Hujan baru berhenti dan bau tanah basah masih menyeruak. Aku
baru saja akan berlarian ke ujung jalan mengejar bus saat dia juga berlarian ke
arahku. Kami hampir bertabrakan. Untungnya aku bisa menahan langkah. Tertahan,
tepatnya. Selutut-lutut lemas. Mukaku pasti sudah pucat.
“Hai,”
sapanya.
Wah, hebat
sekali. Ada apa ini? Apa aku masuk acara jebakan jahil di televisi? Apa
sebentar lagi akan ada pembawa acara yang keluar dari balik semak-semak untuk
mengagetkanku? Tidak perlu. Dia hadir di depanku saja sudah lebih aneh dari
kejutan apapun.
“Kamu sedang
apa disini?” tanyaku. Akhirnya bersuara juga setelah sekitar semenit berpikir
keras apa yang harus kukatakan. Sudah lama sekali sejak kami tak (harus) saling
bertegur sapa.
Sudah lama
sekali sejak kami tiba-tiba memutuskan untuk tidak bersama lagi. Ah, tidak. Dia
yang tiba-tiba pergi. Ada wanita lain, atau justru aku yang jadi wanita lain,
aku tak lagi mengerti. Yang jelas, lucunya, aku pernah percaya bahwa akhir dari
kami adalah bahagia.
Dia tak
bicara.
“Jangan
sok-sokan ingin kembali. Kamu nggak tahu bagaimana aku berjuang membereskan
semua kekacauan yang kamu sebabkan, kamu nggak tahu pagi muram seperti apa yang
kulewati saat kamu pergi.”
Dia masih
tak bicara.
“Sudahlah.
Aku nggak ingin bicara lagi. Nggak ingin ada “kita” lagi. Kuanggap kita nggak
pernah ada. Aku akan menghilang, kamu juga.”
Saat dia
masih tak bicara, aku berjalan melewatinya. Sudah lama setelah kami tiba-tiba
seperti terkoyak paksa, mataku tak tersengat air mata. Jangan menangis, bisikku
pada diri sendiri.
“Terima
kasih sudah selalu mendoakanku saat kita masih bersama,” katanya. Suaranya
tegas, tidak sedang terluka atau ragu-ragu. Satu dari banyak bagian dirinya yang
pernah begitu kukagumi.
“Aku masih mendoakanmu, tahu.”
Lalu, untuk
pertama kalinya aku berhasil menatap matanya dalam-dalam. Tidak ada luka, sakit
hati, pertanyaan yang mendesak untuk dijawab, atau penyesalan atas pertemuan
kami.
“Kamu baik-baik saja?”
“Dulu, sebelum kita bertemu, aku pernah
baik-baik saja. Memangnya apa yang bisa kulakuan selain baik-baik saja? Aku
baik-baik saja.”
Setelah
mendengar itu dari mulutku, dia tersenyum. Lalu menghilang. Seperti butiran
pasir, terbawa angin. Aku terpaku. Dia tak nyata. Dia tak benar-benar ada.
Lagi-lagi,
pikiranku menjelma begitu nyata.
"Pergilah. Menghilang sajalah..."
"Pergilah. Menghilang sajalah..."
Aku kenal betul dengan kalimat, "Aku masih mendoakannya."
ReplyDelete:))
Indah pinter ih, ngemas cerita. hahahaha
Hahaha, sounds familiar, huh? :))
DeleteTerima kasih, Kak!