#9th Day - Twitter

Apartemen - 03.28 pagi

Kenapa pagi hari harus datang selambat ini. Kenapa bunyi detik jam itu terasa membunuh sekali. Kenapa langit gelap itu tak kunjung terang hingga aku bisa segera menyeduh kopi dan beranjak pergi. Kenapa aku jadi gila begini.

Aku tidak ingat kapan tepatnya tertidur, tapi cercahan cahaya matahari yang menimpa pipi dan sundulan kepala Moca yang keji membuatku terbangun. Menatap ke arah jendela yang masih setengah tertutup, aku teringat lagi. Hal membahagiakan itu. Hal luar biasa itu. Jantung yang detaknya sempat reda mendadak berpacu lagi.

"Mo, ini tanggal 17 Februari."

"Aku tahu. Tetangga kita tahu. Nenek-nenek di luar juga tahu. Seluruh dunia tahu."

"Nggak, Mo. Ini berbeda. Hari ini Adrian pulang dari New York."

"Lalu kenapa?"

"Ini pertama kalinya kami akan bertemu sebagai sepasang kekasih. Kau dengar?"

Hening sejenak. Moca menoleh dengan anarkis. "KALIAN AKHIRNYA PACARAN?!"

"Yap. Dan nenek-nenek di luar bahkan sudah tahu."


Ladybug Cafe - 13.05 siang

Aku tertawa agak keras saat melihat dari Moca di timeline Twitter.

@GlammyMo Kencan dengan pria idaman setelah bersabar sekian lama itu nyata, ya @RiifaAF?

Kubalas mention-nya dengan cepat.

@RiifaAF @GlammyMo Tutup mulutmu, wanita kesepian.

Aku sama sekali tidak sadar kalau Adrian sedang memperhatikanku dengan satu alis terangkat. Saat aku meletakkan ponsel dan menoleh padanya, Adrian menggeleng.

"Memangnya kau harus sibuk memainkan benda itu saat makan siang?" tanyanya.

"Hei, aku kan hanya mengecek timeline," balasku. "Memangnya kau nggak mau mengecek siapa saja yang menyapamu di Twitter hari ini?"

"Aku nggak punya Twitter."

Aku melotot. "Apa?"

"Jangan memasang tampang begitu. Memangnya seluruh manusia di dunia harus punya Twitter?"

"Ini, kan tahun 2012!"

"Aku punya alamat email. Aku punya website personal kantor. Aku punya Facebook."

"Nah, kau punya Facebook!"

"Facebook yang... sudah dua tahun nggak ditengok."

Selama beberapa detik, kami hanya bertatapan tanpa suara.

"Jangan sekali-kali mengemukakan ide untuk membuatkanku Twitter," cetus Adrian.

".... kalau masih kulakukan?"

"Kita putus."

"Apa? Jangan bercanda, ah."

Adrian menatapku kemudian tertawa. "Kau percaya aku tega melakukan itu?"

"Aku nggak percaya kau menanyakan hal itu padaku. Tentu kau tega. Kau tega melakukan apapun sesuai keinginanmu, termasuk memutuskan kekasih yang baru tiga hari kau pacari."

Adrian tertawa lagi. "Dengar, kekasih tiga hari, aku bukan pria semacam itu. Aku berkomitmen. Terlebih hubungan yang melibatkan hati seperti ini."

Itu membuatku sangat senang. Sekaligus ingin pipis.

"Dan...," sambungnya, "itu juga berlaku untuk Twitter. Kalau kubilang aku nggak akan membuatnya, berarti aku nggak akan membuatnya. Selamanya."

"Tapi," aku bersiap protes. Lirikan Adrian membungkam mulutku.

"Habiskan makan siangmu, Rii. Aku hampir terlambat untuk rapat."

Dengan berat hati-sungguh-hatiku benar-benar berat dan terasa melesak ke perut, aku menatap hampa pada layar ponsel yang berubah terang saat Rossy muncul di timeline. Dan sedang bercanda dengan Fajar.

@Rossy_Bossy Makan siang bersama @FajarGunawan yg baru saja muntah hebat. Dan dia calon suamiku. Poor i am!

Fajar yang notabene seorang pria super datar pun memiliki akun Twitter. Fajar yang sehari-hari sibuk dengan yayasan pendidikan besar itu bahkan punya waktu untuk beberapa detik kemudian membalas tweet Rossy dengan tiga tanda cinta sekaligus.

Kekasihku? Poor i am!



Apartemen - 23.01

Secara brutalnya, teman-teman di Twitter mendadak seperti merayakan hari jatuh cinta sedunia. Mereka saling mention dengan lucu dan mesra, mengabarkan kegiatan dan kencan sederhana, dan dengan bangga memperlihatkan foto-foto manis yang membuatku iri. Ya, aku yang realistis setengah mati kini iri pada hal-hal semacam ini. Normalnya aku mungkin akan mual dan malas. Mengumbar hubungan bukan kebiasaanku, tapi... ah.

"Ini nggak seperti kau. Sejak kapan kau begitu ingin semua orang tahu hubunganmu?" Moca menyengit. "Selama ini bukannya kau anti publikasi?"

"Memangnya... aku nggak boleh menyapa pacarku sendiri di depan semua orang?" aku merengut. Sambil berguling di sofa yang mulai lapuk, kutatap langit-langit dengan melankolis. Persis seperti adegan sinetron.

"Astaga, Tuhan," Moca tertawa. "Kau benar-benar jatuh cinta pada pria ini, ya!"

Aku hanya diam. Moca keparat yang menamparku dengan kata-katanya yang juga keparat.

"Hei, Rii, kalau Adrian nggak mau membuat akun Twitter, kau masih bisa menyapanya, kan?"

"Jangan bego, Mo. Dia nggak berniat membuatnya dan aku malah ingin menyapanya?"

"Kau yang bego. Sekalipun dia nggak membuat akun, kau bisa tetap me-mention namanya. Misalnya, 'Selamat pagi, @AdrianMD!' dan semua sapaan normal lain."

"Tapi, akun itu nggak akan valid, kan?"

"Who cares, Babe?" Moca berdecak sambil menyerahkan jus wortel padaku. "Yang penting setiap saat kau bisa menyapanya sekalipun akun Twitter itu nggak akan bisa balik menyapamu. Kau juga nggak perlu membuat akun palsu atas nama Adrian, yang kau kendalikan sendiri. Nggak lucu tahu, membalas tweet sendiri."

Hem. Benar juga.

"Jangan terlalu banyak berpikir. Bagaimana dengan mulai menyapa @AdrianMD sekarang?"

Aku tersenyum dengan wajah merona. Sambil mengetik dengan cepat, kuketik tweet pertama untuk akun tanpa pemilik di Twitter. Untuk pacarku.

@RiifaAF Have a great sleep, busy man, @AdrianMD! <3



Kantor Redaksi Dream - 15.17

"Rii, memangnya kau nggak bosan menyapa seseorang yang nggak membalas sapaanmu di Twitter? Bukan. Orang itu bukannya nggak membalas, dia memang nggak pernah ada." Arya berkata dengan wajar datar.

Aku menatapnya dengan mata memicing. Teman sekantorku yang biasanya seperti malaikat sekarang terlihat seperti bangsat yang memakai kemeja.

"Mulutmu terlalu jahat," cetusku. "Aku nggak bosan, kok."

"Mengesankan," Arya melanjutkan mengetik.

Aku bengong di mejaku.

Bohong.

TENTU SAJA AKU BOSAN!

Wanita waras mana yang tahan menyapa akun Twitter 'mati' milik kekasihnya. Akun yang nyaris setiap waktu disapa tapi tak akan pernah balik membalas selamanya. Aku bosan, miris, dan mulai mengasihani diriku sendiri. Kalau Adrian tahu kelakuanku, mungkin dia akan marah dan mengataiku bodoh. Atau bisa jadi dia hanya tertawa sadis tanpa menggubris.

Dan adegan menyapa akun @AdrianMD ini sudah berlangsung selama 2 bulan.

Selama 2 bulan terus-terusan menyapa seseorang yang semu. Kurang gila apalagi.

"Tenang, Rii. Mulai sekarang aku akan rajin menyapamu di Twitter!"

"Tutup mulutmu, Arya Dirgantara."



Apartemen - 20.45

"Kopi dengan krimer dua setengah sendok?" Adrian menyodorkan gelas kopi ke arahku. Dia masih menggunakan kemeja yang digulung setengah, dasi longgar, dan wajah lelah yang terlihat intelek. Sambil menyeka kacamata yang basah terkena uap kopi, dia mengajakku duduk di bangku taman apartemen.

Aku menyeruput kopi dengan suara berisik yang dibuat-buat.

"Ada masalah apa?" tanyanya.

Aku menoleh pelan. "Nggak ada. Memangnya aku kelihatan bermasalah?"

"Berniat membohongiku, ya. Aku ini lebih dari sekedar pacarmu."

"Memangnya kau siapa?"

"Aku dokter pribadimu, psikolog kejiwaanmu, sahabatmu, teman terdekatmu,"

"Itu manis sekali, Jagoan," aku tersenyum kecil.

Adrian celingak-celinguk, memastikan sekeliling sepi, lalu menarikku dalam dekapannya. "Aku bukan pria perhatian yang bisa tahu keadaanmu setiap saat, bukan juga pria yang rajin menanyai jadwal makan dan tidurmu. Tapi, aku pacarmu, kan. Aku juga tersiksa kalau kau bahkan nggak mau membagi cerita padaku."

Aku mencium parfum yang wanginya sangat enak. Parfum yang senyap dan hangatnya akan kuingat sampai mati. "Nggak ada apa-apa," sahutku.

"Ini bukan gara-gara Twitter, kan?"

Tawaku meledak. "Well, tadinya. Tapi sekarang, rasanya aku sudah baik-baik saja."

Sungguh. Saat Adrian mengatakan satu paragraf kalimat sederhana tapi manis itu, aku tahu seharusnya tidak pernah memusingkan masalah Twitter hingga membuat pria secuek Adrian sadar perubahan sikapku. Aku tahu Twitter seharusnya bukan masalah, tapi aku membuatnya jadi masalah. Dan lagi, aku tahu kekasihku ini pasti butuh usaha super keras untuk mengatakan hal-hal yang melumerkan hati seperti itu padaku.

Kami mengobrol selama dua jam, bergelut dengan angin malam yang semakin menggigit tulang. Sekujur tubuhku dingin tapi wajahku terasa hangat. Di antara cahaya lampu taman yang remang, wajah persegi Adrian terlihat terang. Dia tidak banyak tertawa dan lebih sering mendengarkanku bicara. Kami saling mengatai satu sama lain sambil terkikik seperti dua remaja yang dimabuk cinta.

Dan aku sudah benar-benar lupa pada Twitter dan segala tetek bengeknya.

"Sampai bertemu besok malam," Adrian masuk ke mobil.

"Dah," aku tersenyum lebar-sangat lebar-padanya.

Sambil berjalan masuk ke apartemen, aku membuka Twitter dan dengan bangga kembali menyapa kekasih semuku disana.


@RiifaAF Goodnight, Sweetheart @AdrianMD. Thanks for your sweet hug...

Sampai di kamar, ponselku berdecip.

Ya Tuhan.

Kau pasti sedang bercanda.


@AdrianMD Goodnight, Sweetheart @RiifaAF. Thanks for your sweet kiss...


p.s. Itu tweet pertama sekaligus terakhir yang Adrian posting di Twitter

2 comments:

  1. nice story, indah ❤
    kamu hebat sudah membuatku selalu penasaran akan kisah selanjutnya

    ReplyDelete