Sibuk Suntuk

Malam ini (lagi-lagi) kita dimulai dengan sikat gigi dan laptop.

Aku berjalan ke kamar mandi yang pintunya sengaja kubiarkan terbuka, kamu yang langsung duduk meringkuk di depan meja kerja. Dengan mulut penuh busa, dari pantulan kaca, kupandangi kamu yang menarik nafas dalam-dalam. Bergulat dengan data-data yang tak pernah kumengerti tapi begitu kamu sukai. Perihal menyikat gigi sambil memandangimu ini mendadak jadi rutinitas berharga. Aneh memang. Kenapa tidak sekalian kuambil kursi, duduk di sebelahmu, lalu kupandangi kamu sepuasnya sampai pagi. Kalau perlu sambil kupeluk-peluk sekalian. Tapi tidak. Pantulanmu di kaca jauh lebih indah. Seperti mengingatkanku kalau kamu memang rapuh. Kujatuhkan kaca ini, maka kamu di dalam kaca akan pecah berantakan. Tak akan ada lagi kamu. 

Aku akan membingkaimu dalam kaca lalu menjaganya.

Selesai menyikat gigi, aku berjalan ke dapur. Masih ada yang harus kurampungkan sebelum tidur. Kopi dengan gula hanya sesendok untukmu, lalu kopi susu untukku. Aku tidak suka kopi, maagku bisa kambuh. Tapi, seperti inilah caraku agar kurang lebih tahu rasanya terjaga karena kafein. Tentu saja kamu akan selalu menang dalam lomba terjaga hingga pagi. Dan aku, selalu jadi yang bangun terlebih dulu karena kamu seringnya tak tertidur.

Kuletakkan secangkir kopi di sisi laptopmu. 

Tugasku belum usai.

Aku mengambil minyak lavender dari lemari kecilmu. Setengah berjongkok, kuminta kamu mengeluarkan kedua kaki dari gelungan selimut. Sambil menahan geli, kamu tersenyum memandangiku yang mengoleskan minyak lavender di telapak kakimu. Katanya, cara ini bisa sedikit mengatasi gangguan tidur. Jadi, kulakukan tiap malam agar kamu bisa cepat tidur. Tapi sepertinya minyak lavenderku sudah kepayahan melakukan tugasnya di tubuhmu yang kebal karena kafein.

"Kamu memberiku kopi, lalu mengoleskan minyak lavender. Sebenarnya kamu mau aku tidur atau nggak?" tanyamu lirih. 

Aku yang sedang berlutut kini lebih rendah darimu. Tidak seperti biasanya, kamu yang harus mendongak untuk bicara langsung padaku. Aku hanya tersenyum. Memandangi wajahmu yang sisi kanannya tertimpa cahaya laptop dan sisi kiri yang gelap di balik selimut cokelat.

"Supaya kamu bertanya seperti ini padaku. Jadi, kamu ingin terjaga atau terlelap?"

Kamu tercenung. Cukup lama. 

"Aku ingin terjaga."

Hatiku mencelos. Tapi hebatnya, masih bisa tersenyum.

Kamu kembali bercumbu dengan laptop dan data-data, sementara aku menaruh minyak lavender ke tempatnya. Lalu, lagi-lagi, menutup malam di balik selimut dingin seorang diri. Setengah diriku menginginkan istriku yang dulu bisa dipeluk untuk mengisi malam, setengah lagi memilih mengalah dan pasrah. Akan lebih banyak malam mengoleskan minyak lavender.

Istriku lenyap termakan sibuk. Aku lenyap termakan suntuk.

2 comments: