Hari Minggu ini, teman SMA saya menikah.
Dia orang ke-empat di angkatan saya yang akhirnya memutuskan untuk berumah tangga, menyusul tiga teman saya lain yang semuanya wanita. Kedewasaan mendadak jadi pasti. Kami, sebagai teman dan tamu undangan, lalu hanyut dengan pikiran masing-masing. Ada yang sama siapnya menikah tapi belum bertemu jodoh, ada yang nggak siap tapi sudah diajak serius, ada yang nggak siap sama sekali.
Untungnya, saya sudah nggak berada di zona nggak siap sama sekali. Nggak. Masih belum siap, tapi nggak pakai sama sekali. Masih belum terpikir detailnya, tapi bukan berarti nggak memikirkan sama sekali. Masalah pernikahan dan tetek bengeknya ini masih kalah dengan hal-hal lain. Saya dan beberapa teman terdekat masih dalam tahap: "Hem... nggak tahu, ah."
Tapi saya sadar, ini semua hanya masalah giliran.
Ini bukan lagi perkara siap nggak siap. Ini perkara waktu dan kita sedang berada di antrean. Menunggu giliran berikutnya, entah kapan. Tahu-tahu, aku dan kamu sampai pada tahap cetak undangan. Menyebar undangan, lalu mendapat banyak ucapan. Memilih gedung, memilih gaun, memilih seserahan. Nanti giliranmu memilih.
Tapi yang utama, memilih calon pendamping.
Memilih dengan siapa akan menghabiskan hidup. Memilih dengan siapa akan membesarkan anak-anak. Memilih seseorang yang akan bangun di pagi hari tanpa riasan sama sekali. Memilih seseorang yang akan kamu tumpahkan marah dan uneg-uneg. Memilih seseorang yang akan jadi musuh sekaligus sahabat terdekatmu, yang akan bertengkar dan berdebat hingga menguras emosimu, tapi tetap ada saat kamu jatuh, meminjamkan pundaknya padamu.
Duh. Selamat menunggu giliran!
No comments:
Post a Comment