Ladybug Coffee Cafe - 20:10
Kafe yang pengunjungnya sedang sepi, aroma kopi dan roti yang harum sekali, kekasih yang sedang duduk di hadapan. Semua akan sempurna sekali kalau saja kekasihku sedang tidak mengetik dengan kecepatan menakutkan dan kening yang berkerut seribu lipatan. Kalau laptop adalah makhluk hidup, mungkin laptop tipis berwarna keemasan itu sudah babak belur sekarang. Cappuchino panas yang dipesan Adrian kini bahkan sudah tak ada uapnya sementara es moccalatte-ku sudah habis.
"Dri, minumku sudah habis, lho."
"Pesan lagi saja, 'kan aku yang bayar."
Ya Tuhan. Pria ini sungguh tak punya hati.
Tapi akhirnya aku memesan segelas moccalatte lagi, kali ini yang panas. Agar bisa diseruput pelan-pelan dan tak cepat habis karena siapa tahu Adrian berencana menginap di kafe ini. Aku bersandar pada jendela kaca, menatap ke jalanan. Semakin lama kupandangi jalanan, semakin jelas kudengar suara orang-orang yang sedang lalu lalang, suara mesin kendaraan, klakson yang bersahutan. Kehidupan sedang berjalan di hadapanku, kehidupan banyak orang. Kehidupan yang bagi pria kesayangan di hadapanku mungkin berisi target-target besar perusahaan, tapi bagi orang di luar sana mungkin tentang bagaimana bertahan hidup hari ini dan beberapa hari ke depan.
Kemudian mataku beralih pada Adrian. Pria ini, sudah ada dalam hidupku dalam waktu yang cukup lama. Sekitar sebulan lalu, kami memutuskan menikah, meski harus diawali dengan drama betapa dia sebenarnya tak siap dengan komitmen seberat itu. Tapi toh sekali lagi, kami berhasil melewati kerikil dan batu yang menghadang. Karena sungguh, kalau saat itu kami berpisah, aku sudah tak tahu lagi harus bagaimana menyembuhkan patah hati. Karena membayangkan harus menikah dengan orang selain pria ini, sungguh mimpi buruk yang tak ingin kubayangkan.
"Rii, kita makan nasi goreng dekat rumahmu, yuk." Adrian tiba-tiba menutup laptopnya, meneguk cappuchino dinginnya dengan cepat, lalu mengeluarkan uang dari dompetnya.
Aku hampir tersedak moccalatte-ku sendiri saat Adrian berdiri lalu berjalan menuju kasir.
Sungguh, kalau bukan karena cinta, dia sudah kuberi tendangan salto sekarang juga.
Dan ternyata tukang nasi gorengnya tidak jualan. Luar biasa.
Aku dan Adrian berdiri di depan gerobak yang ditutup dengan terpal biru, meresapi kenyataan pahit perlahan-lahan. Adrian lalu duduk di kursi kayu panjang di sebelah gerobak, meluruskan kaki jenjangnya ke depan, lalu menghela napas panjang. Aku duduk di sebelahnya.
"Mau ke rumahku? Nanti kubuatkan nasi goreng," kataku menghiburnya.
"Nggak usah, aku gak lapar, kok." katanya.
"Lho? Terus buat apa kamu mengajakku ke sini?"
"Aku... nggak bisa berpikir di Ladybug."
"Memangnya kamu sedang memikirkan apa? Pekerjaan? Bukannya kamu biasa menyelesaikan pekerjaan di Ladybug?" tanyaku bingung.
"Aku kebingungan menyusun kata-kata di kepala," jawabnya.
"Kata-kata apa? Untuk apa?" tanyaku, semakin bingung.
Adrian merogoh saku jasnya, agak lama, kemudian tangannya terjulur ke depan wajahku.
Kalung. Adrian memegang seuntai kalung.
"Aku tahu kamu nggak suka pakai cincin, jadi kuberi kalung saja, ya?"
Adrian mengambil tanganku, lalu meletakkan kalung pemberiannya di telapak tanganku. Aku menatap kalung silver berkilauan berbentuk angka delapan di tanganku dengan takjub, bingung harus berkata-kata apa. Yang jelas, air mataku sudah merebak di kelopak, terlalu tak siap dengan hadiah tiba-tiba ini.
"Aku pernah membayangkanmu menikah dengan pria lain." Adrian tiba-tiba menyahut. "Rasanya nggak enak sekali. Membayangkanmu memeluk pria lain, mengeluh padanya, menangis dan bersandar di pundaknya, ternyata nggak menyenangkan. Membayangkanmu menyemangati hidup pria lain dan menyambutnya sepulang kerja, ternyata sungguhan nggak lucu."
"Aku pernah membayangkan, seandainya saat itu kita berpisah, bisa jadi beberapa bulan kemudian aku melihatmu makan pancake vanilla di Ladybug, bersama pria yang bukan aku. Bisa jadi beberapa bulan kemudian, aku melihatmu memesan kopi dengan krimer dua setengah sendok di kedai kopi langganan kita, bersama pria yang bukan aku. Bisa jadi beberapa bulan kemudian, aku memutuskan untuk mengaktifkan kembali akun Twitter-ku, lalu melihatmu saling mengirim pesan mesra, bersama pria yang jauh lebih perhatian, yang pastinya bukan aku." suara Adrian semakin mengecil. "Aku benci membayangkan semua itu."
"Aku pernah membayangkan, seandainya saat itu kita berpisah, bisa jadi beberapa bulan kemudian aku melihatmu makan pancake vanilla di Ladybug, bersama pria yang bukan aku. Bisa jadi beberapa bulan kemudian, aku melihatmu memesan kopi dengan krimer dua setengah sendok di kedai kopi langganan kita, bersama pria yang bukan aku. Bisa jadi beberapa bulan kemudian, aku memutuskan untuk mengaktifkan kembali akun Twitter-ku, lalu melihatmu saling mengirim pesan mesra, bersama pria yang jauh lebih perhatian, yang pastinya bukan aku." suara Adrian semakin mengecil. "Aku benci membayangkan semua itu."
Aku terdiam. Bingung, terharu, terpana. Sebut saja semua.
"Dan lagi, aku juga nggak yakin ada perempuan lain yang sabar menghadapiku yang keras kepala ini."
"Super sibuk, tak punya hati, dan kalau bicara ketus sekali." aku menambahkan.
Kupikir Adrian akan protes lalu mengataiku bodoh, tapi ternyata dia hanya tersenyum kecil, matanya tetap menatap lurus ke depan. Jantungku berdegup tak karuan, seperti aku dan dia baru pertama kali kencan. Hatiku terasa hangat, merasakan desiran darah yang naik ke kepala. Kutatap Adrian lekat-lekat, berusaha mematri dengan kuat adegan dan perasaan ini dalam pikiran. Kalau bisa kuhentikan waktu, aku ingin berhenti di saat ini. Saat ini kekasihku tak sedang memikirkan pekerjaan, saat ini aku dan dia sedang berbagi debar, saat ini kami sedang baik-baik saja.
Tak ada yang lebih melegakan dari itu semua.
Tak ada yang lebih melegakan dari itu semua.
"Pulang, yuk? Kita jalan kaki saja ke rumahmu." Adrian berdiri. Dengan satu tangan memegang jas dan satu tangan lagi menggenggam tanganku, kekasihku lalu bercerita tentang betapa lelahnya dia memikirkan kata-kata pembuka sebelum menyerahkan kalung padaku.
"Ini tanda infinity, ya? Tak hingga?" tanyaku sambil mengangkat kalung pemberiannya.
"Iya. Tak hingga, selamanya." jawab Adrian.
"Maksudnya itu kita? Selamanya?" tanyaku lagi, kali ini dengan intonasi terlalu girang.
"Sudah ah, jangan bicara bego." Adrian membuang muka.
"Kok bego? Aku 'kan bertanya."
"Mau kuambil lagi kalungnya?"
Aku menyerah mendapatkan jawaban manis dari mulutnya. Karena bisa jadi kekasihku sungguhan akan mengambil lagi kalung cantik ini dari tanganku.
"Dri?"
"Hem?"
"Nanti anak kita kunamai 'Tak Hingga' dan 'Selamanya', ya." kataku.
Adrian tertawa. Keras sekali.
Pasti dia pikir aku bercanda.
---------------------------------------------------------------------------------
Baca cerita sebelumnya: (Akhirnya) Menikah
Baca semua seri Adrian-Riifa: Cerita-Cerita Pilihan
---------------------------------------------------------------------------------
Baca cerita sebelumnya: (Akhirnya) Menikah
Baca semua seri Adrian-Riifa: Cerita-Cerita Pilihan
i cried over. haaaaaa jadi ngebayangin kekasihku dengan wanita lain. tak sanggup dan aku pun membencinya jika ada wanita lain menyambutnya pulang kerja :(
ReplyDeleteterbaik memang, Indah!
Aku pun, Bet. Aku puuun. *pelukan*
DeleteEbeeet, makasih ya selalu jadi pembaca setia Adrian-Riifa. :*