Hidup

Suatu hari, aku duduk di tepian dermaga. Memandangi lautan kosong yang menghembuskan angin kering, mataku tak lagi lepas dari titik di seberang lautan, yang aku sendiri tak tahu dimana ujungnya. Sore itu kuputuskan untuk rehat sejenak dari hiruk pikuk kesibukan, sengaja menyepi demi satu pencerahan. 

Aku sedang menunggu Hidup. Setelah sekian lama tak bertegur sapa, akhirnya kuputuskan untuk kompromi dengannya. Aku lelah bermusuhan, lelah main tarik-tarikan. Hidup datang tak lama kemudian.

"Kenapa kau terus mempertanyakanku?" tanyanya begitu kami sama-sama telah siap berdebat opini. Aku malas menatapnya, jadi kualihkan mata ke arah langit saat menjawab pertanyaannya.

"Itu lucu. Tentu saja aku mempertanyakanmu. Kau menyudutkanku, selalu menempatkanku di bagian tak mengenakkan. Adegan ternganga, tertegun, dan tergugu takut. Aku berkali-kali gagal, kehilangan, lalu menderita."

"Aku meletakkanmu di titik terendah agar kau tahu mahalnya berada di atas."

"Kau bukan Tuhan."

"Lalu, kalau aku Tuhan, memangnya kau akan berhenti menyalahkan? Bukankah dari awal kerjamu hanya menyalahkanku dan Tuhan yang sebenarnya sudah begitu baik padamu? Kau hanya belum tahu."

"Aku tahu." Ucapku perlahan, kutarik nafas dalam-dalam saat memandang lurus pada Hidup. "Itulah kenapa aku memanggilmu. Aku ingin berterima kasih untuk semua pelajaran itu. Tak tergantikan, bahkan jika kuserahkan seluruh hidup ini padamu dan Tuhan."

"Jadi... kita berdamai?"

"Ya. Kita berdamai ya, Hidup."

No comments:

Post a Comment