Bridal Shop - 17.08
Sebulan lagi Moca menikah.
Setelah mengalami putus sambung yang membuat semua orang ikut putus asa dan lelah, setelah semua drama tentang jarak yang tak kunjung menciut. Akhirnya. Sahabat tersayangku menikah juga dengan kekasih-entah berapa tahun-nya. Terlalu sering putus nyambung, aku tak tahu hitungan pasti hubungan mereka. Kini aku dan Rossy sedang mencoba gaun bridesmaid yang dipesankan Moca.
"Nggak. Aku nggak bisa memakai warna ini." Rossy menggeleng.
"Kenapa? Kau suka warna emas, kan?" kuputar badan Rossy yang sedang membungkuk di depan kaca. "Ini cocok untukmu, kok. Pinggang kecilmu akan baik-baik saja."
"Bukan pinggangku, Rii. Tapi aku hanya gak suka warna ini."
"Tapi ini warna pilihan Moca, kita bisa apa?" aku mengangkat bahu. "Yah, aku lebih suka warna tema pernikahanmu, sih. Ungu muda. Aku masih menyimpan gaun bridesmaid-ku."
"Berjanjilah, Rii. Pernikahanmu nanti gak akan memakai warna terang!" ancam Rossy.
Dadaku mendadak ngilu. Ada perasaan aneh yang berkelebat saat mendengar kata "pernikahan".
"Aku belum mau menikah," sergahku.
Rossy berhenti memainkan gaunnya kemudian menatapku.
"Apa?" kataku gugup.
"Kenapa kau nggak bertanya pada Adrian?" tanyanya.
"Tentang apa?"
"Tentang pernikahan. Dia sebenarnya berniat menikahimu atau nggak."
"Well... aku nggak yakin hal "itu" ada dalam daftar prioritasnya sekarang."
"Demi Tuhan, Rii. Sudah hampir lima tahun, lho."
"Aku tahu," kupandangi diriku sendiri di cermin, tampak lesu dalam balutan gaun emas yang jatuh dan mengilap. "Tapi, memangnya aku bisa apa selain menunggu?"