Kacau sekali. Rencananya sore ini akan kuhabiskan sendiri di pojokan kafe sambil minum kopi sampai mual. Aku tidak suka kopi. Tapi kata orang, kopi kini lebih sering jadi minuman pelarian. Ada ratusan beban, kerjaan, dan deadline, teraduk di kopi yang hitam. Pekat. Seperti sekumpulan masalah yang tak kunjung usai. Tak kunjung menemukan titik temu hingga jemu. Sore ini aku ingin mengadu pada kopi tentang ulang tahunku yang rubuh seperti longsoran salju.
Bahagia sekali. Lalu berduka sekali.
Tapi, di tengah sesi tanya jawabku dan kopi, kafe yang biasanya senyap mendadak ramai pengunjung. Mula-mula penuh di dekat pintu, kemudian bagian tengah kafe ikut terjajah, hingga aku yang berda di pojokan harus berbagi meja dengan pengunjung lain. Salahku memang. Aku memilih meja untuk empat orang. Tapi, peduli apa.
Apa pemilik kafe sungguhan mengizinkan privasi pengunjungnya terganggu hanya karena mengejar setoran? Aku sedang ingin menikmati waktu sendiri, Bung. Sedang tidak ingin beramah tamah dengan penghuni meja lain. Memang apa enaknya minum kopi bersama orang asing?
Di hadapanku ada seorang wanita kantoran berpakaian santai. Cantik. Rambutnya dicepol asal, beberapa helai menjatuhi pipinya yang mulus. Kuperhatikan wajahnya hanya dipoles bedak tipis dan pelembab bibir merah muda. Terlihat kacau dengan tumpukan kertas dan sampel majalah di tangan kirinya dengan pena di tangan kanannya. Matanya bolak-balik antara kertas dan ponsel yang layarnya tak kunjung terang.
Kontras dengan pemandangan sibuk si wanita penuh kertas, wanita berwajah kecil di sisi lain malah minim gerakan. Serba kecil. Secara fisik dan karakter, kutebak dia tak punya sesuatu yang benar-benar menonjol. Emosi dan ekspresi sama datar. Persis kakak perempuan tertuaku. Gerakan dan pandangannya terfokus pada gelas teh mint yang masih mengebul dan layar ponsel yang selalu terang. Selalu banyak notifikasi masuk tapi jarang dihiraukan.
Edan. Aku mendapat pemandangan serba bertolak belakang tepat di hadapan.
"Ada apa, sih?" tanyaku gerah saat pengunjung kafe mulai sesak tak wajar. Beberapa orang berdiri dengan mimik panik di depan kasir, meja-meja untuk empat orang mulai dipaksa muat untuk enam orang.
"Ada kejutan ulang tahun, katanya," wanita penuh kertas buka suara. "Aku digusur dari singgasana di dekat kaca oleh teman-teman si empunya kejutan."
"Kejutan ulang tahun? Sesederhana ini?" kuamati suasana kafe yang tanpa dekorasi. Tanpa balon, tanpa umbul-umul, atau apapun yang berwarna-warni khas pesta ulang tahun.
Sementara aku dan si wanita kertas hanya saling menatap, si pendiam bergumam. "Tapi sepertinya akan terjadi sesuatu yang besar."
Benar saja. Begitu kami memalingkan muka ke pintu masuk, seorang pria berjas rapi datang membawa sebuket mawar plus wajah tegang. Badannya terlalu kurus untuk memakai jas berpotongan lebar, tapi entah kenapa wajah gelisah-sumringahnya membungkus penampilan kikuk jadi antik. Lalu seperti yang sudah bisa ditebak, seorang wanita masuk seorang diri. Setengah bingung pada pemandangan di sekitarnya, dia bertanya tanpa suara pada si pria berjas. Dengan suara serak, si pria mengucapkan selamat ulang tahun. Seisi kafe termasuk si wanita tergelak, lalu mendadak senyap saat si pria mengeluarkan cincin dari kotak kecil di sakunya.
"Ini persiapan yang terburu-buru. Ide melamarmu hari ini tercetus begitu saja saat aku pulang kerja. Jas kebesaran ini punya atasanku. Tapi untungnya, cincin ini sudah kusiapkan dari jauh hari. Aku hanya menunggu nyali."
Kami semua menahan napas.
"Kamu mau menikah denganku?"
Acara kejutan ulang tahun plus lamaran mendadak sudah berlalu lima belas menit lalu. Suasana kafe mulai lengang, meja-meja mulai kosong, tapi yang tidak kumengerti bagian dimana kami bertiga masih ada di satu meja bersama. Tanpa suara. Mereka berdua tak kelihatan berniat ingin pindah tempat, si wanita kertas juga tak bergerak padahal meja keramatnya sudah kosong sedaritadi. Kami masih di satu meja yang sama tapi tanpa berkata-kata.
Perasaanku campur aduk. Habis sudah rencana menghabiskan sore dengan merenung bersama kopi. Belum lagi kejutan ulang tahun plus lamaran tadi. Berantakan tapi membuat iri. Keputusan mendadak si pria untuk melamar kekasihnya sore ini bisa dibilang mirip dengan keputusanku menjadi milik kekasihku saat ini. Ah, kalau dirunut lagi, pertemuan kali tidak masuk akal sama sekali. Tidak seperti pertemuan alami lain yang terjadi di kampus atau kantor, kami bertemu di pinggiran danau. Aku menemui dia karena penasaran, tepatnya. Tipe pertemuan dalam cerita sastra, tertarik karena mendadak semesta seperti mengirimkan tanda-tanda.
Tapi, kekasih bermata abu-abuku lupa mengucapkan selamat ulang tahun.
Dan ini sudah lewat sehari.
"Menurut kalian, aneh nggak kalau pacar melupakan hari ulang tahun kita?"
Mataku membulat. Kuharap pertanyaan tadi tidak sungguhan keluar dari mulutku pada dua wanita asing ini. Tapi sepertinya memang sudah keliar dari mulutku karena kini kedua wanita itu sedang menatapku bersamaan. Si wanita pendiam yang lebih dulu menjawab.
"Aneh. Buatku, hari ulang tahun adalah hari paling penting."
Hatiku menciut. Nah, kan!
"Nggak," sergah si wanita kertas. "Karena kalau pacarku mendadak ingat ulang tahunku lalu memberi kejutan, kupastikan dia sedang kerasukan. Atau itu dia tapi bukan dia. Atau dia sedang punya waktu yang super senggang yang lucunya nggak pernah dia punya."
Aku dan si wanita pendiam kini menatapnya bersamaan. Penasaran sekaligus kasihan. Gila. Mana ada pria tanpa hati semacam itu. Kalaupun ada, kupastikan umur hubunganku dengannya tak lebih lama dari proses biji menjadi kecambah.
Si cewek pendiam menanyakan ulang tahunku. "Kemarin," gumamku. "Ini ulang tahun pertama. Kalian wanita, pasti tahu rasanya berharap diberi ucapan manis. Aku nggak butuh kejutan, nggak butuh pengakuan di keramaian. Aku hanya ingin dia yang bagiku begitu penting ada di momen terpenting. Tapi, hari besar itu bahkan sudah lewat sehari."
"Ini persiapan yang terburu-buru. Ide melamarmu hari ini tercetus begitu saja saat aku pulang kerja. Jas kebesaran ini punya atasanku. Tapi untungnya, cincin ini sudah kusiapkan dari jauh hari. Aku hanya menunggu nyali."
Kami semua menahan napas.
"Kamu mau menikah denganku?"
Acara kejutan ulang tahun plus lamaran mendadak sudah berlalu lima belas menit lalu. Suasana kafe mulai lengang, meja-meja mulai kosong, tapi yang tidak kumengerti bagian dimana kami bertiga masih ada di satu meja bersama. Tanpa suara. Mereka berdua tak kelihatan berniat ingin pindah tempat, si wanita kertas juga tak bergerak padahal meja keramatnya sudah kosong sedaritadi. Kami masih di satu meja yang sama tapi tanpa berkata-kata.
Perasaanku campur aduk. Habis sudah rencana menghabiskan sore dengan merenung bersama kopi. Belum lagi kejutan ulang tahun plus lamaran tadi. Berantakan tapi membuat iri. Keputusan mendadak si pria untuk melamar kekasihnya sore ini bisa dibilang mirip dengan keputusanku menjadi milik kekasihku saat ini. Ah, kalau dirunut lagi, pertemuan kali tidak masuk akal sama sekali. Tidak seperti pertemuan alami lain yang terjadi di kampus atau kantor, kami bertemu di pinggiran danau. Aku menemui dia karena penasaran, tepatnya. Tipe pertemuan dalam cerita sastra, tertarik karena mendadak semesta seperti mengirimkan tanda-tanda.
Tapi, kekasih bermata abu-abuku lupa mengucapkan selamat ulang tahun.
Dan ini sudah lewat sehari.
"Menurut kalian, aneh nggak kalau pacar melupakan hari ulang tahun kita?"
Mataku membulat. Kuharap pertanyaan tadi tidak sungguhan keluar dari mulutku pada dua wanita asing ini. Tapi sepertinya memang sudah keliar dari mulutku karena kini kedua wanita itu sedang menatapku bersamaan. Si wanita pendiam yang lebih dulu menjawab.
"Aneh. Buatku, hari ulang tahun adalah hari paling penting."
Hatiku menciut. Nah, kan!
"Nggak," sergah si wanita kertas. "Karena kalau pacarku mendadak ingat ulang tahunku lalu memberi kejutan, kupastikan dia sedang kerasukan. Atau itu dia tapi bukan dia. Atau dia sedang punya waktu yang super senggang yang lucunya nggak pernah dia punya."
Aku dan si wanita pendiam kini menatapnya bersamaan. Penasaran sekaligus kasihan. Gila. Mana ada pria tanpa hati semacam itu. Kalaupun ada, kupastikan umur hubunganku dengannya tak lebih lama dari proses biji menjadi kecambah.
Si cewek pendiam menanyakan ulang tahunku. "Kemarin," gumamku. "Ini ulang tahun pertama. Kalian wanita, pasti tahu rasanya berharap diberi ucapan manis. Aku nggak butuh kejutan, nggak butuh pengakuan di keramaian. Aku hanya ingin dia yang bagiku begitu penting ada di momen terpenting. Tapi, hari besar itu bahkan sudah lewat sehari."
"Atau aku memang nggak sungguhan mengenalnya, jadi terlalu banyak berharap?"
Mereka melempar raut minta penjelasan padaku. "Yah, singkat cerita, aku dan dia nggak melewati perkenalan dan pendekatan khas pacaran. Dia begitu sering duduk di dek kayu pinggir danau dan aku yang entah kenapa begitu penasaran hingga ingin sekali menemuinya. Aku bahkan memutuskan pertunangan dengan pacar empat tahunku, hanya karena merasa dia pasti seseorang yang ditunjuk semesta," wajahku mulai merah, malu perlahan merambat ke kepala.
Kenapa juga aku harus menceritakan kisah cinta tak masuk akal ini pada dua wanita yang kelihatannya sangat berlogika. Mereka pasti terbahak dan menganggapku tolol. Pasangan yang ditunjuk semesta apanya. Jangan melantur, wahai Alegra.
"Nggak ada pertemuan yang aneh, tahu. Aku dan pacarku bahkan bertemu beberapa kali di keadaan yang serba kebetulan. Takaran krimer kopi kami yang sama persis, dia hampir menabrakku di parkiran mobil, dan yang paling ajaib terjadi di sini. Di kafe ini, di tempat yang kukeramatkan itu," si wanita kertas tergelak. "Kita nggak pernah tahu."
Belum selesai aku terpana pada cerita si wanita kertas, si wanita pendiam menimpali. "Kalau boleh ikut bercerita, pertemuanku dengan pacarku juga nggak begitu alami. Entah bagaimana, di suatu sore saat aku dan murid-muridku akan memanggang kue, dia masuk ke halaman sekolah. Aku mengajaknya memanggang kue bersama, lalu saat selesai dia meminta izin untuk terus bertemu denganku. Yang paling konyol, saat kutanya apa yang membuatnya tertarik, dia bilang... celemek merah mudaku."
Aku kemudian bingung berekspresi.
"Kamu kecewa, kan?" tanya si wanita kertas.
"Iya, kuharap dia nggak akan pernah lupa hari pentingku."
"Kamu ingin marah?" tanyanya lagi.
Kali ini aku diam sejenak. "Marah? Nggak. Rasanya bukan itu. Bukan marah yang sekarang memenuhi otakku. Aku hanya kecewa karena dia begitu penting, dia nyaris segalanya, jadi aku ingin dia ada di hariku yang berharga."
"Ini mungkin terdengar klise buatmu," lanjutnya sembari tersenyum lembut. Gurat senyumnya begitu halus, seketika berubah dari ekspresi sebelumnya. "Kalau kamu marah, berarti kamu hanya ingin menuntutnya jadi ini itu. Kamu benci sesuatu nggak berjalan semestinya. Tapi, kamu hanya kecewa. Lukamu sederhana. Sebatas keinginan dihadiahi ucapan manis dari yang kamu cintai. Aku sih, lebih ingin lega kalau jadi kamu."
Aku tertegun. "Memangnya kamu nggak kecewa kalau pacarmu terlalu sibuk?"
"Kecewa, dong. Aku wanita biasa, normal, dan selalu mengandalkan hati. Tapi, mungkin aku sudah sampai di titik dimana bahagianya bahkan lebih penting. Melihatnya sehat, masih sempat mengabari setelah presentasi di luar negeri atau habis sibuk rapat. Dia bahkan pernah mengucapkan selamat ulang tahun seminggu setelah hari itu terlewat di tahun pertama kami bersama. Aku menangis, tahu. Aku memaki-makinya di telepon, ingin sekali menendangnya kalau kami bertemu nanti," dia menarik napas dalam-dalam, dipandanginya gelas kopi yang berampas.
"Tapi," sambungnya. "Saat bertemu, aku hanya menatapnya dalam-dalam. Dia kelihatan capek, kantung matanya semakin terlihat, letak kacamatanya miring, kemejanya kusut dengan jas yang dipakai sembarang. Dan kemudian, aku mengajaknya duduk di bangku taman. Dia kebingungan karena selama setengah jam aku hanya diam."
Aku dan si wanita pendiam sama-sama menahan napas.
"Aku merenungi semuanya. Semakin lama aku berpikir, semakin terlihat bahwa ini bukan masalah besar. Aku nggak boleh kalah oleh apapun, termasuk egoku sendiri. Lalu, aku hanya memeluknya. Tanpa suara, tanpa penjelasan apa-apa. Saat dia meminta maaf, aku sudah benar-benar lupa apa kesalahannya. Saat itu aku hanya bersyukur dia masih ada untuk memelukku. Masih jadi milikku. Rasanya itu lebih mencukupi dari apapun yang tak tercukupi."
"Waaaw," kudengar diriku sendiri mendesah. Itu terlalu hebat. Terlalu seperti novel sastra yang bercerita bahwa cinta sungguhan tak menuntut apa-apa, meski sebenarnya cinta itu sendiri adalah tuntutan. Si wanita pendiam bahkan sampai berkaca-kaca.
Si wanita kertas tertawa. "Maaf, aku editor majalah. Bahasaku memang agak berlebihan. Oh bukan, selalu berlebihan."
"Bu editor, aku boleh jadi penggemarmu, nggak?" tanyaku.
"Boleh. Tapi antre, ya."
"Jadi, kamu bakal melakukan apa setelah ini?" tanya si wanita pendiam.
"Melanjutkan obrolanku dan kopi. Mimikirkan dengan matang apa yang sebenarnya kucemaskan. Kalau sudah selesai, aku akan ke rumah Biru. Kalau dia nggak ingat ulang tahunku, aku yang akan mengingatkannya."
"Obrolan tiga wanita yang bahkan saling belum tahu nama masing-masing ternyata seru juga, ya. Aku nggak biasa menceritakan masalah pribadi sebelumnya," ujar si wanita pendiam. "Kekuatan orang asing. Nasihat netral, keluar begitu saja tanpa perlu mengkhawatirkan apapun. Mungkin setelah ini aku bakal lebih sering mengajak ngobrol orang asing yang kutemui di jalan."
"Betul, apalagi kita bertiga-" si wanita kertas mengangkat tangannya, memberi kode untuk mengangkat telepon. "Hai, aku masih di Ladybug. Apa? Nyonya Adrian? Kau boleh memanggilku begitu kalau di jari manisku sudah ada cincin berlian."
"Nggak, aku sedang bersama teman-teman baru," dia merapikan kertas-kertasnya lalu menyalami kami berdua. "Aku harus pergi. Senang bisa mengobrol dengan kalian. Akhir-akhir ini sulit menemukan teman bicara yang menyenangkan."
Saat si wanita kertas berlalu, giliran si wanita pendiam yang pamit. "Sebaiknya aku juga pulang sekarang, besok ada piknik bersama di TK. Oh iya, aku Asca."
"Aku Alegra," kusambut jabat tangan halusnya. "Sayang kita belum tahu nama bu editor."
"Nggak masalah. Kurasa sekarang kita bakal lebih sering bertemu disini."
Kemudian aku sendiri lagi. Berduaan dengan kopi. Waktu-waktu sendiri yang tadi begitu kuinginkan entah kenapa jadi terasa tidak lagi menyenangkan. Aku bangkit dengan cepat menuju kasir yang kemudian bilang bahwa kopiku sudah dibayar. Dia menyerahkan bill padaku.
Tuhan selalu memberi hadiah dalam bentuk kejutan.
Selamat hari lahir, penggemarku.
Selamat hari lahir, aku.
p.s. link cerita untuk yang belum kenal tiga tokoh di atas:
Seri Adrian-Riifa
Celemek Merah Muda
Pria Abu-Abu
aku yang bakal beli novelnya begitu cerita tiga wanita ini dibukukan. kasih tau ya Ndah :)
ReplyDeleteAmin, Ya Rabb. Don't worry, you'll be the first, Kak! :)
Delete