi toh waktu akan tetap terbang. Saya hanya berharap waktu tidak terbang begitu cepat lalu menjebak saya dengan batas usia melajang. Ah, saya lebih ingin semua tetap jadi rahasia Tuhan. Apapun rencana itu, saya harap akan berakhir di waktu yang sungguhan tepat. Dengan orang yang tepat.
Dan untuk calon suami yang akan datang, saya harap kamu mengerti dan memaklumi bahwa saya nggak suka mandi di Minggu pagi.
Satu pengalaman absurd tentang pernikahan itu saya dapat sewaktu jadi pendamping wisuda Kak Andhika, senior di Desain Interior. Nggak, saya dan dia sama sekali nggak punya hubungan apa-apa. Kenal juga baru hari H. Di jurusan itu ada yang namanya LO, para pendamping wisudawan yang kerjanya menemani dan memenuhi semua kebutuhan keluarga wisudawan saat pertemuan di gedung selesai acara wisuda itu sendiri. Mereka mau makan, minum, informasi tempat, atau teman mengobrol sekalipun, semua harus dipenuhi oleh si pendamping. Kebetulan saya dapat keluarga Kak Andhika, yang juga mengajak Eyang-nya untuk ikut seluruh sesi acara. Masalahnya, gedung Interior itu ada tiga lantai. Jadilah saya menjaga Eyang selayaknya nenek sendiri, bahkan sampai mengajak beliau bercanda disaat para LO lain hanya berbasa-basi dengan keluarga didampinginya.
Eyang ini wanita yang kelihatan sekali tata kramanya. Beliau rajin senyum, mengajak saya ngobrol dengan santai, rasanya seperti sudah lama kenal. Sampai kemudian, saya ditodong pertanyaan: "Sudah berapa lama sama Andhika?" JENG! JENG! Yang membuat saya nggak sampai hati saat itu adalah binar mata Eyang yang meredup waktu saya bilang saya bukan pacarnya Kak Andhika. Boro-boro pacaran, kenal juga baru hari ini kok. Bahkan, saat itu saya belum bertemu langsung dengan Kak Andhika, cuma melihat fotonya dari senior yang jadi panitia. Singkat cerita, saya masih menemani orang tua dan nenek Kak Andhika sampai dia datang bersama iring-iringan wisudawan. Yang membuat saya tertawa lagi, ternyata Eyang masih belum menyerah tentang "status" saya. Saya dengar beliau bertanya pada Kak Andhika tentang saya. Saat Kak Andhika menyebut nama saya, beliau masih ngotot: "Jadi, Indah itu siapa? Kok bukan siapa-siapanya kamu?"
Acara wisuda berlanjut, tugas saya juga masih belum selesai sampai mereka pulang. Ternyata keluarga mereka jadi yang pertama kali meninggalkan acara karena harus ke Rumah Sakit. Saya kembali menuntun Eyang dari lantai tiga ke bawah sembari mengajak beliau bercanda. Sementara orang tua Kak Andhika agak kaku, Eyang justru luwes dan enak diajak ngobrol. Jadilah saya hobi sekali mengajak beliau bercanda. Sampai di lantai satu, papa Kak Andhika yang selama ini cuma bertanya kapan acaranya selesai dan hal-hal sepele lain, mendadak mengajak saya mengobrol. Topiknya membuat saya melongo.
Oom: "Kamu asli Bandung?"
Saya: "Nggak, Om. Ayah Palembang, Ibu Sunda. Saya besar di Palembang."
Oom: "Oooh."
-- hening beberapa detik --
Oom: "Kalau kamu gini terus, bisa-bisa semua orang tua rebutan kamu lho!"
Saya: "Hah?"
Oom: "Iya. Mereka bakal rebutan kamu buat dijadiin menantu. Menantu idaman."
Saya sempat bengong entah berapa lama saat itu. Menantu idaman. Untungnya setelah itu saya sanggup tertawa sambil mengaminkan. Terlebih, saat itu mereka semua juga langsung tertawa melihat reaksi saya. Kami berpisah, tugas saya selesai, mereka pulang, dan kami nggak pernah bertemu lagi. Tapi, pertemuan dengan mereka membuat saya sadar, saya memang nggak bisa mengelak dari kenyataan. Bahwa waktu terus berjalan, mau tidak mau saya harus makin akrab dengan topik pernikahan. Kata-kata "menantu" masih membuat saya pusing, tapi saya bahkan tertawa kecil saat mengingatnya.
Hari itu akan datang. Jelas sekali bukan sekarang, tapi toh waktu akan tetap terbang. Saya hanya berharap waktu tidak terbang begitu cepat lalu menjebak saya dengan batas usia melajang. Ah, saya lebih ingin semua tetap jadi rahasia Tuhan. Apapun rencana itu, saya harap akan berakhir di waktu yang sungguhan tepat. Dengan orang yang tepat.
Dan untuk calon suami yang akan datang, saya harap kamu mengerti dan memaklumi bahwa saya nggak suka mandi di Minggu pagi.
Wakakakak
ReplyDeleteAku jadi tau sesuatu deh dibalik acara LO, LO an yang meletihkan itu... haha
Dan taraaaa, teh Indah ditaksir sama ayahnya yang disebut tadi, cieeee ahaha.
Dan kenapa teh indah bilang kita anak anak? Kita dewasa tau teteh :) hehe
Kocak ih si teteh :D
Hahaha. Nggak ada yang tau kan aku dapet pengalaman semacem itu waktu jadi LO! Pertama kali ngebahas menantu, dengan keluarga wisudawan yang di-LO-in pula! :))
DeleteAh, buatku kita anak-anak. Yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa. XD