Aku Ingin Pulang


Sore itu, acara duduk santai sendiriku terganggu. Seorang wanita paruh paya, tergopoh membawa dus besar yang begitu penuh dengan barang. Aku bangkit untuk membantunya meletakkan dus di bawah pohon sementara ia duduk dengan lega di samping tempat dudukku. Kursi kayu tua yang biasanya kududuki sendirian, kini harus kubagi dua. Belum lagi tampaknya wanita ini ingin membagi cerita.

"Aku pergi dari rumah," katanya tiba-tiba. Sambil menyesap kopi yang telah dingin, aku berusaha menyembunyikan ekspresi kaget yang muncul. Ia melanjutkan. "Suamiku pergi bersama wanita lain. Padahal sudah tua begitu, bukannya mencari hari tua yang tenang malah mencari masalah. Malah mengikuti nafsu. Memangnya aku kurang apa?"

Hatiku terenyuh. Kalau bukan karena gelas kopi yang kemudian kugigit kuat, mungkin bibir ini sudah berdarah karena kugigit dengan gemas. Wanita ini sama denganku. Aku pun pergi dari rumah, meninggalkan suamiku dan semua hal menyiksa itu. Tak bisa kukatakan siapa yang lebih beruntung, aku juga berada dalam posisi paling tak diinginkan.

"Kupikir, dia sungguhan pria yang akan menemaniku sampai akhir. Bajingan itu. Keparat yang menyiakan puluhan tahun pernikahan, membuang semua waktuku. Dan semua yang kuberikan ternyata masih belum cukup, dia menukarnya dengan wanita yang belum tentu akan mencintainya sampai mati."

Aku mengangguk pelan, nyaris tak terlihat mata. Tidak, suamiku tidak mengkhianatiku. Akulah yang mengkhianatinya. Aku meninggalkannya dengan ketakutan besar bahwa dia tak akan lagi bisa mencintaiku selamanya. Sesuatu terjadi, pernikahan tujuh tahun kami goyang, dan kuputuskan untuk jadi yang pertama menyerah dan angkat kaki. 

"Tapi, aku mencintainya..."

Isak tangis memilukan tiba-tiba memenuhi udara. Hening yang janggal, tiba-tiba terisi oleh raungan menyayat hati yang datang dari mulut wanita yang tadi mencaci maki. Kemudian, amarahnya luruh, lenyap begitu saja bersama sumpah serapah pada sang suami. Semua lagi-lagi karena wanita ini sadar, bahwa dia begitu mencintai suaminya. 

Begitu cinta hingga tak bisa berbuat apa-apa.

Tanpa sadar, kupeluk pundaknya yang bergetar hebat. Berkali-kali dia meneriakkan nama suaminya, nama Tuhan. Bergantian, ke arah langit yang hampa dan tanpa jawaban. Teriakannya memecah doa-doa yang beriringan menuju langit, minta dikabulkan. Teriakannya, datang dari jiwa yang memberontak, bergelung menjadi doa yang minta dikabulkan segera. Membuat takut doa-doa sederhana di sekitarnya.

"Tuhan, aku ingin bertemu dia!" ratapnya. "Aku ingin bersama dia selamanya! Tidak bisakah Kau memutarbalikkan waktu? Tidak bisakah Kau mengembalikan dia padaku?"

Di titik itulah, pundakku ikut bergetar. Sesuatu dalam diriku ikut luruh, ikut meleleh pada teriakannya. Pada permintaannya yang sangat sederhana. Ia hanya ingin bertemu dan bersama seseorang yang begitu dicintainya. Ingin memeluk dan mendengar suaranya. Permintaan hakiki semua hati, namun kini terasa mustahil baginya untuk dimiliki. Kupeluk ia dengan erat. Entah menenangkannya atau tidak, entah membantu melepas lukanya atau tidak. Aku hanya ingin ia berbagi sakit yang tak terucap itu.

Entah berapa lama kami saling merangkul pundak. Wanita yang terlihat kuat tapi nyatanya rapuh itu pamit pergi padaku sambil membawa dus besarnya. Tapi kini kulihat langkahnya lebih kokoh, pundaknya lebih tegak. Kuharap, meski Tuhan mungkin tak akan mengabulkan semua rintihan tadi, Tuhan telah meniupkan kekuatan ke jiwanya yang robek.

Kutarik napas dalam-dalam. Baru saja kuresapi satu pelajaran, singkat tapi menampar dengan telak. Semua nasihat terdengar omong kosong buatku, alih-alih menurutinya. Ternyata harus dengan raungan rindu orang lain, aku sadar bahwa tidak ada yang lebih berharga dari belahan jiwaku.

Sekalipun anakku meninggal dalam kandungan. Sekalipun kemudian rahimku diangkat hingga tak lagi bisa memberinya buah hati. Sekalipun rasanya dunia runtuh di atas kepala kami. Sekalipun dunia ini berakhir.

Aku ingin terus bersama suamiku. 

Kuucapkan salam perpisahan pada kursi taman yang jadi saksi bisu segala pilu. Kakiku menolak istirahat lagi, hatiku menolak menoleh ke belakang lagi. 

Aku ingin pulang.

4 comments:

  1. bagus ndah, aku seneng kalimat yang "semua nasehat terdengar omong kosong buatku" trus karna "ternyata harus dengan naungan rindu orang lain". itu bener nian ndah,hehehe

    fighting dear..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semoga Nita nggak lagi ngerasain yang sedih-sedih ya. Hahaha terima kasih, Nita. :*

      Delete
  2. terkadang memang khawatir pasangan akan memilih tidak setia itu sakit yee ndaah hehehe,seharusnya pasanganny yang lebih bisa menenangkan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul. Percaya sepenuhnya itu hampir terdengar mustahil sih, jadi memang butuh saling meyakinkan. Banyak yang pandai berkata manis dan menenangkan, tapi kelakuannya malah berkebalikan. Hahaha.

      Delete