Hujan dan Doa

"Kenapa sih, orang kalau galau selalu butuh hujan?"

Joanna, adik perempuan Adrian menatap dramatis tetesan air hujan yang menjatuhi jendela ruang tengah. Aku sedang menjenguk ibu mereka yang sedang demam saat hujan deras mendadak turun, membuat rencana kencan berhargaku tertunda. Aku yang sedang membuatkan mereka cokelat hangat, tertawa kecil menanggapi celetukannya sementara Adrian melengos pelan. Joanna kemudian menodong jawabanku saat kakak laki-lakinya tak menanggapi.

"Well, menurut penelitian sih, hujan memang punya kemampuan meresonansikan kenangan. Mungkin karena itu kita cenderung memutar masa lalu saat hujan?"

"Nggak masuk akal," protesnya.

"Hidupmu lebih nggak masuk akal," timpal Adrian.

"Kamu pernah galau karena hujan, Rii?" tanya Joanna lagi.

Kali ini, kulihat Adrian mengangkat kepalanya dari laptop lalu melirikku. Otakku berputar dengan cepat. Panik, sok tenang, mencari jawaban, menatap mata Adrian. Kepalaku bolak-balik melakukan sesuatu yang absurd. Jangan sampai salah jawab. Apa katamu? Ah, terserah.

"Pernah. Hampir selalu."

Joanna bengong. Ekspresi Adrian masih datar.

"Kenapa nggak?" tanyaku lagi. Gugup yang tadinya mengaliri darah mendadak surut. "Aku manusia. Kugarisbawahi ya, manusia. Masih punya hati, jadi saat kenangan menyergap, hatiku masih bisa berdenyut. Apalagi memacari kakakmu."

Joanna masih bengong. Adrian mulai tersenyum kecil.

"Yang jadwalnya nggak karuan. Yang mungkin bisa dinominasikan sebagai salah satu pria tersibuk di dunia mendampingi Obama, yang sampai ketiduran di meja kerja, yang badannya seperti nggak ada tulang hingga nggak pernah merasa patah-patah. Atau mungkin, komposisi badannya semua tulang jadi mirip robot."

"Dan lagi, biar jahat begitu, kakakmu bagian dari masa laluku. Juga masa sekarang, dan semoga dia juga berada di masa depan. Wajar kan, kalau dia selalu ada saat hujan?"

Kutarik nafas dalam-dalam. 

"Itulah kenapa," lanjutku. "Hanya saat hujan, aku ingat untuk mendoakannya lebih banyak. Hanya saat dia sibuk aku punya waktu untuk duduk. Lalu berdoa lagi."

Joanna menatapku, lalu mendesah pelan. "Kenapa sih, kamu mau menyia-nyiakan hidup demi jadi kekasih kakakku? Pergilah sebelum terlambat."

Adrian menyerngit. "Dia bakal jadi kakak iparmu, tahu."

Sekarang giliranku yang bengong.

Apa itu tadi lamaran?



Baca cerita lengkap 'Adrian-Riifa' disini.

No comments:

Post a Comment