"Aku capek."
Setelah lama berjibaku dengan segala lelah dan suntuk yang menumpuk dan jadi gunungan sabar campur rindu, Roe akhirnya bertekuk lutut pada hatinya yang rubuh. Semua himpunan kekuatan yang telah membentuk tembok bernama keras kepala itu pada akhirnya runtuh bersamaan dengan deklarasi uneg-unegnya.
"Aku hanya ingin tahu reaksinya. Aku hanya ingin tahu seperti apa kelanjutan kami sebenarnya. Apa aku nggak boleh berharap sementara seperti ada yang tersisa di antara kami dan minta diselesaikan?"
Itu sulit. Sambil melawan serbuan nyamuk, aku mencekoki Roe dengan beberapa kenyataan yang harus Roe terima. Bahwa tidak semua cinta harus berakhir bahagia. Bahwa tidak semua yang sudah berakhir dapat dimulai kembali. Saat akhir hanya akhir, belahan jiwa seerat apapun tidak akan berdaya. Itu yang namanya takdir.
"Ini akan selesai kalau dia punya pacar. Oke?"
Selesai sementara tapi bukan penyelesaian yang Roe butuhkan. Berliter-liter air mata, lelah yang tak tertampung sesak di dada, pikiran yang tak lagi bersatu raga karena memikirkan keadaannya. Semua menggoyahkan dan membuat langkah patah, hingga bicara bahkan bisa diganti dengan air mata. Melihatnya bersama dengan orang lain mungkin akan melegakan, setidaknya itu menghanguskan harapan dan semua kemungkinan.
Dan aku akhirnya membuat Roe menjanjikan sesuatu. Satu hal yang lebih candu dari cinta dan lebih mematikan dari narkoba. Mengecek facebook dan memandangi foto dia. Di tiap sayang yang berjarak, ada khawatir dan rasa ingin tahu yang menyeruak. Ada rindu tak terucap yang menyembul malu-malu. Tapi, seperti narkoba yang membuat candu, kebiasaan ini bisa membunuh semangat juang Roe untuk maju.
"Aku bersumpah. Aku nggak akan lagi membuka facebook dia terlebih melihat fotonya. Itu menyakitkan, mengerikan, dan pasti sangat sulit dilakukan. Tapi, aku harus. Aku janji, mulai malam ini, 19 Februari 2012, akan jadi titik balik perjuangan untuk maju dan melupakan. Untuk ke depan dan menghapus semua. Demi kebaikan, kan?"
Dan setelah mengucapkan sumpah itu, aku dan Roe tertawa. Beberapa hal besar kemudian dilakukan Roe atas nama perbaikan. Aku tahu Roe lelah. Aku pun lelah. Aku lelah melihatnya berjuang dan memaksakan diri atas apa yang diluar kemampuan dan kehendaknya. Aku lelah Roe berusaha menggerakan hati dia yang bahkan tak tertebak apa maunya. Kalau sudah begini, aku lebih ingin Roe menyerah.
Toh, Tuhan selalu ada untuk menyelesaikan.
Saat Roe akhirnya selesai dengan semua, aku ikut tersenyum di atas akhir sumpahnya.
"Aku lega."
love it :)
ReplyDeletethank you :*
ReplyDelete