Vanilla 1/4

"Yang biasa, ya,"
Tanpa menoleh ke arahku, mulut itu bersuara dari balik buku. Meninggalkan aku, si pekerja paruh waktu yang baru mulai kerja satu jam yang lalu, berdiri termangu. Apa dayaku menghadapi serangan semacam: yang biasa, ya.
Sadar kalau aku bahkan tak bergerak, kepala itu akhirnya terangkat. "Kamu bisa membuatkan pesananku dalam sikap lilin begitu? Hebat juga."
Aku tersenyum kelu, menahan diri untuk tidak mencabut alis tebalnya satu persatu. "Saya pelayan baru. Kalau boleh tahu, memangnya kamu biasa pesan apa?"
"Jangan selalu mau tahu urusan orang, ah. Nggak baik." Ujarnya santai. Melihat ekspresi muka anehku, keningnya berkerut. "Respon lambat dan nggak punya selera humor."
"Jadi, kamu mau pesan apa?" kusodorkan daftar menu sambil berusaha menarik nafas dalam. Atas nama cicilan kafe impian yang masih berupa gundukan kecil di tabungan, sekali lagi kuproduksi senyum khas pelayan kafe kopi ternama.
"Kopi vanilla dengan seperempat sendok teh krimer."
Sambil mengambil kembali daftar menu yang tak disentuhnya sama sekali, aku manggut-manggut dalam hati. Pantas kelakuannya aneh. Orang normal mana yang repot menentukan takaran seperempat sendok teh krimer untuk kopinya. Sebagai peracik kopi pemula, aku tahu kalau seperempat dan setengah tak jauh berbeda. Bahkan nyaris sama. Dan pria yang alisnya seperti ulat bulu itu ngotot ingin seperempat.
"Kalau mandi atau cuci tangan, sebaiknya lepas gelang kayu Turki-mu. Itu jenis kayu yang kalau terkena air, baunya akan keluar, kan? Sayang kalau aroma antik itu hilang."
Aku memberinya tatapan sendu. Yah, kau dan mulut besarmu yang sok tahu.


Di pertemuan kedua kami yang sama sekali tak kukehendaki tapi mau tidak mau harus terjadi, si alis ulat bulu mengajukan beberapa pertanyaan padaku. Dan lagi-lagi, apa dayaku yang seorang pelayan menghadapi dia si pelanggan. Pembeli toh adalah raja. Dia si raja ulat bulu dan aku si pelayan bak babu.
"Menurutmu, kenapa seorang wanita kepingin jadi sosok mandiri?"
"Pertama, pahamilah dulu konsep emansipasi. Kami para wanita juga nggak sudi hidup terbelenggu dan dianggap lemah. Perlu lebih dari sekedar nyali untuk sadar kalau kami pada akhirnya hanya bisa berdiri di atas kaki kami sendiri."
Dia menatapku. "Itu curhat?"
"Terserah apa katamu," buru-buru aku mengambil cangkir kosongnya untuk diganti dengan yang baru.
"Jadi, sebagai wanita mandiri, bisnis apa yang mungkin bakal kalian jalankan?"
Perutku tergelitik geli. Itu pertanyaan yang bisa memancing jawaban sepanjang trilogi 'Hunger Games'. Cerita yang dalam penuturannya akan menyeret secuil trauma masa lalu sekaligus harapan besar untuk masa depan. Kutatap lagi mata bulat itu. Dia sedang memandangiku dengan tawa tertahan.
"Saya harus kerja," kataku. Cih, bisa-bisanya aku terpikir untuk menceritakan hal begitu besar pada pria jahil ini. Mana dia mengerti. Aku benci membeberkan sesuatu yang penting pada orang-orang yang tak sungguhan peduli.
"Ayolah, aku butuh pendapat dari wanita sepertimu. Keras kepala, sedikit naif, tapi nggak pandai menyembunyikan tekad. Tipe wanita yang baru beranjak mandiri." Dia mengangkat bahu. "Kalau begini, bukuku nggak akan selesai,"
"Kamu menulis buku?" aku menatapnya lewat ekor mata.
"Baru mulai. Nanti kalau naskahnya diterima, namamu bakal kusisipkan di daftar orang yang kuberi ucapan terima kasih. Mau?"
Kenapa aku ditakdirkan punya kepala keras tapi hati lemah. "Sebentar lagi giliran kerjaku habis, setelah itu kamu boleh mengorek semua impian bisnisku." Kusodorkan tangan padanya. "Libra,"
"Aku Joobu, panggil saja Jo." Rupanya Jo membaca air mukaku. Sambil mengeluarkan buku kecil dari saku mantelnya, dia menjelaskan, "Joobu itu Bahasa Jepang. Artinya: kuat."

Awalnya kupikir aku dan Joobu akan melakukan semacam wawancara kaku tanpa babibu. Kakakku dulu seorang jurnalis sebelum dibawa suaminya ke Swiss. Kami melakukan proses tanya jawab yang serius selama dua jam yang langsung membuat leherku kaku. Tapi, Joobu punya cara lain untuk mengorek informasi. Dia mengajakku bercerita seperti dua teman lama dan tahu-tahu aku sudah berceloteh seperti orang kesurupan.
"Sebuah kafe yang sederhana, nggak perlu terlalu besar tapi cukup nyaman untuk disesaki beramai-ramai. Ada satu rak buku besar di tengah kafe, dua rak buku kecil di ujung kanan kiri, dan jendela kaca besar. Wallpaper-nya abu-abu dengan semburat merah muda. Aku mau kafe itu nantinya identik dengan pancake."
Joobu menyerngit. "That's not you, actually,"
"Memangnya aku kayak apa, menurutmu?"
"Kamu itu identik dengan sebuah kafe yang semuanya kayu. Lantai parket kayu, meja kayu, termasuk bar kecil yang entah bakal diletakkan dimana itu juga kayu."
"Terlalu berat. Aku kepingin kafe itu terasa ringan dan menenangkan. Kamu tahu, seperti pemberhentianmu kalau lelah, tempat yang kamu pikirkan untuk bersantai."
Joobu mengangguk. "Kenapa kafe?"
Yah, akhirnya pertanyaan ini. Sampai juga aku pada penjelasan pertanyaan paling mendasar ini. Ingin sekali kuminta Noy, si tukang racik kopi yang juga merangkap pemutar musik kafe, mengganti lagu jadi 'Fireworks' sebagai pengiring ceritaku. "Aku punya banyak kenangan di kafe."
Dan, terbeberlah semua itu. Betapa kafe, meski terlihat sebagai tempat tongkrongan biasa, menyesap kopi, menikmati kue, dan bertukar haha hehe, artinya sebesar dunia buatku. Aku bertemu calon suamiku di kafe langgananku.
"Kamu menikah?" Joobu terkesiap. Matanya mencari cincin di jari-jariku yang polos. Ekspresi kagetnya yang agak berlebihan membuatku geli.
"Kan kubilang, calon suami."
"Jadi, nggak lama lagi kamu menikah? Kamu tunangan orang?"
"Tadinya. Setahun yang lalu, kami batal menikah. Putusnya di kafe pula," sahutku. Dari kaget setengah mati, muka Joobu berubah jadi penuh simpati. Jenis muka yang banyak kau temui di acara amal penggalangan dana untuk korban bencana alam. Kutinju lengan kurusnya dengan kuat, aku benci dikasihani. "Oh please, look at your ugly face! Aku nggak butuh muka memelasmu. Ingat, alasanmu memilihku kan, karena aku model tulisanmu. Wanita mandiri."
Joobu menulis sesuatu di buku kecilnya, masih dengan muka takjub. Merasa dia sudah tahu salah satu luka terbesarku di masa lalu, aku jadi kepingin tahu urusan pribadinya. "Berapa umurmu?"
"Hem... dua bulan lagi 28 tahun. Kamu?"
"Empat bulan lagi 25 tahun. Kamu menikah?"
"Nggak." Joobu mengangkat kepala, menatapku sejenak sambil menyesap kopi tanpa suara. "Aku anti-komitmen."
Tahu-tahu, aku dan Joobu yang mulai meruntuhkan perisai dan mencoba lebur dalam obrolan santai kami, melihat tembok yang begitu besar jatuh dari langit-langit kafe ke tengah meja. Membatasi jarak pandang kami. Aku yang bertutur tentang kegagalan menikah pada dia yang anti menikah.
"Li, kamu keberatan kalau aku menyumbang satu calon nama untuk kafemu?" tanyanya. Aku menggeleng santai, memberinya ruang berpikir sejenak. Aku toh belum memikirkannya.
"Gimana kalau: 'Vanilla Hore'?"
"Yang benar saja, itu lebih terdengar kayak tempat prostitusi ketimbang nama kafe."
"Well, 'Vanilla 1/4'?"
"Heh, ini kafeku, bukan kafe bersama. Jangan masukkan seperempat andalanmu ke dalam namanya," dengusku. "Memangnya apa makna seperempat?"
"Satu dibagi empat. Ibuku untuk kami berempat." Joobu memainkan kertas di tangannya. "Ayahku yang keparat itu pergi bersama wanita lain. Tinggal Ibu, seorang diri, sibuk membagi semua cinta dan waktu untuk aku dan tiga adikku. Aku suka seperempat."
Kita memang hanya manusia yang pandai menilai luar tanpa pernah benar-benar paham. Hobi menilai seseorang padahal sama sekali tidak tahu apa-apa. Hari ini, sore ini, aku tahu bahwa tiap orang punya filosofi hidupnya sendiri. Aku bukan pemilik beban terberat, Joobu juga ternyata bukan penulis iseng yang kerjanya berlama-lama di kafe dengan seperempat sendok teh krimer-nya. Selalu ada alasan. Kadang kita hanya malas memahami.
"Oke. 'Vanilla 1/4' masuk daftar nama cadangan."
Joobu tertawa. Sangat lebar hingga barisan gigi putihnya yang tak terkalah oleh kopi tertangkap mata. Dan rasa-rasanya, di detik itulah aku tergelincir ke kubangan berbahaya bernama cinta. Dari tergelincir, aku malah makin terperosok oleh suara tawanya, peluk hangatnya, dan kopi vanilla seperempatnya yang jadi favorit berdua. Tanpa komitmen, tanpa ikatan, tanpa kepastian. Aku mencintainya dengan semua, merindukannya dengan gejolak rahasia, dan perlahan terbiasa mematri muka lucunya di bawah sadar sana.
Aku lupa. Benar-benar lupa. Bahwa cinta yang dimulai tanpa aba-aba, seringnya juga terhenti tanpa tanda-tanda. Seperti Joobu, yang setelah bukunya sukses terbit, tahu-tahu menghilang seperti selenyap debu merangsek celah jendela. Aku ingat rasanya tulang yang menggigil saat membuka halaman pertama bukunya, tempat dimana janji dari mulut busuknya terucap. Namaku bahkan tak ada disana.

Tiga bulan sudah aku mondar-mandir kafe tanpa melayani si pelanggan utama. Pria berambut dan beralis tebal, yang lengannya kurus itu benar-benar tinggal sepotong kenangan. Pemenuh memori otak akan ingatan busuk. Kukatai dia keparat, kumaki diri sendiri bangsat. Sudah pernah disakiti, malah menjatuhkan hati pada pria yang kelihatannya baik hati. Padahal, jelas-jelas persamaan besar kami hanya kopi. Padahal, jelas-jelas di percakapan pertama itu, tembok prinsip raksasa menghadang tepat di bagian hidung dan aku bahkan masih ingat bau pahitnya. Bau kekecewaan karena pria yang diam-diam kukagumi karena menyenangkan, ternyata anti ikatan.
"Libra, bangun. Kenapa kamu tidur disini?"
Hidungku mencium bau kopi. Bukan kopi biasa, melainkan kopi vanilla dengan racikan yang sudah kubuang jauh-jauh sejak tiga bulan lalu. Di depanku, pria itu duduk. Dengan wajah datar, tanpa ekspresi, dan memandangiku. Joobu.
"Kenapa kamu ada disini?" suaraku melengking. Itu lengkingan wanita sakit hati yang muak melihat bayangan masa lalunya muncul dalam bentuk begitu nyata.
"Aku kan, mau ketemu kamu. Memangnya apa lagi?" katanya santai. Dia menyodorkan sebuah buku padaku, buku baru yang sepertinya berbeda dengan buku pertamanya yang mencatut kisahku itu. Kepalaku terasa seperti direndam ke air cucian kotor.
"Maaf, aku bukan seperti kebanyakan wanita yang lalu lalang di kehidupanmu. Aku ini keras kepala, seperti katamu, dan aku keras pada prinsipku." Kupegangi kepala tempat marah dan rindu mulai bergulat seru. "Demi Tuhan, kamu memang nggak punya malu."
"Duduk dulu," tangannya meraih lenganku dan dengan cepat menariknya hingga aku terduduk. Pada Noy, dia memesan segelas kopi vanilla seperempatnya itu. "Aku sudah menerima royalti dari buku pertama yang laris itu. Di luar dugaan, uangnya cukup besar."
Kugulirkan bola mata tanda muak. "Oh,"
"Kamu nggak senang?" tanyanya. "Itu cukup untuk melengkapi tabunganmu lalu kita bisa membangun 'Vanilla 1/4' lho!"
Kali ini, aku tercenung.
"Aku mati-matian minta royaltiku cepat dicairkan, yah, sambil buru-buru menyelesaikan buku yang ada di tanganmu itu," Joobu tersenyum kecil. "Sulit, tapi untungnya aku berhasil."
Aku masih tercenung.
"Itu sampel buku keduaku yang akan kuterbitkan, tapi belum selesai karena aku masih butuh jawabanmu," Joobu memberiku pena, tangannya sedikit bergetar. "Nih, baca baik-baik. Setelah itu kamu bebas menjawab apa."
Dilatari bunyi kopi vanilla yang diseruput Joobu, suara obrolan beberapa pengunjung kafe, dan alunan 'This I Promise You' dari N'Sync, aku membaca buku tipis itu sambil menahan segala rupa perasaan di dada dan kepala. Buku itu menceritakan pertemuan pertama kami, percakapan dan semua obrolan kami, betapa Joobu mati-matian memungkiri perasaannya tapi malah semakin tergila-gila pada aku yang katanya kuat sekaligus rapuh. Betapa motivasinya menerbitkan buku tahu-tahu berubah dan semua jadi melulu soal 'Vanilla 1/4', kafe idamanku. Betapa dia mendadak seperti orang gila karena terobsesi membuat kafe jadi tempat indah buatku demi mengubur masa kelam itu. Masih dengan tangan gemetar, kubaca kalimat terakhir buku luar biasa itu:
Libra, kamu mau jadi ibu dari empat anakku? ....
"Apapun jawabanmu, buku itu akan tetap diterbitkan," kudengar Joobu bersuara. "Cepat ambil penamu dan akhiri semua carut marut yang nyaris membunuhku ini,"
Alih-alih menuliskan jawaban, aku yang terlampau sulit berkata-kata malah meneguk kopi vanilla dengan cepat. Satu cangkir tandas tanpa sisa dan kulihat muka Joobu terpana. Saat alisnya bertaut, aku sudah selesai menulis jawaban pertanyaannya.
Joobu tertawa sampai air mata menitik di ujung mata bundarnya sementara aku menangis tanpa suara. Kami berdua memandangi jawabanku sambil meraup bahagia.
Empat anak? Nikahi dulu aku, alis ulat bulu!

 P.S. Cerpen ini dimuat dalam proyel At The Caffee Nulis Buku

4 comments: