Matahari Senja di Minggu Pagi

“Aku ingin punya anak.”

Satu kalimat singkat yang diucapkan bahkan tanpa ekspresi berarti. Istriku, berdiri di sisi lain tempat tidur dengan mata lurus menatapku. Ke dalam mataku yang sendu. Di pagi hari yang suntuk, kepalaku mendadak seperti terbelah dua dan menyisakan otak menganga.

“Kau sudah gila.”

Aku tahu dia tidak gila. Keinginan itu datang dari nalurinya, seorang wanita matang di usia produktif. Hanya saja, kenapa hanya dia yang merasa ingin punya anak. Kenapa hanya wanita cantik berambut ikal itu yang mendadak mengharapkan seonggok bayi lahir di tengah-tengah keluarga kecil yang baru kami bangun sebulan. Ah, aku bukannya egois ingin memiliki istriku seorang diri. Aku hanya tidak mengerti, kenapa keinginan semendasar itu harus keluar dari mulutnya persis di saat kami baru saja bertengkar tentang uang sewa apartemen yang tak kunjung lunas. Akhir-akhir ini, istriku seperti terus mencari-cari alasan. Kami terus bertengkar, seperti tak ada habisnya dia memojokanku, pasangan hidup yang beberapa bulan lalu begitu dibutuhkannya.

“Apa masalahnya? Aku ingin punya anak.”

Senja menantangku lagi. Kali ini tubuhnya kecilnya bangkit kemudian berkacak pinggang di depanku. Aku menggeleng muak.

“Kalau kau memang ingin punya anak, kenapa kau tidak katakan pada Minggu? Kau sakit hati karena pria yang berselingkuh di belakangmu itu malah menceraikanmu padahal kau sudah rela dijadikan istri kedua. Aku tahu aku hanya pelarian, aku tahu pernikahan penuh masalah ini juga balas dendam. Tapi, kupikir kita sama-sama tahu ini akan berjalan baik-baik saja kalau kita tidak membahas masa lalu.”

“Kau yang membahas masa lalu!”

“Kau yang memaksaku."

Setelah terdiam cukup lama, Senja menarik nafas dalam-dalam. “Aku tidak ingin adopsi atau apapun. Aku mau punya anak. Anakku. Anak kita. Kau dengar itu, Pagi?”

Aku tahu kami seharusnya tidak bersama. Mana pernah pagi dan senja terbit bersama. Pagi dan senja bahkan dipisahkan oleh siang yang selamanya akan jadi jurang. Aku tidak ingin menyalahkan takdir: kenapa namaku harus Pagi, kenapa namanya harus Senja.

“Terserah kau saja,” aku tersenyum kecut.

Anak. Bagaimana bisa. Aku ini perempuan.


Gagasan gila, tapi mungkin satu-satunya yang menggantung di logika. Percuma membereskan suatu masalah kalau tidak mencari sumbernya. Aku malas adu mulut sengit dengan Senja setiap malam karena keinginan tololnya yang mendesak untuk dikabulkan. Semua manusia yang berotak tahu, selain dari ruh yang ditiupkan Tuhan, segumpal darah yang nantinya berkembang jadi bayi hanya akan terjadi jika sel sperma dan sel telur bertemu. Senja itu perempuan, aku perempuan. Nah, tidak perlu kudeskripsikan lebih lanjut kenapa kami selamanya tidak akan pernah bisa punya anak.
         
Setelah menunggu selama dua gelas kopi habis, kulihat Minggu muncul dari pintu kafe. Pria itu. Harus dengan kata apa aku menyebutnya selain: sempurna. Minggu menggunakan setelan jas abu-abu dengan kaos tipis berwarna hitam polos. Sambil sesekali melihat ke arah luar, pria itu melangkah mantap menyusuri barisan kursi yang masih kosong. Sengaja aku duduk di bagian sudut kafe agar bisa melihat gelagat Minggu lebih lama dari tempatku duduk. Pria yang bisa membuat Senja, sahabat baruku hampir bunuh diri dengan menyayat nadinya dalam-dalam. Beberapa sayatan besar yang untungnya gagal mengakhiri nyawa berharganya. Kurasa hingga kini Senja masih merasa jiwanya kosong. Dia hanya tubuh tanpa hati yang bisa hidup tertopang sayang orang lain. Aku salah satunya.

“Aku tidak punya banyak waktu,” Minggu duduk berhadapan denganku. Sejumput rambutnya mencuat ke kening, Minggu menepisnya sambil tersenyum geli. “Aku benar-benar tidak bisa memahami isi kepalamu. Kenapa kau, hem, bagaimana aku menyebutnya…” gumamnya, “suami mantan istriku berniat bicara serius denganku?”

Kutatap cangkir kopi yang kosong, berharap ada kopi tersisa untuk kusesap karena tenggorokanku mendadak kering. “Senja ingin punya anak,”

Selama beberapa detik, Minggu mengerjap menatapku. Aku tahu. Pria sombong ini pasti akan tertawa terbahak-bahak, menampar meja dengan tangan besarnya, dan mengatai aku dan mantan istrinya sebagai pasangan lesbi tertolol yang pernah ada. Aku sudah siap, sememalukan apapun situasi ini nantinya.
           
“Kau yakin?” Tanya Minggu.
            
“Tentu saja, dia mengatakannya padaku,” jawabku ragu. Setelah itu, kulihat ekspresi Minggu berubah sendu. Tatapan garangnya mendadak redup, tangannya yang tak berhenti mengetuk meja dengan berisik mendadak berhenti. Kulihat keningnya berkerut, seperti berusaha memecahkan sesuatu dengan otak jeniusnya. Otak yang mengantarnya jadi direktur muda perusahaan dagang swasta. Aku―sempat-sempatnya―menyerngit saat sadar kalau pria ini sejatinya memang nyaris tanpa cela.
              
“Selama empat tahun menikah, Senja tidak pernah ingin punya anak,” ucap Minggu pelan. “Kau tahu, kami seperti berlomba-lomba saling mengalahkan. Dia begitu sibuk dengan urusannya sementara aku terlalu sibuk untuk meladeni tiap keluhannya. Anak. Kupikir dia memang tidak ingin punya anak.”
         
Aku mulai bisa melihat apa yang tersembunyi di balik mata gelap si pria luar biasa. “Apa kau selingkuh karena muak pada kesenjangan hubungan kalian?”
             
Minggu menggeleng. “Tidak juga. Kami sepertinya memang tidak pernah cocok. Kami cocok karena kami merasa cocok. Seperti pecahan beling dari dua gelas yang berbeda. Sekalipun terlihat sama dan lebih indah saat disatukan, tetap saja kami dua hal yang berbeda. Perbedaannya terlalu mendasar, banyak hal yang tidak bisa kupaparkan,”
             
“Senja masih mencintaimu,” kataku. “Aku ini hanya pelampiasan. Sudah jelas dia wanita normal yang pernah menikah, sementara aku memang terlahir untuk mencintai sesamaku. Untuk mencintai mantan istrimu, tepatnya.”
            
 Minggu tersenyum kecil. Seperti bocah laki-laki yang berniat menyatakan cinta, raut wajahnya jujur dan apa adanya. Mungkin kalau aku normal, senyum itu akan sangat menawan dan dalam hitungan detik aku kejatuhan cinta sebesar dunia. Sayang aku bahkan tidak berdebar melihatnya. Debaran kecil pun tidak.
            
“Senja bilang dia ingin punya anak. Anak kami.” Aku tertawa, nyaris terbahak saking gelinya. “Aku menyerah untuk mengerti semua keinginannya.”
            
Minggu tersenyum kecil lagi, kali ini seulas senyum kosong tanpa arti. Saat dia memesan minuman, aku menelpon Senja dan mengaktifkan speaker. Ponsel kutaruh di tengah meja saat suara Senja menyahut di antara aku dan Minggu.
            
“Ada apa?” tanyanya.
              
Kulihat Minggu terpaku. Selama sedetik pria itu menatapku, sejurus kemudian matanya menatap ke tengah meja. Dalam bilah-bilah waktu yang super singkat itu, aku menyampaikan sesuatu pada Minggu. Kurang dari sedetik, kudapati diriku pasrah pada satu gagasan yang kuyakin langsung sampai pada Minggu. Aku tahu Minggu mengerti.
            
“Hei, apa kabarmu?” Minggu menyahut.
            
Hening sejenak. Kubayangkan Senja tertegun sambil menahan degup jantung yang tak karuan. “Minggu?”
             
“Aku dan Pagi sudah saling bicara. Tentang semuanya.”
            
“Kalau itu tentang perpisahan aku dan Pagi, aku tidak setuju. Aku tidak mau berpisah darinya. Kau tahu Minggu, aku bahkan akan punya anak bersama Pagi.”
             
Aku menarik nafas dalam-dalam. Minggu tersenyum seakan Senja dapat melihatnya. “Aku tahu. Kau ingat, aku juga dulu ingin punya anak saat kita masih bersama, tapi kau seperti tidak peduli. Sekarang, aku tahu kau ingin jadi seorang ibu. Bagaimana bisa aku mengabaikan kabar bahagia ini?”
            
“Apa maksudmu?” suara Senja mengecil. “Kau mau aku kembali padamu dan meninggalkan Pagi? Jangan bermimpi. Kau meninggalkanku dan saat itu hanya Pagi yang ada untuk merangkulku.”
            
“Aku tahu.” Minggu mengangguk. “Aku hanya ingin membuat jalinan rumit kita lebih sederhana. Kau ingin punya anak bersama Pagi, kan? Kau tahu itu tidak mungkin.”
             
Senja hanya diam.
           
Minggu menatapku sekali lagi, kali ini aku mengangguk mantap tanpa kata-kata. Kudengar Minggu menjelaskan semua hal, membeberkan apa yang ia dan aku tukar lewat tatapan selama sedetik beberapa saat lalu. Aku menatap gelas kopi kosongku sambil membayangkan wajah Senja yang penuh air mata. Sesekali kudengar suara tangisnya yang tertahan. Minggu menghiburnya seperti seorang ayah yang baik, seperti suami yang pernah jadi kesayangan Senja. Aku menyimak perbincangan mereka hingga akhir kata. Hingga Minggu memberi Senja kecupan di udara.
             
“Kau yakin akan melakukan ini?” Minggu menatapku lekat-lekat.
           
Apa lagi memangnya yang bisa kulakukan. Ini satu-satunya jalan agar hubungan retak kami bertiga jadi utuh dan rapat. Aku ingin melihat Senja bahagia dengan orang yang separuh jiwa milik pria yang dicintainya dan separuh jiwa dari aku yang mencintainya.
             
Segera setelah bayi tabung Minggu dan Senja cukup kuat untuk ditanam di rahimku, aku akan jadi seorang ibu. Segera setelah aku melahirkan anak itu, kami bertiga akan tersambung dan semua selesai. Matahari, begitu kami menyebut si bayi. Matahari akan membuat aku dan Senja sama-sama menjadi seorang ibu tanpa harus berdebat hebat, Matahari akan membuat Minggu bahagia karena bisa menjadi seorang ayah dengan Senja sebagai ibu anaknya.
             
Aku bahagia. Matahari adalah anakku, juga anak wanita yang kucintai bersama pria yang ia cintai. Apalagi yang kucari.


P.S. Cerpen ini dimuat dalam proyek BlackCover NulisBuku
           

2 comments: