"Dean, bau apa ini?"
Adik laki-lakiku yang jarang sekali
ada di rumah, Dean, hanya menatapku dengan hampa dari balik gelas
susunya. Dengan satu alis mencuat ke atas, dia mengangkat bahu lalu
menggeleng padaku.
"Bau apa? Aku nggak mencium bau apa-apa."
Aku beralih pada Carol yang memasuki dapur dengan muka mengantuk.
"Car, apa kau mencium bau sesuatu?"
Carol memelototiku. Dengan satu alis terangkat seperti Dean, ia hanya menggeleng nggak peduli padaku. Keji sekali. Aku punya dua adik dan nggak satu pun dari mereka yang menghormati kakaknya. Mereka seenaknya menaikkan alis, mendengus, melengos pergi bahkan saat aku belum selesai bicara, atau bahkan mendengarkan musik dengan volume maksimal saat aku curhat. Aku iri pada kakak-kakak diluar sana yang begitu dihormati dan disanjung adik-adik mereka.
"Memangnya ada bau apa, sih?" tanya Dean lagi. Hidungnya berkerut sambil mengendus sana-sini untuk mencari bau yang sepertinya hanya tercium olehku.
Carol memutar bola matanya. "Jangan tolol, Dean. Memangnya sejak kapan Zach berkelakuan normal?"
Dean merengut. "Jadi, ada bau apa sih, Zach?"
Aku tersenyum geli. Dengan tangan terbuka lebar, aku berteriak.
"Bau Valentine!"
Dean bengong sambil mengerjap beberapa kali padaku sementara Carol mendengus.
"Sudah kubilang, kan."
Ada apa sih, dengan anak-anak itu. Aku nggak habis pikir kenapa mereka yang lebih muda dariku, yang seharusnya lebih menggebu-gebu, malah malas memikirkan Valentine. Ayolah, aku yang sudah setua ini saja masih begitu antusias membayangkan indahnya hari merah muda itu. Semua orang bahagia, semua orang tertawa, semua orang berbunga-bunga. Begitu banyak bau manis coklat dimana-mana, begitu banyak bunga bermekaran di pinggir jalan.
Lagipula, empat tahun ke belakang Valentine-ku kelabu. Segala jungkir balik percintaan yang melibatkan Scarlet membuatku lelah dan babak belur. Valentine bahkan masuk dalam daftar penambah penderitaan karena di hari itulah Scarlet punya alasan untuk memarahiku yang seperti nggak punya daya untuk memberinya kejutan. Sebenarnya, aku selalu punya kejutan untuknya. Hanya saja wanita gila itu seperti nggak pernah puas. Apapun yang kulakukan selalu salah dan dia selalu marah. Yang seperti itu jelas membuatku jengah.
Dan tahun ini, Valentine kelabu itu berganti Valentine merah muda, dengan gadis manis bercelemek merah muda. Aku akan memberi Asca apapun yang ia minta, sekalipun itu sejuta mawar atau boneka beruang raksasa sebesar patung Pancoran.
Valentine besok harus luar biasa.
"Besok kami piknik ke pantai."
Asca menyuap roti ke mulutnya dengan santai. Seperti ditampar dengan bemper mobil, mendadak dadaku berdenyut. Jenis denyut menyakitkan. Seperti saat kau tahu teman sebangkumu yang brengsek mendapat nilai 95 sementara kau terdampar dengan nilai 70, padahal dia mencontek sebagian jawabanmu.
Nah, jabarkanlah bentuk perasaan itu.
"Kami? Maksudmu siapa?" tanyaku dengan suara terjepit.
"Tentu saja aku dan anak-anak. Oh nggak, kami semua. Seisi TK."
Urat di dahiku mencuat. "Kalian semua piknik di hari Valentine?"
"Lho, momen bagus, kan? Anak-anak bisa diajarkan kalau Valentine nggak melulu harus diisi dengan cinta-cintaan. Nggak harus ada bunga dan coklat. Nggak harus untuk orang pacaran. Aku nggak mengerti kenapa masih banyak orang yang antusias dengan Valentine."
Apa.
Barusan Asca bilang apa.
Apa yang baru saja dikatakan gadis yang sedang menyobek roti dengan bibir kecilnya itu?
Apa bibir kecil merah itu baru saja mengutuk dan mencemooh hari merah muda-ku?
Apa.
Apa aku boleh menusuk diri dengan pisau steak ini?
Apa pisau bergerigi ini cukup tajam untuk menembus ke perutku?
Pastikan aku menikam perut dengan kuat hingga menembus lambung atau apapun. Supaya aku cepat mati tanpa perlu menggelepar lebih lama dan meratapi kekasihku yang bahkan nggak ingin ada Valentine di hidupnya.
"Sayang, ada lalat di makananmu."
Aku menatap lalat yang hinggap di atas daging sapiku. Lalat itu besar sekali. Cukup besar untuk menyedot habis saus steak dan meninggalkan ribuan bakteri-kotoran disana kemudian membuatku terkena diare parah.
"Apa kamu pernah mendengar orang mati karena diare?" tanyaku.
"Nggak. Itu kedengaran aneh." Asca bergidik ngeri.
"Zachary. Wafat tanggal 14 Februari. Terkena diare parah. Tak terselamatkan karena jumlah kuman di perutnya sangat banyak. Ternyata lalat yang hinggap di steak yang terakhir dia makan jenis lalat langka yang sengaja dikirimkan Tuhan untuk membuatnya nggak harus menderita di hari Valentine dan mati dengan tenang."
Asca bengong. Aku mengiris daging steak dengan cepat.
"Kamu kenapa?" tanyanya dengan mulut ternganga.
"Nggak apa-apa, Sayang," aku menggigit steak. "Sungguh. Aku baik-baik saja."
"Oh. Kalau begitu, kamu besok jangan menghubungiku, ya. Aku bakal sibuk."
SUNGGUH. AKU BAIK-BAIK SAJA.
Kenapa ada hari Selasa. Kenapa Tuhan menciptakan hari Selasa. Kurasa dunia akan baik-baik saja kalau Selasa nggak ada. Yang lahir di hari itu bisa memilih akan lahir di hari Senin atau Rabu. Dan lagi, bukankah hari ini aku berencana tidur sepanjang hari. Kenapa aku malah terdampar di belakang rumah dan menanam bunga matahari dengan Ibuku.
"Mom, apa kita sudah selesai?"
"Selesai apanya? Kau bahkan belum menaman satu bunga pun."
"Mom, aku nggak hidup untuk menanam bunga matahari di jam tujuh pagi. Mataharinya terlalu panas, hatiku panas. Aku nggak tahan."
"Bertengkar dengan Asca?"
Kepalaku berdenyut. "Nggak."
Ibuku menepuk-nepuk tanah. "Omong-omong, kau nggak siap-siap untuk kencan?"
"Kencan apa? Valentine? Jangan bodoh, Mom. Cuma pecundang yang merayakan hari itu."
"Jangan sebut semua pasangan bahagia itu pecundang hanya karena Valentine-mu berantakan. Itu nggak adil namanya."
Sekarang aku tahu darimana Carol mendapatkan lidah tajamnya.
"Sayang, jangan melupakan hal-hal kecil karena tertutup hal besar yang sebenarnya nggak terlalu penting."
"Valentine itu penting, Mom."
"Bagaimana kalau kalian merayakan Valentine, tapi Asca sedang terbaring di rumah sakit karena patah tulang atau kanker?"
"Apa? Itu mengerikan."
"Pikirkanlah, Sayang," Ibuku duduk di sebelahku, sambil memutar-mutar tangkai bunga matahari yang segar. "Tidakkah kau merasa kalau masih bisa melihatnya dalam keadaan baik-baik saja adalah hal terbaik yang kau punya?"
Aku terdiam.
"Dia yang kau sayang, meski nggak bersamamu, tapi dia baik-baik saja. Dia bahagia dan sedang tertawa. Itu hal paling besar yang harusnya bisa kau syukuri, kan? Dunia nggak selalu menawarkan pilihan, tapi kau selalu bisa memilih."
Ibuku menyerahkan bunga matahari di tangannya padaku. "Jangan lupakan hal-hal paling penting dalam bahagiamu, Zachary."
Aku menerima bunga dengan terperangah. Sinar hangat matahari pukul tujuh menimpa wajah Ibuku dan membuat wanita cantik itu seperti malaikat. Sekarang aku mengerti kenapa ada banyak orang-orang yang berhati luas dan bermulut tajam di sekitarku. Karena aku memang selalu butuh diingatkan. Bahkan hanya untuk mengetahui hal sehakiki ini.
"Terima kasih, Mom." Aku merangkul pundak Ibuku dan memeluknya.
"Nggak masalah." Ibuku tersenyum. "Omong-omong, bunga yang belum kau tanam masih banyak, Nak."
Aku--lagi-lagi--berdiri menunggu kekasih hati. Kalau biasanya aku berdiri di depan TK dan menanti nggak sabar seperti gembel kelaparan, kini aku berdiri dengan santai seperti baru saja mendapat pencerahan. Langit sore mulai turun, semburat kemerahan dan cahaya matahari yang sejuk menimpa wajahku yang sumringah. Aku tahu. Ketampananku pasti meningkat tiga kali lipat saat sedang tertimpa cahaya. Berdiri di samping kotak surat tua dengan senyum sejuta watt. Hebat.
Kulihat Asca berjalan dengan sedikit terseok di ujung jalan. Rambutnya lagi-lagi berantakan, dres kuning cerahnya terlihat kecoklatan bekas pasir. Tanpa celemek, pacarku itu seperti penjaga bayi yang bekerja magang siang malam.
Kulihat ia berhenti berjalan. Tangannya merogoh saku dan mengeluarkan ponsel. Aku terlonjak kaget saat ponselku bergetar. Asca menelponku.
"Ha-halo, Sayang?" aku berjingkat ke balik pohon. Asca berjalan perlahan.
"Hai, Zach. Kamu sibuk?"
"Nggak. Hei, kenapa suaramu lemas begitu? Pasti melelahkan, ya bermain pasir seharian di pantai bersama anak-anak?"
Kulihat Asca tersenyum kecil. "Ya, melelahkan sekali."
"Itu bagus."
Kami saling diam sejenak. Saat aku hampir keluar dari pohon untuk mengejutkannya yang sudah hampir sampai di kotak surat, Asca bergumam.
"Aku ingin bertemu denganmu."
Aku tertegun. "Apa?"
"Aku ingin bertemu denganmu."
Setelah terpana beberapa saat, aku keluar dari balik pohon. Dan tentu saja, dengan mati-matian berusaha tetap terlihat ganteng. "Aku juga ingin bertemu denganmu."
Asca melongo memandangiku dari atas ke bawah. "Zach?"
"Aduh, aku membuatmu terharu, ya? Menurutmu, ada nggak sih, pacar yang lebih penuh kejutan dariku? Coba hitung ada berapa banyak pacar yang tahu-tahu muncul dari balik pohon beberapa detik setelah pacarnya bilang ingin bertemu?"
Asca tertawa. Tawa dengan air mata di ujung mata kecilnya.
"Kamu gila," katanya.
"Selamat hari Valentine, Sayang," aku memberikan setangkai bunga matahari padanya. Bunga yang Mom berikan padaku untuk kutanam. Dan aku memilih untuk menanam bunga ini di taman yang lebih abadi. Kenangan kekasihku.
"Kamu tahu, aku sudah menyiapkan kue coklat untukmu. Tapi, mendadak ada acara pergi ke pantai, acara menyerahkan kue coklat itu gagal, dan aku... jadi kesal."
"Jadi, kamu juga ingin merayakan Valentine bersamaku?"
Asca hanya tersenyum sambil menghapus air matanya.
Aku menarik Asca mendekat dan memeluknya erat. "Terima kasih."
"Terima kasih," Asca tertawa senang. "Ayo, masuk ke dalam. Kue coklatku masih tersimpan di dalam kulkas. Kebetulan Ayah dan Ibu juga sudah lama ingin bertemu denganmu."
Di bawah matahari sore yang temaram, aku dan Asca bergandengan menuju rumahnya. Aku nggak pernah merasa sebahagia ini. Pasti kini hari Selasa dan Valentine sedang menertawakanku yang sempat ingin memusnahkan mereka.
Aku sampai terbatuk-batuk saat membayangkannya.
"Kamu baik-baik saja?"
"Iya."
"Sungguh?" tanya Asca lagi.
Aku mengangguk sambil mengecup keningnya.
SUNGGUH. AKU BAIK-BAIK SAJA.
P.S. Celemek Merah Muda spesial Valentine
No comments:
Post a Comment