Akhir-akhir ini, saya sering kali ditodong pertanyaan, "Kapan menikah?" dari orang-orang sekitar. Ini bukan pertanyaan yang seharusnya diajukan pada saya, mengingat saya sendiri masih 21 tahun. Banyak yang menikah di usia ini, tapi lebih banyak yang menganggap usia ini terlalu muda. Termasuk saya. Sekarang saya sedang berada di lingkungan yang hampir seluruh usianya lebih muda tiga tahun. Otomatis, mendadak saya jadi yang paling tua dan dianggap paling dewasa. Kalau ada pertanyaan dan pernyataan seputar menikah dan berumah tangga, saya sudah pasti jadi sasaran. Padahal, saya sendiri, dan teman-teman seusia saya juga menganggap kami masih anak-anak. Yah, setidaknya saya sendiri masih menganggap diri saya tidak sesiap itu untuk membina rumah tangga. Jauh. Jauh sekali dari pikiran. Sekadar memikirkannya saja membuat saya pusing bukan main. Bisa dibilang, saya anti menikah muda.
Bukan berarti saya nggak memikirkan tentang pernikahan lho, ya. Tentu saja saya memikirkan rencana besar yang pasti sedang asyik dirancang oleh hampir semua wanita di dunia. Terlahir sebagai satu-satunya anak perempuan di antara tiga lelaki membuat saya jadi satu-satunya sasaran nasehat Ibu saya. Ini itu, gini gitu, blablabla, semua saya telan dari kecil. Pesan-pesannya nggak main-main, pelajaran moral dan etikanya juga nggak main-main. Komplit. Tapi tetap saja, semua nasehat itu pada akhirnya hanya membangun prinsip dan semua fondasi, yang membangun dan menjalankan tetap saya dan... mental--yang sampai detik saya menulis postingan ini, masih juga belum kuat.