Oh, hai. Berapa lama hari ini aku memberimu perhatian? Tiga puluh detik? Kemajuan, ya. Berarti lebih lima detik dari pertemuan terakhir kita. Nggak masalah, kan, kamu toh selalu bisa memaklumi perkara kecil ini. Perkara abai mengabaikan. Aku semakin jago mengabaikan, kamu semakin jago bertahan.
Bukannya aku kejam. Kamu, kita sama-sama tahu kalau dulu aku yang jadi terabaikan. Betapa kamu seperti mempermainkan dan aku tergilas tanpa ampun. Aku tahu rasanya terseok dengan posisi muka di bawah, melawan, dan sibuk menentang. Suatu kali, kudengar sayup kamu berbisik padaku yang meringkuk. "Ayo, kita berdamai saja."
Cih, damai. Memangnya apa yang kudapat kalau kelak kita berdamai. Kuludahi mukamu, tepat di tengah hingga kamu menyerngit heran. Kini jelas-jelas aku menantangmu. Satu lawan satu.
Kalau diingat-ingat, sempat kupikir ini seperti tak berkesudahan. Aku yang terlalu lelah sekaligus terlalu keras kepala, kamu yang melelahkan sekaligus tak terkalahkan. Merobohkanmu itu seperti mendorong air laut agar menepi ke sungai, merubah alirannya hingga muara segala air bukan lagi samudra. Upayaku seperti ditempeleng dengan Jurus Tapak Buddha, sekeras-kerasnya tenaga dalam kutembakkan, sekeras itu juga ia terlempar. Menabrakku kembali, sama kerasnya, hingga aku lagi-lagi tersungkur dan kamu lagi-lagi hanya tersenyum.
Dan, damai. Pada akhir pertemuannya, kurasakan kata itu lebih melunak. Pikiranku serta merta seperti ditanak, lembek. Gagasan itu nyatanya tak buruk, alih-alih membuatku malu. Karena saat itu, aku menerima damaimu sambil tersenyum senang. Aku menang.
Kini, kubiarkan kita bersama jalan bersisian. Meski tak selalu kutoleh, kamu toh akan terus melekat, lebih erat dari bayangan. Tak apa.
Kita berteman ya, Takdir.
No comments:
Post a Comment