Diam-diam

Apa rasanya menahan buncahan rasa yang kau sendiri tak mengerti dan sungguhan paham. Seperti mencegah ribuan kupu-kupu keluar dari jejaring halus, yang bila tak didekap baik-baik, ada saja kupu-kupu yang berhasil keluar. Diam-diam.

Bukankah, selayaknya ribuan kupu-kupu yang ingin menghirup bebas dan mengepak sayap, akumulasi buncahan rasa itu juga ingin mendapat kebebasannya. Merdekanya. Tak perlu seluruh dunia tahu, buncahan itu hanya ingin seleganya terbang. Semerdekanya perasaan.

Tak perlu naif, bebas pun akan ingin berhenti suatu saat. Di pemberhentian yang tepat. Segirangnya kupu-kupu terbang, masa hidupnya singkat, tetap ingin punya tempat mendarat. Terlebih buncahan rasa itu, yang dibiarkan bebas terlalu bebas, tiba saatnya letih dan ingin istirahat. Di tangan yang tepat, didekap yang erat. 

Buncahan rasa itu tak akan terkekang. Dipegang erat tidak berarti diikat. Hanya memberi tempat bersandar, tanpa perlu melanglang terlalu lebar. Toh, di ruang dekap itu ada dunia kecil yang bisa dijelajah. Tempat dimana buncahan tak perlu lagi berteriak dalam pikirannya sendiri, tak perlu lagi sibuk menunjukkan eksistensi.

Dalam dekap yang diharap selamanya itu, sang buncahan rasa terlelap.

Menikmati bahagianya sendiri. Diam-diam.

No comments:

Post a Comment