Kantor CNA - 20.09
Aku benci dibuat menunggu. Hanya perkara bicara, menunggu bisa semudah yang kau kira. Apalagi kalau dipaksa menunggu kabar dari seseorang yang begitu kau khawatirkan, yang seperti tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri terlebih kau yang mengkhawatirkannya. Aku khawatir berlebihan. Akhir-akhir ini aku banyak khawatir pada Adrian. Dia sedang banyak sekali rapat, semakin sering ke luar kota, semakin jarang mengabari via apapun. Kadang dalam sehari kami hanya bertukar suara sekali, alih-alih bertemu. Dan tepat hari ini, dua hari sudah pria yang sudah dua tahun kupacari itu menghilang di balik tumpukan pekerjaannya.
Kadang kupikir lebih baik punya pacar karyawan biasa yang pergi pukul tujuh pagi dan kembali pulang pukul empat sore. Yang tidak akan dihubungi kalau saham perusahaan turun, yang tidak akan jadi salah satu manusia yang harus memantau perkembangan anak perusahaan di luar negeri. Yang hanya punya satu alamat email untuk menampung notifikasi dari jejaring sosial, bukan tiga email sekaligus yang seluruhnya digunakan untuk bisnis dan wajib dicek setiap hari.
Entah sudah berapa kali kupikir semua resiko ini, berkali-kali aku hanya diam dan merutuki diri.
Saat akhirnya ponsel yang selalu sibuk itu diangkat, air mataku terasa akan tumpah ruah. Perasaan yang sering kualami tapi tak kunjung kukuasai itu kembali menyergap. "Kamu masih rapat? Jangan lupa makan malam dan vitaminmu, Dri. Oh satu lagi, jangan lupa pulang."
"Astaga, Riifa. Ini kamu, kan?" tanya Adrian serak. "Benar-benar kamu."
"Tentu saja aku. Memangnya ada cewek lain yang biasanya mengingatkanmu makan?" tanyaku. "Jangan-jangan memang ada?"
"Mengurusimu saja aku masih harus bertengkar hebat dengan pekerjaan, apalagi punya selingkuhan. Aku butuh enam tangan dan enam otak untuk melakukan itu."
"Baguslah. Nggak menghubungi pacarmu selama dua hari itu bukti kalo kamu nggak punya enam tangan dan enam otak untuk selingkuh. Jadi, dimana sekarang pria tersibuk se-Bumi ini berada?"
"Masih di kantor. Aku ketiduran dan terbangun oleh panggilanmu," suaranya terdengar menjauh. "Dan rupanya di luar sudah gelap."
"Sekarang kamu harus pulang, Jagoan. Jangan mau dikalahkan pekerjaan, istirahatlah." Kutelan ludah saat sebenarnya ingin sekali merengek untuk bertemu. "Dah!"
"Hei, Rii, temani aku makan malam, yuk. Kujemput sekarang, ya!"
"Serius?"
"Serius. Aku mau makan nasi goreng di dekat rumahmu yang terkenal enak itu."
Dan segera saja aku mencari-cari kardigan tebal lalu menyemprot sedikit parfum. Adrian itu pria sibuk yang selalu diserempet jadwal, mudah baginya sampai di satu tempat hanya dalam beberapa menit. Saat kami akhirnya bertemu, aku gagal menahan diri untuk tidak menyambutnya dengan senyum tiga jari. Aku bahkan memeluknya erat sekali.
"Kalau kangen mestinya bilang," sindir Adrian.
Memangnya kapan aku tidak merindukanmu, Pangeran? Kapan aku tidak lelah menunggu hanya untuk mendengar suaramu? Kapan aku pernah sehari saja absen mencemaskan jadwal-jadwal yang mengeroyokmu? Kalau pikiranku adalah sekolah, kamu murid dengan tingkat bolos paling rendah.
Rumah Sakit - 16.42
Baru kemarin kami bertemu, sore ini kudapati pria kesayanganku itu baru saja dipindahkan dari Unit Gawat Darurat ke ruang rawat inap. Menurut sekretarisnya, Adrian roboh saat berjalan menuju ruang rapat dengan muka pucat dan tangan yang dinginnya minta ampun. Aku tidak akan repot mempermasalahkan darimana si sekretaris tahu tangan pacarku sedingin itu. Aku hanya ingin menjenguk Adrian, menatapnya selama beberapa menit kemudian mengjungkirbalikkan ranjang tempatnya tertidur. Dia sungguh kelewat batas pada dirinya sendiri.
"Aku tahu kamu pasti marah, kamu ingin mengutukku, kamu ingin menjungkirbalikkan kasur ini." Katanya sambil berusaha tersenyum begitu aku duduk di sebelahnya. Bibirnya pucat tapi pipinya sudah mulai memerah.
"Tidurlah, aku akan menungguimu disini."
"Buat apa kamu menungguiku tidur? Aku nggak akan tidur. Aku nggak mengantuk."
Bisa-bisanya dia bilang tidak mengantuk sementara saat aku sibuk bercerita, dia malah sibuk menguap. Kubiarkan dia mengoceh pelan selagi obat tidur pemberian dokter bekerja sambil mengelus-elus dahinya perlahan. Biar begini, Adrian yang kepalanya sekeras batu juga bisa manja. Aku punya titik lemahnya: elusan ringan di kening dengan ibu jari.
"Nggak sembarang orang kubiarkan melakukan ini, kamu orang kedua setelah ibuku," katanya setahun lalu, saat aku secara kebetulan menemukan titik lemahnya.
"Dri, kamu bisa nggak tidur tapi tetap berkacamata?"
"Bisa," Adrian mengangguk pelan. "Kalau kamu sudah puas memandangiku dengan kacamata ini, tolong dilepas, ya."
Saat dia sudah tertidur, tanganku berhenti mengelus keningnya. Kupandangi dia dengan seksama, lekat-lekat seperti kami tak pernah bertemu dan aku sedang dituntut mengingat detil wajahnya. Aku ingat detilnya dengan seksama. Adrian punya bekas cukuran yang rapi membingkai wajahnya, nyaris tak terlihat karena dia tipe yang selalu berhati-hati dengan iritasi pisau cukur. Bulu matanya lentik, alisnya melengkung tajam ke samping. Dia mungkin tidak setampan kedengarannya, terlebih saat kacamata berbingkai biru tua itu dilepas. Wajahnya mendadak seperti bocah yang kelelahan bermain dan frustasi menghadapi dirinya sendiri.
Kacamata membuat Adrian-ku menjadi seorang Adrian. Bagian penting yang membuatnya utuh, yang bila dilepas seperti menghilangkan citra personal yang sudah melekat penting. Aku suka melihatnya mengerutkan kening dengan kertas-kertas di tangan kiri dan tangan kanan membetulkan letak kacamata sesekali. Aku suka bentuk kacamatanya yang petak memanjang, yang kupikir begitu serasi dengan wajah dan matanya. Rasanya, Adrian tanpa kacamata bukanlah Adrian.
Kulepaskan kacamata itu saat Adrian berguling menghadap ke arahku. Sambil menggenggam kacamatanya, aku berusaha menahan tawa. Bagaimana mungkin Adrian tanpa kacamata bukanlah Adrian. Ternyata memang masih Adrian, hanya saja seperti tanpa embel-embel dunia. Adrian polos yang tidak sedang membutuhkan dua mata lain untuk membaca atau mengecek dokumen. Dua mata bantu yang hanya dilepas saat Sang Pangeran tertidur dan hanya sedikit orang yang tahu. Termasuk aku.
"Tuhan, apa kau menuliskan adegan melihat pria ini terbangun di pagi hari tanpa kacamata sambil menguap di sampingku? Kuharap ada."
"Amin." Adrian menyahut.
Kutendang ranjangnya hingga Adrian berguncang dan tersedak geli sementara aku tersedak malu sambil diam-diam berbisik dalam hati.
"Amin."
Rumah Sakit - 16.42
Baru kemarin kami bertemu, sore ini kudapati pria kesayanganku itu baru saja dipindahkan dari Unit Gawat Darurat ke ruang rawat inap. Menurut sekretarisnya, Adrian roboh saat berjalan menuju ruang rapat dengan muka pucat dan tangan yang dinginnya minta ampun. Aku tidak akan repot mempermasalahkan darimana si sekretaris tahu tangan pacarku sedingin itu. Aku hanya ingin menjenguk Adrian, menatapnya selama beberapa menit kemudian mengjungkirbalikkan ranjang tempatnya tertidur. Dia sungguh kelewat batas pada dirinya sendiri.
"Aku tahu kamu pasti marah, kamu ingin mengutukku, kamu ingin menjungkirbalikkan kasur ini." Katanya sambil berusaha tersenyum begitu aku duduk di sebelahnya. Bibirnya pucat tapi pipinya sudah mulai memerah.
"Tidurlah, aku akan menungguimu disini."
"Buat apa kamu menungguiku tidur? Aku nggak akan tidur. Aku nggak mengantuk."
Bisa-bisanya dia bilang tidak mengantuk sementara saat aku sibuk bercerita, dia malah sibuk menguap. Kubiarkan dia mengoceh pelan selagi obat tidur pemberian dokter bekerja sambil mengelus-elus dahinya perlahan. Biar begini, Adrian yang kepalanya sekeras batu juga bisa manja. Aku punya titik lemahnya: elusan ringan di kening dengan ibu jari.
"Nggak sembarang orang kubiarkan melakukan ini, kamu orang kedua setelah ibuku," katanya setahun lalu, saat aku secara kebetulan menemukan titik lemahnya.
"Dri, kamu bisa nggak tidur tapi tetap berkacamata?"
"Bisa," Adrian mengangguk pelan. "Kalau kamu sudah puas memandangiku dengan kacamata ini, tolong dilepas, ya."
Saat dia sudah tertidur, tanganku berhenti mengelus keningnya. Kupandangi dia dengan seksama, lekat-lekat seperti kami tak pernah bertemu dan aku sedang dituntut mengingat detil wajahnya. Aku ingat detilnya dengan seksama. Adrian punya bekas cukuran yang rapi membingkai wajahnya, nyaris tak terlihat karena dia tipe yang selalu berhati-hati dengan iritasi pisau cukur. Bulu matanya lentik, alisnya melengkung tajam ke samping. Dia mungkin tidak setampan kedengarannya, terlebih saat kacamata berbingkai biru tua itu dilepas. Wajahnya mendadak seperti bocah yang kelelahan bermain dan frustasi menghadapi dirinya sendiri.
Kacamata membuat Adrian-ku menjadi seorang Adrian. Bagian penting yang membuatnya utuh, yang bila dilepas seperti menghilangkan citra personal yang sudah melekat penting. Aku suka melihatnya mengerutkan kening dengan kertas-kertas di tangan kiri dan tangan kanan membetulkan letak kacamata sesekali. Aku suka bentuk kacamatanya yang petak memanjang, yang kupikir begitu serasi dengan wajah dan matanya. Rasanya, Adrian tanpa kacamata bukanlah Adrian.
Kulepaskan kacamata itu saat Adrian berguling menghadap ke arahku. Sambil menggenggam kacamatanya, aku berusaha menahan tawa. Bagaimana mungkin Adrian tanpa kacamata bukanlah Adrian. Ternyata memang masih Adrian, hanya saja seperti tanpa embel-embel dunia. Adrian polos yang tidak sedang membutuhkan dua mata lain untuk membaca atau mengecek dokumen. Dua mata bantu yang hanya dilepas saat Sang Pangeran tertidur dan hanya sedikit orang yang tahu. Termasuk aku.
"Tuhan, apa kau menuliskan adegan melihat pria ini terbangun di pagi hari tanpa kacamata sambil menguap di sampingku? Kuharap ada."
"Amin." Adrian menyahut.
Kutendang ranjangnya hingga Adrian berguncang dan tersedak geli sementara aku tersedak malu sambil diam-diam berbisik dalam hati.
"Amin."
keren keren keren.. ;-)
ReplyDeleteMakasih, Sodarah Ady! :))
Deleteawesome.
ReplyDeleteB-)
Makasih :)
ReplyDeleteseems agak curhat :V
ReplyDeleteHahahaha. :))
Delete