Celemek Merah Muda - Asca


Dulu sekali saat masih jadi bocah bau kencur, ibuku sudah memulai pelajarannya tentang bagaimana menjadi wanita kuat. Wanita yang selalu bisa diandalkan dan pandai mencari uang. Pandai berdiri di atas kakinya sendiri terutama dari segi materi. Ibu berpisah dengan ayah yang menghilang entah kemana, lalu mulai membesarkanku dengan didikan cukup keras. Sepertinya karena kami cukup lama kekurangan materi, prioritas pelajaran ibu padaku jadi melulu tentang jadi wanita karir yang hebat. Sampai saat beliau menikah lagi dengan ayah tiriku yang luar biasa baik pun, pesannya tak berubah. 

Kenyataannya, aku malah tumbuh menjadi wanita kemayu yang hobi masak.

Aku sama sekali tidak tertarik dengan dunia perkantoran, tidak ingin berkutat dengan data-data rumit, tidak ingin pergi terlalu pagi lalu pulang terlalu malam, tidak ingin lelah dengan sesuatu yang tidak membuatku bahagia. Makin lama, aku makin tak peduli pada hitungan gaji. Begitu lulus sekolah, aku mengambil kursus memasak dan langsung jadi murid paling jago disana. Dalam tiga bulan saja, aku diangkat jadi asisten juru masak terkenal di tempatku belajar. Aku semakin suka kue, semakin cinta dengan wanginya saat baru keluar dari oven. Lalu, keinginan jadi guru TK yang mendadak terngiang di kepala. Semua terasa begitu nyata, terasa menggeletik begitu dibayangkan. Sayang ibuku tak sependapat. Sudah kuduga.

"Kamu pikir masa depanmu bakal bagaimana kalau jadi guru TK yang hobi masak kue? Gajimu nanti berapa? Bisa nggak, membiayai hidupmu kalau kelak nggak bertemu dengan pria baik-baik yang bakal menjagamu seumur hidup?"

Saat itu aku hanya tersenyum getir. Pria baik akan datang kapan saja kok, meski aku hanya gadis yang tak peka dunia dan hanya melulu memakai celemek merah muda. Lagipula, pria baik kan urusan Tuhan.
 
Lalu, munculah dia dari balik pagar putih halaman TK tempatku mengajar. Memakai setelan kelas satu dengan gaya kikuk yang aneh. Sore yang terlalu melelahkan untuk mengintrogasi orang, aku yang sudah belepotan cat air dan krim kue langsung memersilahkannya ikut memanggang sisa kue. Dia meminta izinku dengan begitu gugup, seperti tak tahu bagaimana cara berkomunikasi yang seharusnya. Aksennya juga terdengar ala Barat, seperti habis kembali dari negeri bersalju.

Aku sendiri tak mengerti kenapa. Saat dia meminta izin untuk terus menemuiku, aku hanya termangu sambil mengiyakan dengan malu. Saat dia membuat lelucon tak lucu, aku malah terbahak seperti tak ingin wajahnya meredup. Saat dia mengantarku pulang dengan gaya sopan yang kaku, aku mati-matian menahan semburat darah ke pipi. 

Pada akhirnya, aku menepis fakta bahwa aku telak jatuh cinta.

Terlebih, saat akhirnya aku tahu dia sungguhan lulusan universitas luar negeri. Punya mobil yang harganya membuatku menelan ludah, berasal dari keluarga besar yang cukup punya nama. Dan dia adalah anak pertama yang pasti diharapkan punya pendamping hebat. Aku mulai banyak berprasangka. 

Apa dia sedang bermain-main denganku? Apa mungkin pria sepertinya sungguhan jatuh cinta padaku, gadis bercelemek merah muda kucel dengan tatapan sayu? Apa mungkin cinta begini mudahnya datang menjatuhiku yang bahkan baru tahu rasanya berdebar malu?

Jadi, aku mundur dari pertarungan hati ini. Aku pemula yang kesulitan menanggung rasa yang lebih besar dari diriku sendiri. Pada pria yang ternyata tidak terlalu sempurna, kikuk, sulit bicara, dan ceroboh. Yang bertingkah bocah dan selalu menganggapku lebih dewasa darinya. Sungguh, dia hanya tidak tahu apa-apa. Aku gemetaran saat dia muncul dari balik pagar tiap sore, salah tingkah tiap dia mulai meracau tentang kehidupannya sebelum bertemu denganku.

Tapi akhirnya, Tuhan memang lebih tahu.

Pria itu kemudian memintaku jadi kekasihnya. Dengan mata getir yang berusaha menatap lurus padaku padahal tangannya gemetar setengah mati. Dengan kaos oblong tipis dan jeans jelek, berjalan kaki dari rumahnya ke kelasku. Terengah, dia mengucapkan sepatah demi sepatah kata yang berantakan alurnya.

"Mungkin ini terdengar omong kosong buatmu, tapi aku sudah nggak tahu lagi. Aku sungguhan jatuh cinta padamu sejak pertemuan pertama kita. Sejak pertama kali kudengar suaramu, kamu yang sedang memakai celemek merah muda. Iya, aku tahu, aku memang orang gila."

Saat itu aku hanya bengong, terpana.

"Tolong buat aku waras. Tolong akhiri gejolak gila ini."

Tidak ada yang tahu seperti apa rasa saat itu. Tidak Tuhan, tidak juga hujan. Meski Tuhan jelas Sang Pemberi Rasa, semburat di hatiku terlalu tak dapat dijelaskan kata. Tidak sekarang, tidak nanti. Tidak dengan menjadi wanita hebat atau cukup jadi penyabar yang taat.

Aku pun ingin mengakhiri gejolak ini dengan gejolak baru.

"Terima kasih ya, Zach."


---------------------------------------------------------------------------------

Baca semua seri Zach-Asca: Cerita-Cerita Pilihan

No comments:

Post a Comment