Apartemen - 07.04
"Mo, kau mau kemana?"
Rambut ikal Moca terkibar hebat di depanku. Dengan satu gerakan centil, ia mengibaskan ujung-ujung rambutnya padaku.
"Tentu saja kencan. Memangnya apa?"
"Kencan? Oh, Valentine?"
"Istirahatlah. Nanti kalau keadaanmu sudah membaik, baru pergi kencan juga, ya. Aku akan menelpon Arya untuk bilang kalau kau sakit. Adrian menjemputmu jam berapa?"
"Menjemput apa?" hidungku berkerut.
Moca berhenti menyisir rambutnya. "Jangan bilang kalau kalian nggak merencanakan apapun."
"Adrian? Merencanakan kencan Valentine? Buat aku, si wanita yang sepertinya bukan siapa-siapa?" aku mendengus. "Itu mustahil."
"Kalian memang ada apa-apa, kan? Dia sudah bilang begitu, kan?"
Aku mengangguk.
"Lalu?" desak Moca.
Aku menggeleng lelah. Badan yang panas dan kepala yang pusing membuat kata-kata macet. Belum lagi tenggorokan yang terasa sakit. Ini campuran demam, sakit kepala, dan radang tenggorokan. Dan kenyataan kalau Adrian belum jadi pacarku memperburuk semua. Semalaman aku memikirkan kemungkinan ajakan kencan atau sekedar jalan-jalan darinya untuk hari ini. Hari kasih sayang ini. Karena kalau hingga pagi datang dan pria itu belum juga mengajukan rencana apa-apa, berarti kencan memang tidak akan pernah ada. Pagi hari adalah zona waktu bekerja, yang hanya berakhir saat sore atau malam.
Dan pria itu, jelas-jelas gila kerja. Tidak ada yang penting bila dibandingkan dengan pekerjaannya. Semua hal jadi sepele, terlebih aku, wanita yang hingga kini belum juga jadi apa-apa. Sebulan yang lalu saat ia bilang memang terjadi sesuatu di antara kami, ia beberapa kali menjemputku sepulang kerja hanya untuk minum kopi atau makan pancake. Satu hari isinya bahkan hanya berkeliling tanpa arah dan kami mengobrol di dalam mobil. Adrian itu pria yang sulit ditebak tindak tanduknya.
Tapi, aku bisa menebak ia benci Valentine.
Pria realistis yang gila kerja dan mulutnya tajam. Sulit membayangkan pria semacam itu bisa ikut meramaikan Valentine.
"Mo, aku akan tidur sepanjang hari. Kepalaku pusing." Kataku sambil beranjak dari meja makan dan terseok-seok ke kamar. "Terima kasih sudah mau mampir ke kantor dan mengabarkan pada Arya soal sakitku. Sukses dengan kencanmu, ya?"
"Rii, bagaimana dengan kencanmu?"
"Aku dan Adrian sudah ada janji kencan. Untuk itulah aku tidur. Kami janji berkencan di dalam mimpi. Dah, Mo."
Apartemen - 13.10
Astaga. Aku sudah minum obat belum, sih? Kenapa kepala ini rasanya seperti mau pecah. Aku benar-benar tidak mengerti. Kenapa di hari yang seharusnya indah ini aku malah terbaring lemas dengan kepala yang menyut tak tertahan. Aku seharusnya berada di kantor, puas melihat semua orang mengeluarkan cahaya pink dari tubuh mereka, dan mengabaikan fakta kalau aku masih wanita yang tak jelas statusnya atas seorang pria.
Bisa-bisanya.
Di antara setumpuk pekerjaan, usia yang sudah tidak termasuk dalam kategori cinta main-main, aku menjalin sesuatu yang tidak jelas ikatannya. Dengan seorang pria yang berhati batu pula. Aku mau saja jatuh cinta tanpa daya atas pria yang mungkin saja meninggalkan dan mencampakkanku seperti wanita biasa, yang hanya diberi harapan sia-sia untuk mengisi waktu. Kudengar pria-pria mapan sekelas Adrian punya kebiasaan menjalin cinta semu. Tertarik, kencan beberapa kali, tidur bersama, bla bla bla, dan berakhirlah sudah.
Kutegaskan, aku bukan wanita seperti itu.
Tapi sungguh, saat ini aku jelas-jelas tidak bisa membayangkan akan berpisah dari Adrian Maha Deva, apapun resikonya. Rasa-rasanya aku bisa dan harus siap menanggung sakit hati.
Aku sudah tidak tahu mana yang lebih sakit antara kepala dan hatiku.
Sekarang pukul satu siang.
Rencana apa. Aku memang harus tidur seharian hari ini.
Apa itu Valentine.
Apartemen - 19.01
"Rii, bangun,"
"Apa?"
Aku bangun dengan keringat di sekujur tubuh. Kepala jauh lebih terasa ringan, badan yang basah kuyup pun terasa segar.
"Jam berapa ini?" aku menyerngit melihat Moca yang sudah berganti baju rumahan.
"Tujuh."
Hatiku menciut. "Tujuh malam?"
Moca mengangguk. "Aku mandi dulu, ya. Cuci mukamu, aku sudah membeli salad buah supaya kau cepat sembuh."
Saat Moca masuk ke kamar mandi, aku merogoh ponsel di bawah bantal dan menatap layar dengan hampa. Tidak ada pesan alih-alih panggilan. Aku benar-benar tidur seharian, menghabiskan Valentine dengan mimpi absurd berwarna abu-abu, tanpa Adrian di dalamnya. Dan di dunia nyata, gambarannya bahkan lebih buruk lagi. Pria itu sama sekali tidak menghubungiku. Padahal ini hari penting.
Astaga. Ini terlalu keji.
Hatiku sakit sekali.
"Bagaimana kabarmu?" sahut Arya begitu kuangkat panggilannya.
"Aku sudah baikan," aku bersandar pada sofa.
Yang menghubungi dan mengkhawatirkanku hari ini justru teman sekantorku. Bukannya seseorang yang begitu ingin kucuri perhatiannya, bukannya seseorang yang seharusnya ada. Aku dan Adrian biasa tidak saling menghubungi selama beberapa hari. Tapi dihitung dengan hari ini, pria itu sudah tidak menghubungiku selama empat hari.
Tidakkah itu termasuk hubungan yang tidak normal?
"Tadi Adrian ke kantor."
Hening sejenak.
"Rii, kubilang, tadi Adrian ke kantor mencarimu."
"Apa? Benarkah?" aku terlonjak dari sofa.
"Iya. Dia mencarimu, tapi kubilang kau belum datang."
"Kau nggak bilang aku sakit?"
"Moca baru datang satu jam setelahnya."
Aku tercenung. Jadi, Adrian tidak tahu aku sakit dan menderita seharian ini.
"Lalu, kenapa dia nggak langsung menelponku?"
Arya mendengus. "Kalian nggak saling menghubungi satu sama lain?"
"Nggak. Nggak tahu."
"Kalian sudah pacaran, kan?"
"Nggak. Nggak tahu."
Kudengar Arya tertawa kecil. "Riifa yang malang,"
Kalimat terakhir dari Arya. Yang bunyi dan intonasinya membunuh sisa harapan terakhir. Kenapa ya, aku sebodoh ini. Kenapa aku lagi-lagi menggelayut di sofa seperti wanita yang tidak memiliki harga diri dan sudi diombang-ambing seperti ini.
Ponselku berdering lagi. Aku terkesiap.
"Hei, kau sakit, ya?" suara Adrian mengalir santai.
"Akhirnya kau tahu juga," sahutku pelan.
"Ya ampun, kau marah?"
"Nggak. Kenapa aku harus marah?"
"Di sini dingin sekali. Sebentar, aku kirim foto pemandangan yang kulihat padamu," suara Adrian menghilang. Suara kamera terdengar. "Nih, saljunya indah sekali, lho. Dan kau tahu, banyak sekali pasangan yang berkencan di depan hidungku. Dasar mereka!"
Aku menatap foto taman bersalju yang dikirimkan Adrian.
"Kau di mana?"
"Aku di New York. Dinas mendadak. Tadi pagi aku ingin pamit langsung, tapi kau nggak ada di kantor."
"Kenapa nggak menelponku?"
"Nanti kau pikir aku sengaja melarikan diri dari Valentine dan beralasan dinas."
Air mataku dengan cengengnya mulai merebak.
"Coba kau ada di sini ya," Adrian terbatuk-batuk. "Aku punya setengah jam untuk menelponmu di hari Valentine yang suram ini,"
Aku tertawa.
"Happy Valentine, Dear,"
Air mataku jatuh. Rasanya hangat dan menyenangkan.
"Happy Valentine," balasku dengan terbata-bata.
"Duh, kau menangis, ya," Adrian tertawa kecil. "Berhubung aku nggak bisa memberimu hadiah atau coklat di hari spesial ini," suaranya mengecil. "Bagaimana kalau kuberi sesuatu yang lain?"
"Apa?"
"Hatiku."
Suara Adrian bergema di telingaku. "Kuberikan hatiku, kuberikan aku untukmu. Di hari yang istimewa ini, aku kehabisan detail untuk diberikan padamu. Dan dengan memberikan diriku, apa Valentine ini cukup membahagiakan buatmu?"
Ya Tuhan...
Dengan air mata yang bulirnya berjatuhan tanpa henti, aku mencoba menjawab pertanyaan Adrian. "Iya. Itu cukup. Itu... hebat."
Adrian menghembuskan napas dengan cepat. "Jadi, apa balasan hadiahku?"
"Aku. Aku memberikan diriku untukmu."
Kami berdua tertawa. Tawa Adrian bahkan tawa paling keras yang pernah kudengar. Ia berkali-kali bergumam tidak percaya pada apa yang baru saja dikatakannya. Ia tidak percaya mulut tajamnya bisa mengeluarkan kalimat semacam itu. Ia bahkan bersumpah seumur hidup tidak akan mengulangi pernyataan cinta norak semacam itu. Sumpah yang keji, tapi aku sudah tidak peduli.
Aku tersenyum senang. "Jadi, kapan kau akan pulang, Kekasih?"
Bersambung ke-9th Day...
No comments:
Post a Comment