Random: Payudara Sebelum Lusa

Random 'Payudara Sebelum Lusa'


Ehem. Postingan kali ini isinya review dan promosi, ya.

Buku 'Random Payudara Sebelum Lusa' yang dibukukan dan diterbitkan secara indie oleh NulisBuku. Sebuah antologi cerpen yang berisi lima belas cerpen terpilih dari lomba yang diselenggarakan oleh Nulis Buku Club Institut Pertanian Bogor. Mengangkat tema yang nggak biasa, yaitu tentang kehidupan dari sisi gelap dan sulit, keadaan yang nggak semua orang pernah mengalami. Lagipula, siapa yang ingin menjalani hidup yang "tak biasa"?

Saya belum pernah mereview buku sebelumnya. Hahaha, maklum saya amatir. Belum tahu cara merewiew buku dengan benar, terlebih saya juga belum membaca semua cerpen secara keseluruhan. Agak absurd ya, mereview buku padahal hanya tahu garis besarnya saja. Jadi, saya hanya akan memberi pendapat pribadi mengenai buku ini dan pesan di dalamnya. Untuk yang ingin membaca review lebih lengkap, silahkan buka link blog punya Mbak Nina (@noichil) ini, ya: [Review] Random: Payudara Sebelum Lusa

Cerita-cerita di buku ini bakal membuatmu bersyukur dengan hidup yang normal. Dengan masalah yang biasa dan orang-orang yang selalu siap mengatakan kalau semua akan baik-baik saja. Tokoh-tokoh di buku ini tertatih di jalan hidup yang tidak mereka pilih. Misalnya di cerpen saya 'Matahari Senja di Minggu Pagi', seorang gadis yang ditakdirkan mencintai sesamanya, harus menghadapi pergolakan batin dan pengorbanan luar biasa untuk gadis yang cintainya. Bukan hanya hati yang setiap saat harus siap patah karena kekasihnya adalah gadis normal yang mencintai pria, tapi ia juga harus menyerahkan miliknya yang paling hakiki sebagai seorang wanita. Demi cinta yang tak bisa berjalan biasa saja. Dan beginilah semua cerita di antologi ini bermuara. Fenomena yang terjadi di sekitar kita, tapi tak semua orang sanggup menanggungnya.

Demikianlah review singkat (nggak jelas) saya tentang 'Random: Payudara Sebelum Lusa'. Sama seperti Mbak Nina, meski buku ini diterbitkan secara indie, saya tetap bangga jadi bagian di dalamnya. Mereka semua keren, saya amatir yang masih harus banyak belajar.

Kalau ingin memesan bisa dengan mengirimkan email berisi nama, alamat, nomor telepon, judul dan jumlah buku yang akan dipesan ke admin@nulisbuku.com. Omong-omong, di bawah ini ada beberapa buku antologi cerpen NulisBuku yang memuat tulisan saya. Yang gambarnya paling besar di bawah adalah buku 'Dear Mama' yang berisi surat cinta untuk ibu tercinta. Kalau yang ini, alhamdulillah sudah tersedia di Gramedia. Berkat doa Ibu kali, ya. Hahaha.

Selamat membaca! ^^

"Saya menulis karena saya butuh menulis, nyaris seperti saya butuh udara."

14 Juli, 23 Tahun Lalu


14 Juli 2013

Harus mengucap syukur berapa kali hingga perasaan lega dan bahagia ini tersampaikan tanpa cela. Harus mengucap syukur berapa kali hingga perasaan hangat ini habis dan tak lagi meluap di hati. Hari ini, Ayah dan Ibu saya merayakan ulang tahun pernikahan yang ke-23. Perasaan saya sebagai anak pertama? Bangga.

Ayah dan Ibu saya sangat berbeda, dengan lucunya melewati puluhan tahun bersama. Ayah yang orang Palembang dan berperangai keras bertemu dengan Ibu yang orang Sunda dan berperangai halus. Dari intonasi bicara saja, mereka berdua beda bukan main. Ayah saya tegas tapi santai, Ibu saya lembut tapi panikan. Ibu yang jarang sekali marah bertemu dengan Ayah yang tatapannya saja seperti sedang marah. Hahaha. Tapi, kalau ada masalah, Ayah justru lebih santai dan tenang sementara Ibu panik dan khawatiran. Waktu saya kehilangan dompet saja, Ayah malah tertawa sementara Ibu mengomeli kecerobohan saya.

Ayah yang luar biasa dalam berjuang, Ibu yang luar biasa dalam berdoa pada Tuhan. Ayah yang selalu mengakui betapa keras kepalanya Ibu, yang tetap nggak mau mengaku saat dibilang keras kepala. Ibu yang sabar dan seperti nggak tahu seperti apa caranya marah, Ibu yang telaten sekali mengerjakan semua pekerjaan rumah.

Terlalu berbeda. Sampai saya kadang heran kenapa mereka bisa bersama. Tapi pada akhirnya, saya tahu ternyata mereka magnet kuat sungguhan. Yang bermuatan berbeda tapi tarik menariknya luar biasa hingga tak lagi bisa dipisahkan. Nanti, yang memisahkan semoga hanya umur dari Tuhan. Semoga dunia tak lagi berkuasa atas cinta dan keyakinan mereka.

Senang sekali rasanya 23 tahun lalu mereka memutuskan untuk menghabiskan hidup bersama. Membangun semuanya bersama. Membuat bangga kami, keempat anak mereka.

Selamat merayakan ulang tahun pernikahan, Ayah dan Ibu.

Tertanda, anak pertama.


Tema: syukur. #ngabubuwrite day 5.

Doa


Aku penasaran
Seperti apa bentuk doa yang beterbangan?
Yang saat diucapkan, mereka beriringan menuju Tuhan.
Benarkah mereka menuju Tuhan? Lalu kemudian mereka diapakan?  

Aku penasaran
Apa Tuhan sungguhan mendengarkan? Tidakkah Ia juga bisa mengabaikan?
Apa doa-doaku kemudian hanya luruh melarut di hujan?
Yang saat menyentuh tanah, mereka lenyap seperti termakan.

Kalau iya, harusnya bisa kulihat di tanah namamu berserakan.


Tema: Doa. #ngabubuwrite day 4.

Pertama Kalinya


Pertama kalinya, aku tahu kalau air hujan berbau rindu. 

Rindu hujan bertemu tanah atau rindu sepasang kekasih yang berjauhan, aku tak lagi tahu. 
Yang kutahu, rinduku sendiri tak kunjung sampai padamu yang puluhan kilometer jauhnya. 
Jutaan air yang menjatuhi tanah, tak pernah menyampaikan pesanmu. 
Tetesan air yang menjatuhi kaca jendela, tak pernah membisikkan namamu.

Pertama kalinya, aku tahu siapa yang sungguhan kuinginkan.

Pertama kalinya, aku tahu kamu tak suka dirindukan.

  
Tema: Pertama kalinya. #ngabubuwrite day 1. 

Dasar Cinta!

"Sayang, ayo menikah."

Si pria menatap kekasihnya lekat-lekat. Mata wanita itu melebar besar, euforia meledak-ledak dari raut wajah kecilnya. Bulu mata lentik itu naik turun, menyapu pipi kemerahan di bawahnya. Si pria menatapnya lagi, kali ini disertai pertanyaan tak yakin dari mulutnya.

"Kamu barusan melamarku?"

Si wanita mengangguk yakin, si pria bergidik ngeri. Heran campur bingung, tepatnya. Baru saja kekasihnya mengajukan lamaran, ajakan menikah yang lebih mirip ajakan bermain ayunan ban di taman tiap Minggu. Begitu ringan, santai, dengan wajah sumringah. Dan wanita yang mengajaknya membina rumah tangga ini adalah wanita yang selama ini takut menikah muda. Duh, terlalu banyak pertanyaan di kepalanya.

"Kenapa?" tanya si pria.

"Kenapa?" tanya si wanita balik. "Aku mau jadi istrimu."

"Iya, bagian itu aku tahu. Tapi, kenapa kamu yang melamarku?" si pria tergelak, geli sekaligus kecewa. Dia memang belum merencanakan adegan melamar yang romantis dan hebat, tapi rencana melamar memang sudah ada. Hanya belum ketemu waktunya. Di dalam otaknya, telah tersusun kata-kata untuk meminta si wanita menjadi pendamping hidupnya. Barisan kata-kata yang disusun hati-hati, maklum, kekasihnya lebih pandai berkata-kata dibanding dirinya yang kaku dan sering mati gaya.

"Habis, kamu terlalu pendiam. Ah bukan, kamu terlalu nggak bisa ditebak. Terlalu santai, terlalu membiarkan semuanya berjalan terlalu apa adanya." 

"Bukannya kamu suka?"

"Iya, tapi aku takut kamu keburu direbut wanita lain. Membayangkanmu menikahi wanita lain lalu menggendong anak yang bukan anakku? Seram!" si wanita cemberut. "Kalau kita cepat menikah kan, kamu mau diam sepanjang hari juga nggak masalah. Kamu sudah jadi milikku."

Si pria tercenung. Sepanjang mereka bersama, dia baru melihat bakat posesif dari kekasihnya. Pria memang tidak tahu apa-apa soal hati dan pikiran wanita, sepertinya benar. Diam-diam, hatinya dipenuhi perasaan lega. Ini terlalu lucu. Terlalu tak terduga.

Si pria menyeruput kopi perlahan sambil menatap wajah penasaran kekasihnya. Si wanita jadi takut kalau kekasihnya akan menolak atau marah.

"Ayo kita ulang," katanya kemudian.

Si wanita diam, menunggu dalam detik-detik menyengsarakan.

"Sayang, ayo menikah."

Mereka kemudian tertawa bersama. Tawa getir campur bahagia. Si pria memikirkan bagaimana cara segera bercerai dari istrinya, si wanita memikirkan bagaimana caranya menjelaskan kalau dia sebenarnya janda.

Dasar cinta!