Hanya Kebetulan

Ini hari terkacau sepanjang hidup. Ketinggalan pesawat, harus membeli tiket baru dengan penerbangan yang masih empat jam lagi, tanpa sepeser pun uang untuk sekadar beli minum. Kemarin sore, tasku dijambret dengan keji oleh keparat yang kehabisan akal untuk mencari kerja halal. Bukan uang yang kupermasalahkan, tapi semua tetek bengek di dalam tas dan dompet yang ruwet luar biasa untuk diurus ulang. E-ktp, kartu debit, kartu kredit, buku tabungan, kartu nama semua kolega penting, beberapa catatan kecil dari keluarga dan sahabat saat ulang tahunku yang ke-19. Termasuk dompet putih pupus itu, pemberian ayahku di ulang tahun yang sama. Paket dompet dan isinya yang sudah bersamaku selama 7 tahun, lenyap dan kini entah dibuang kemana. 

Kemarin sore. Baru saat itu aku mengenal rasa ingin melenyapkan hidup seseorang.

Untung ponsel selalu kuselipkan di saku celana hingga tak ikut bergabung dengan dompet dan tas diluar sana. Baru saja kukeluarkan powerbank dari tas untuk memberi transfusi hidup pada ponsel yang sekarat, seorang pria menghambur ke kursi di sebelahku dengan terengah-engah.

"Aku boleh pinjam powerbank-mu, nggak? Ini penting sekali."

Hei, dia menguntitku atau apa. Baru beberapa detik benda ini melihat dunia, dia langsung menghampiriku dengan kecepatan setan, seperti sudah mengantisipasi semua gerakanku. Kukerutkan dahi sambil menarik powerbank menjauh dari raihan tangannya.

"Aku juga sedang butuh, tahu."

"Istriku akan melahirkan, aku mesti menghubunginya sekarang," dia memelas.

Belum sempat berpikir apa-apa, tahu-tahu powerbank-ku sudah berpindah tangan, disambut muka sumringahnya yang mekar dengan begitu lugu. Ternyata, masih ada senyum semacam itu. Kupikir spesies pria yang mahir tersenyum tulus sudah punah di muka semesta. Pria-pria yang kukenal mulai pandai memasang senyum palsu untuk melapisi omong kosong mereka. Senang rasanya tahu masih ada yang mampu memproduksi senyum sejuta watt.

Dan lagi, dia ternyata calon ayah muda. Aku suka pria yang kelihatan bisa jadi ayah yang baik.


Aku menguntitnya lewat ekor mata. Dia kembali ke tempat duduknya, bersebrangan serong denganku. Masih mengobrol dengan istrinya ditelpon, ekspresinya tampak tak bahagia. Alisnya berkerut, nada bicaranya naik turun, helaan nafasnya lebih sering terdengar ketimbang suaranya. Aku yang minim pengalaman menguping suami istri sama sekali tidak mengerti apa-apa. Kenapa mereka bertengkar disaat sang istri akan melahirkan sang buah hati dan sang suami cemas menanti. 

Sepuluh menit kemudian, dia berjalan gontai ke arahku. Begitu kuterima powerbank yang menghangat dari tangannya, dia jatuh lunglai terduduk di sebelahku.

"Aku putus," katanya.

"Hah?" aku melongo. "Putus, bagaimana?" Memangnya suami istri bisa putus?

"Itu tadi bukan istriku, tapi pacarku."

"Hah?" aku makin tak mengerti.

"Masa kamu belum mengerti juga, sih? Aku tadi membohongimu, tahu."

Sementara dia sibuk merutuki hubungannya yang baru saja berakhir, aku merutuki satu lagi kebodohan diri sendiri. Saat dia mulai mengajakku bicara, buru-buru kugeret koper lalu pindah tempat duduk. Jauh dari penglihatannya, jauh dari suara nge-bass-nya yang menyebalkan, jauh dari kemeja denim-nya yang keren, jauh dari pandangan matanya yang tajam. Bisa-bisanya.

Dan, itulah kenapa kita dilarang membenci seseorang begitu rupa. Aku dan dia sama-sama dihukum Tuhan. Di pesawat, bangku kami bersebelahan. Tidak bersebelahan langsung memang, kursiku dan dia berbatas jalan kecil. Aku di kanan, dia di kiri.

Bukan Tuhan namanya kalau tidak menyodorkan cerita menggelikan.

"Maaf ya," katanya padaku saat pramugari sedang memeragakan cara memakai rompi keselamatan darurat. Aku pura-pura tidak mendengar, fokus pada pramugari. Dia meninggikan suaranya hingga terdengar lebih kencang dari suara si pramugari.

"Hei, aku bilang maaf barusan,"

Beberapa orang menoleh ke arah kami berdua. Aku terpaku malu sementara dia malah mencuil tangan kiriku. "Aku bakal terus meminta maaf dengan volume suara begini kalau kamu nggak memaafkanku,"

Kupelototi dia sambil mengangguk kecil dengan cepat. Dia tersenyum lagi, kali ini lebih lebar dari saat di ruang tunggu. Jantungku berdenyut kali ini. Apa-apaan.

Saat keadaan mulai tenang dan aku mulai mengantuk, dia mengajakku mengobrol lagi. "Hei, kamu percaya kebetulan, nggak?"

Kubuka mata perlahan. "Nggak."

"Kenapa?"

"Karena semua yang terjadi di semesta ini sudah diatur oleh Tuhan."

"Oh, kamu percaya Tuhan?"

"Memangnya kamu nggak?" kali ini mataku telah terbuka sempurna, sedikit terkejut pada pertanyaannya. Untungnya, dia menggeleng setelah itu.

"Percaya dong. Hanya saja, akhir-akhir ini banyak yang mempertanyakan Tuhan saat sesuatu yang buruk menimpa hidupnya. Aku bukan orang suci sih, tapi aku masih percaya kalau Tuhan itu... perencana yang hebat."

"Termasuk saat Tuhan merencanakan kamu akan putus hari ini?" todongku.

"Termasuk yang itu," dia mengangguk cepat.

Aku mengangguk pelan. Masih setengah tak percaya pada kata-katanya. Semua orang bisa berkata manis seenaknya, tapi hati hanya ia sendiri yang sungguhan tahu. Untuk saat ini aku lebih ingin percaya kalau masih ada yang satu paham denganku, bahwa tidak ada kebetulan di dunia ini.

"Kamu mau sesuatu, nggak?" tanyanya lagi. Saat itu pramugari sedang mendorong kereta makanan ke arah kami. Aku melihatnya merogoh sesuatu dari ransel biru tuanya, lalu menyodorkan bungkusan bening padaku. "Buatmu saja. Tadinya mau kuberikan untuk pacarku."

Sekujur tubuhku merinding. Hawa dingin aneh menyergap tengkuk belakang lalu memelukku dengan kuat hingga akal seperti hilang. Mataku mulai berair tanpa alasan. Pramugari mengatakan sesuatu soal tanganku dan dia yang menghadang jalan kereta makanannya. Tapi tanganku yang terangkat setengah bahkan tak beranjak.

Dompet putihku.

"Kenapa?" tanyanya saat pramugari sudah lewat dan tanganku sudah meraih pemberiannya. Dompet putihku, hanya saja ini masih baru dan bagus. Tanpa lecet dan bekas terjatuh beberapa kali, bentuk yang masih proporsi karena tanpa isi, dan hiasan yang masih terpasang rapi.

Bagaimana bisa.

"Ini pasti kebetulan," gumamku. "Kebetulan yang terlalu sialan."

"Kenapa sih?" dia bertanya lagi, kali ini dengan suara cemas.

"Kapan kamu membeli dompet ini?" tanyaku ragu.

"Kemarin sore," jawabnya polos.

Tuhan sayang, katakan padaku kalau ini sungguh-sungguh hanya kebetulan.


No comments:

Post a Comment