Jodoh Air Lemon

"Kamu suka kopi?"

Tidak. Kuharap ya, tapi tidak. Aku bukan cewek keren seperti di novel-novel chicklit, yang melakoni adegan berlarian membawa gelas kopi dingin sambil mengejar jadwal yang padat. Bahkan, bisa dibilang aku sungguh tak suka kafein. Aku benci tidak bisa tertidur saat malam karena efek kafein. Yang benar saja, semua yang ada di kehidupan nyata sudah begitu membuat pusing dan aku malah menolak tidur? 

"Tidak. Kamu pecinta kopi, ya?"

Dia mengangguk lalu menambahkan kalau pekerjaan sampingannya adalah seorang barista. Wah, betapa tidak jodohnya. Aku tidak suka kafein, dia malah ketagihan kafein. Saat dia sibuk menyebutkam macam-macam kopi dari seluruh dunia, aku sibuk menghitung berapa gelas kopi yang pernah kuminum semasa hidup. Lima? Tujuh? Entahlah.

"Kamu suka bepergian? Jalan-jalan?"

Demi Tuhan. Tidak. Aku bukan jenis wanita menyenangkan dan penuh energi yang siap diajak bepergian sepanjang tahun ke tempat-tempat indah di seluruh dunia. Aku ini sahabat sofa. Makan, membaca, menonton tivi, semua kulakukan di sofa. Spesies baru manusia yang bersedia menghabiskan sepanjang hidup di sofa. Bepergian, berlelah-lelah dengan semua carut marut negara asing sementara di kantorku saja kekacauannya sudah sangat melelahkan jiwa? Tidak, terima kasih.

"Sayangnya... tidak."

Dan tanpa kuminta, dia mulai bercerita tentang pengalamannya ke belahan dunia yang bahkan namanya jarang kudengar. Bulan lalu saja, dia berkeliling Asia Tenggara dengan satu tas ransel dan persiapan ala kadarnya. Seru sekali, katanya. Dalam hati, aku ingin sekali mencoba hal-hal baru seperti itu. Tapi... tidak.

Dua jam berlalu. Tom berpamitan, menjabat tanganku dengan mantap, lalu meninggalkan kafe tempat pertemuan kami dengan senyum kecil yang tertahan. Aku tahu. Dia kecewa. Pasangan yang dijodohkan oleh teman sekantornya, yang juga sahabatku ternyata tak berjalan mulus. Kami terlalu berbeda. Setuju untuk dijodohkan dengan Tom adalah keputusan terkonyol dalam hidupku. 

"Jadi, bagaimana? Tom menyenangkan, kan?" 

Suara riang sahabatku memenuhi telinga. Iya, dia menyenangkan. Hanya saja aku bukan pasangan yang tepat untuknya. Aku terlalu membosankan. Aku wanita karir yang setelah pulang kerja akan langsung kembali  ke rumah. Bagiku, liburan adalah makan pie apel di sofa sambil menonton semua acara tivi paling tidak penting di Amerika. Dan minuman selamat pagiku bukanlah kopi, melainkan air lemon. Untuk detoks. Tubuhku sudah terlalu banyak racunnya.

"Aku akan menemukan jodohku sendiri."

Aku berjalan ke arah kasir. Tidak ada gunanya berlama-lama di tempat menyesakkan ini. Di depan kasir, ada seorang pria berambut merah yang mantel cokelatnya tak sengaja terkena tumpahan kopi yang dibawa oleh si manajer kafe. Dia langsung ditawari kopi termahal, gratis. 

Aku sedang berjuang mencari lembaran uang terakhir di dompet, saat si pria berambut merah menolak tawaran kopi mahal gratisnya.

"Aku tidak minum kopi. Kalian punya air lemon, tidak?"

Jantungku kedutan. Oh, Tuhan.

4 comments: