Selamat pagi, Minggu Junior!

Kupikir, suami yang sepanjang hari tersenyum hanya sebuah dongeng. Kupikir, suami yang bisa membaca hati hanya sebuah cerita indah yang tidak pernah terwujud. Kupikir, suami yang polos dan tak tergerus dunia hanya sebuah harapan terlampau muluk. Ternyata apa-apa yang kupikir sungguhan jadi nyata.

"Selamat pagi, Minggu!"

Minggu menengok pelan padaku yang masih bergelung di dalam selimut. Cahaya matahari tumpah di wajahnya hingga ia harus menyerngit untuk bisa melihatku dengan jelas. "Hai," sapanya. "Jangan berdiri di depan pintu begitu, ayo bantu aku menanam bunga matahari."

"Untuk apa, sih?" kulempar selimut ke sofa lalu berjingkat ke sisi Minggu yang sedang berjongkok menanam bibit bunga matahari. Minggu memang cekatan dalam semua hal, tapi menanam bunga adalah hal yang baru kulihat sejak kami menikah dua tahun lalu. 

"Aku semalam bermimpi melihat anak-anak main di halaman belakang sambil tertawa geli, kelihatan bahagia sekali," Minggu bergidik, sepertinya merinding merambat di tengkuknya. "Begitu bangun, hatiku lumer. Rasanya begitu hangat, kamu tahu, anak-anak kita berlarian memanggil nama kita dengan pipi memerah dan senyum lebar."

Hatiku ikut hangat mendengarnya bicara begitu polos. "Dan kamu melihat bunga matahari?"

"Ya," dia mengangguk. "Aku melihat mereka dari sela batang-batang bunga matahari. Nggak terlihat jelas memang, tapi aku bisa mendengar suara mereka. Aku bahkan mendengar salah satu dari mereka memanggilku, 'Ayah!' lho!" Minggu tergelak, wajahnya makin merah. "Rasanya aku ingin menyahut panggilan itu, tapi aku malah terbangun."

"Dan karena itulah kamu langsung menanam bibit matahari yang sudah dua minggu di lemari ini?" 

"Kupikir, inilah saatnya. Rasanya ini tanda-tanda Tuhan untuk bilang kalau sudah saatnya kita memiliki 'mereka' sekarang." Minggu menatapku. "Kamu nggak keberatan kita nggak akan bisa menikmati Hari Minggu berduaan lagi, kan?"

"Aku keberatan melewatkan Hari Minggu bersama Minggu junior yang pasti lucu-lucu dan hebat itu?" kurangkul tangannya dengan cepat. "Tenang saja, Sayang. Melahirkan anak-anakmu adalah tujuan hidupku, kok."

Minggu tertawa, tawa geli seperti anak kecil yang perutnya dikelitik dagu sang ayah. Ini pertama kalinya kulihat suamiku menginginkan sesuatu dengan begitu menggebu, seperti hidupnya rela diserahkan asal keinginannya terwujud. Ini pasti Minggu paling membahagiakan buat Minggu-ku.

"Selamat pagi, Minggu junior!" aku dan Minggu berbisik bersamaan, pada bibit bunga matahari yang baru saja kami tanam.

Minggu (cerita Minggu sebelumnya)

No comments:

Post a Comment