Krisis Seperempat Abad


25 tahun.

Kata orang, usia saat kehidupan sesungguhnya baru dimulai. Kata orang, usia saat semua yang selama ini kamu lakukan mulai terlihat arahnya. Saat tak ada lagi yang menyebut kamu remaja, saat kamu semakin dekat dengan angka 30 tahun ketimbang dengan umur saat lulus SMA. Kata orang, ini usia saat kemampuan finansial mulai stabil, usia yang banyak jadi batas pertimbangan untuk pindah kantor atau menetap asal gaji terjamin. Usia saat teman-teman banyak sekali yang sudah menikah, bahkan punya anak dua. Usia saat teman-teman sudah selesai menempuh pendidikan S2, usia saat orang-orang yang kamu kenal mulai mengenal cicilan rumah.

Tak ada yang memberi tahumu kalau di usia ini, pertanyaan-pertanyaan yang selama ini gak menganggu, ternyata bisa sangat menyinggung hati. Entah karena kamu makin mengenal susah payah hidupmu hingga menolak dikomentari terus menerus, entah karena ditanyakan berkali-kali.

"Sudah umur segini kok masih belum bekerja?"
"Sudah umur segini kok masih juga belum menikah?"
"Sudah umur segini kok masih bingung mau ngapain?"
"Sudah umur segini kok masih belum punya anak juga?"

Menyebalkan? Iya. Tapi gak apa-apa, kamu pasti bisa melewatinya. Ini memang masanya.

----

Saya jadi pengin cerita pengalaman sendiri. Sebelum kuliah di Jurusan Desain Interior, saya dulu kuliah di Jurusan Arsitektur. Karena satu dan lain hal, saya yang memang dari awal gak pengin masuk jurusan itu, akhirnya keluar. Jangan tanya bagaimana reaksi orang-orang sekitar. Saya dibilang gak bersyukurlah, gak menghargai orang-orang yang sudah tes Jurusan Arsitektur tapi gak luluslah, gak sayang uang orang tua yang sudah terbuanglah, gak sayang waktu dan umurlah, gak bisa diatur plus keras kepalalah. Saya mendapat penolakan dan cercaan dari segala penjuru, mulai dari keluarga besar, teman dekat, sampai teman yang teguran saja jarang ikut-ikutan berkomentar. Saya yang sebenarnya sudah mempersiapkan diri dari segala macam risiko, sampai lelah sendiri. Padahal orang tua saya saja, menyerahkan pilihan apapun itu kepada saya. Karena bagi mereka, hidup ya saya yang menjalankan, suka dukanya saya yang paling merasakan. 

Sampai kemudian, saya memutuskan untuk angkat kaki dari Palembang lalu kuliah di Bandung. Ini keputusan terbesar sekaligus terbaik dalam hidup saya. Keputusan mendadak yang saya rencanakan dan pikirkan matang-matang seorang diri. Satu hal yang ada di kepala saya hanya: pergi dari kota ini, kuliah dan lulus tepat waktu, cari pengalaman dan suasana baru. Dan itulah yang saya lakukan. Saya dapat banyak sekali teman baru, hal-hal baru, dan wawasan baru. Di kota baru ini, semua berputar dengan cepat. Berita, teknologi, inovasi, pergolakan ini itu, perubahan ini itu. Sekarang saya sudah lulus, sedang jadi desainer interior paruh waktu plus penulis blog seperti dulu.

Jadi, untuk apa nih cerita pengalaman di atas? Untuk memberi tahu kalau saya selama ini gak menjalani hidup di "waktu yang seharusnya". Saya menjalani hidup tiga tahun lebih lambat dari orang-orang di angkatan asli saya, mulai dari kuliah S1 yang kemudian tentu merambat ke rencana-rencana hidup lainnya. Sementara teman-teman di angkatan asli saya sudah akan lulus S1, saya baru akan memulai pendidikan S1. Teman-teman saya sudah mulai S2 dan banyak yang ke luar negeri, saya masih menjalani pendidikan S1. Sementara itu, gak terhitung berapa banyak teman-teman yang sudah menikah dan punya anak, sementara saya masih menjalani pendidikan S1 bersama teman-teman yang usianya lebih muda 3-4 tahun dari saya. Tertekan? Tentu. Apalagi hampir tiap hari ditanya: "Kenapa gampang banget keluar dari Arsitektur?" "Kapan nikah?" "Orang-orang lain udah punya anak, kok masih kuliah?" dan semua pertanyaan lain. Sedih? Tentu. Sebal? Iya. Cuma ya untungnya lama-lama jadi kebal juga.

----

Menghadapi seperempat abad dengan "keterlambatan" seperti yang saya rasakan, rasanya antara berat plus membingungkan. Sementara teman-teman seumuran saya sudah mulai mencicil rumah, punya penghasilan stabil tiap bulan, mendapat serentetan gelar di belakang namanya, saya baru lulus kuliah dan langsung pulang ke kampung halaman. Selama 4 tahun saya tinggalkan, semua yang saya kenal dulu sudah gak lagi sama. Teman lama yang sudah berpindah-pindah tempat kerja, banjir undangan pernikahan dan akikah, dan banyak sekali berita kelahiran anak.

Percayalah, ditanya "Kapan nikah?" "Kerja di mana? Kok gak kerja di sini?" saat usia 20 tahun, saat usia 25 tahun, saat usia 30 tahun, dan seterusnya, itu rasanya berbeda. Bebannya berbeda, tekanannya berbeda. Kamu merasa santai dan baik-baik saja, belum tentu lingkungan begitu juga. Kamu merasa sedang ditiup angin di bukit hijau, lingkungan malah kayak lagi kebakaran hutan. Orang-orang mendadak jadi ahli hitung-hitungan antara umur, kerjaan, pasangan, dan waktu menikahmu. Orang-orang mendadak jadi komentator nomor satu tentang keputusan-keputusan hidup yang mereka anggap "lambat" dan "gak tepat waktu". Sedikit sekali yang sungguhan bertanya: "Bagaimana hidupmu? Bahagia atau nggak?"

----

Di usia seperempat abad ke atas ini, rata-rata orang jadi sensitif dengan pertanyaan orang lain. Satu yang paling saya rasakan, saya menghindari pertemuan dengan orang-orang yang saya pikir bakal bikin energi saya habis. Entah karena pertanyaan-pertanyaan yang gak pada tempatnya, entah karena isi dari percakapan yang terjadi hanya gosip atau keluhan. Bukannya jadi anti-sosial, tapi jadi lebih bisa bikin prioritas hati. Kalau hati gak nyaman, ya gak perlu dipaksakan. Kita gak mungkin bisa menyenangkan semua orang, jadi lebih baik menyenangkan orang-orang terdekat saja. Orang-orang yang kamu tahu gak akan menghakimi keputusan-keputusan hidupmu, orang-orang yang kamu tahu gak akan membicarakanmu setelah berbasa-basi denganmu.

Sementara saya relatif santai dengan pertanyaan "Kapan nikah?", ada teman-teman saya yang tertekan setengah mati dengan pertanyaan itu. Ada yang stres karena dianggap terlalu pilih-pilih, ada yang stres karena merasa dia gak akan pernah bertemu jodohnya sampai mati, ada yang stres karena terbentur biaya, ada yang stres karena memang belum dan gak berencana menikah tapi terus-terusan disuruh menikah. Saya sudah melihat banyak sekali efek buruk dari pertanyaan itu, tapi tentu, orang-orang gak akan berhenti bertanya seakan-akan mereka yang menanggung biaya dan segala risikonya.

Mereka yang bertanya dan memaksa, mana tahu penantian dan perjuangan yang ditanya. Mereka yang bertanya dan memaksa, mana peduli kalau yang ditanya memang belum pengin menikah, atau bahkan gak pengin menikah. Mereka ini akan selalu ada kayak nyamuk, disemprot balik lagi. Kamu hanya butuh hati yang kuat untuk terus menjawab dengan telak. Ini hidupmu, ini keputusanmu. Menikah itu gak gampang, menikah itu butuh komitmen dan tanggung jawab besar. Kalau memang belum siap, gak apa-apa untuk bilang kalau kamu belum pengin menikah. Gak apa-apa untuk menunggu hingga kamu merasa sudah waktunya atau saat sudah ada seseorang yang benar-benar membuatmu siap berbagi semua seumur hidup.

----

Menikah itu indah, tapi bukan jalan keluar masalah. Kamu akan berhadapan dengan tanggung jawab baru dan tantangan baru. Bagi saya sendiri, meski sadar kalau menikah itu berat, tapi saya tahu menikah itu (dalam agama saya) adalah ibadah. Saya pengin menikah dan merasa kalau menikah itu membahagiakan. Hidup berdua, menyatukan pikiran, membangun keluarga, punya anak, bagi saya itu menyenangkan. Lantas apakah akan selalu menyenangkan? Ya tentu gak. Saya sudah mendengar banyak cerita tentang stres setelah menikah, penantian punya anak, keguguran, ribut dengan mertua, masalah finansial, sampai ada yang pengin jadi lajang lagi. Di usia yang sekarang, mendengar semua masalah itu keluar dari mulut teman-teman yang dulu jajan bakso bareng di kantin sekolah, rasanya sedih sekali.

Semua orang punya kerikilnya sendiri, semua orang sedang menghadapi medan juangnya sendiri. Di saat-saat begini, tentu kita gak akan mau menyusahkan mereka dengan pertanyaan: "Kok masih belum punya anak?" "Kok belum punya mobil?" "Kok gak kerja aja?" "Kok masih tinggal di rumah mertua?" "Kok mau-maunya jadi ibu rumah tangga?". Jangan ya, jangan susahkan orang-orang di sekitarmu dengan pertanyaan gak mutu begitu. Lebih baik doakan, beri pelukan. Efek pertanyaan-pertanyaan yang kedengarannya sepele itu, sungguh gak terbayang. Dan oh, jangan coba-coba berlindung di balik kalimat: "Kan cuma bertanya!" atau "Kan cuma bercanda!". Jangan.

----

Apakah usia 25 tahun itu jadi batas kematangan mental dan finansial? Ya gak. Tapi orang-orang sering menjadikan angka 25 itu tanda. Dalam pernikahan, 25 tahun itu "pernikahan perak". Kalau dalam kehidupan sosial (seenggaknya di lingkungan saya), 25 tahun itu angka saat semua orang mulai kebakaran jenggot kalau belum punya rencana yang pasti dalam hidup. Padahal ya gak ada angka pasti dalam hidup. Kamu bisa mulai apapun di usia berapapun, kamu bisa memutuskan apapun di usia berapapun. Kapanpun kamu pengin, kapanpun kamu siap. Siap memulai, siap berjuang, siap jatuh bangun, siap bertanggung jawab.

Usia ini menurut saya cocok sekali dijadikan titik balik untuk berpikir: "Kalau kelak saya benar-benar sendiri, sudah mampukah saya menopang diri saya sendiri? Sudah nyamankah pekerjaan saya saat ini? Sudah cukupkah penghasilan saya saat ini? Sudah tepatkah keputusan saya memutuskan untuk sendiri/menikah? Kira-kira 10 tahun lagi, saya sudah sampai mana?"

Laki-laki atau perempuan, carilah ilmu yang banyak. Belajarlah yang banyak, belajar apapun itu. Entah sesuai bidang, entah karena keinginan. Belajarlah ilmu akademik, belajarlah memasak, menjahit, fotografi, olahraga. Belajarlah hingga puas, jangan sampai usia jadi batas. Laki-laki atau perempuan, pantaskan diri untuk dapat pekerjaan yang baik. Jangan mudah menyerah, jangan mudah mengeluh, jangan mudah dijatuhkan. Bekerjalah bukan hanya supaya ada pemasukan, tapi juga untuk modal atau simpanan, agar kamu bisa cepat berdiri di atas kakimu sendiri. Buka usaha, cicil kendaraan/rumah, mulai berinvestasi. Coba hal baru, coba hal yang dari dulu pengin kamu lakukan. Kalau saya sendiri sekarang ada di tahap mendalami semua hobi yang dulu sempat saya suka. Biar kelak gak menyesal kenapa dulu gak mencoba, biar kelak saya gak beralasan: "Ah, saya sudah terlalu tua untuk itu."

----

Kalau kamu sekarang melihat teman-temanmu sudah berubah, entah karena bekerja, kuliah lagi, menikah, atau punya anak, ya jangan sebal. Hidup bergulir, masing-masing dari kita akan terus berada di fase hidup lain. Memang sudah seharusnya begitu, cepat atau lambat kamu akan sampai juga di fase itu. Menuntut mereka tetap jadi pribadi yang sama hanya akan menyulitkan, karena suka atau gak, prioritas hidup jelas berubah dan itu gak bisa ditolak. Tinggal bagaimana kamu, kita, dan mereka, menyesuaikan diri sebaik-baiknya. Dulu saya pernah mengajak teman baik saya jalan-jalan, yang dijawab dengan: "Aku belum tahu bisa atau gak, harus izin suami dulu." Saat itu selain malu, saya juga jadi sadar kalau hidup saya dan dia sudah gak sama. Dan itu jelas gak apa-apa, bukan salah siapa-siapa. Itu sudah seharusnya.

Kalau kamu sekarang melihat teman-temanmu sudah mencapai ini itu, jangan malah iri atau benci. Kita lahir dengan jalan hidup dan keberuntungan yang berbeda. Kita mengusahakan sesuatu juga dengan upaya dan besar doa yang berbeda. Satu hal yang pasti, usaha gak akan mengkhianati. Sukses itu relatif, serelatif kadar bahagia. Kamu cukupkan dirimu dengan bahagia dan tujuanmu saja. Kalau rumput tetangga terlihat lebih hijau, ya tanam pohon cabai saja. Sama hijau, tapi berbuah merah dan bisa dimakan. Kita memang hidup di satu dunia, tapi ada di jalur berbeda. Gak perlu selalu berusaha untuk jadi sama, kamu punya takdir indahmu sendiri. 

----

Pasti akan ada masa saat kamu hanya diam, termenung, pikiran dan jiwa terasa kosong, seperti kehilangan arah. Pasti akan ada masa saat kamu bingung apakah jalan yang kamu tapaki ini benar atau salah. Pasti akan ada masa saat kamu bahkan terlalu lemah hanya untuk sekadar menahan air mata dan beban yang selama ini tak terasa beratnya. Menangislah, banyak berceritalah.

Saya ini manusia biasa, kaum millenial, yang belum seberapa mencicip kehidupan. Jangankan asam garam kehidupan, bagi saya yang saya alami hingga kini baru permukaan. Tapi yang saya yakini, dalam hidup, gak ada keputusan yang sepenuhnya benar atau yang sepenuhnya salah. Keputusan apapun itu, meski terasa paling benar, pasti datang dengan risiko dan tantangannya sendiri. Tinggal seberapa besar daya juang kita untuk bertahan, menghadapi, menyelesaikan. Saya yang sekarang, gak menyesali apapun yang sudah terjadi dalam hidup. Seterpuruk-terpuruknya saya dulu, itulah yang menjadikan diri saya yang sekarang. Bersyukur masih diberi napas, sehat, bisa mencoba banyak hal, dan sedang bahagia sekali. Saya belum tahu tantangan apa yang sedang menunggu di depan. Yang saya tahu, kesulitan selalu seiring dengan kemudahan pun sebaliknya. Tekanan sosial itu ada, krisis kehidupan (entah seperempat abad atau bukan) itu nyata. Gak apa-apa, hadapi saja.

Ayo semangat, kamu kuat. Apapun itu, pasti terlewat.



Salam hangat, saya yang sudah setahun lebih tua dari seperempat abad.

No comments:

Post a Comment